"Ada, Kang!", Ratih sedikit membuka pintu kamar, badannya menjegal pintu, menghalangi Nia yang masih asik berdandan. Khawatir Kang Arya melihat aurat Nia.
"Kita makan mie instan dulu aja ya?"
"Muhun, Kang!"
Kang Arya pergi ke halaman belakang, menebang tiga tandan daun pisang. Dicucinya daun-daun pisang itu, lalu dilap dan disimpan di tempat yang aman agar tak terjilat anjing penjaga yang sejak shubuh tadi lalu lalang di pintu belakang. Seakan berusaha mengenali orang baru. Sesekali anjing itu menyalak, tapi tak menyerang.
"Kang, ini ada beras. Mamah yang bawain. Lumayan buat sarapan sama-sama.", Ratih menawarkan beras pemberian ibunya.
Kang Arya pergi ke kamar dan kembali sambil membawa panci kastel. Ratih dan Kang Arya sibuk menyiapkan sarapan di halaman belakang, sementara yang lain masih tertidur. Jangan berpikir mereka akan terlibat cinlok. Tak pernah terbersit dalam pikiran mereka berdua.
Nia belum selesai berdandan. Entah berapa jenis lotion yang ia oleskan untuk menutupi bekas jerawatnya. Belum lagi bedak dan lipstik yang berbeda jenis, dioleskan berlapis-lapis.
Kang Arya menghamparkan tiga helai daun pisang di ruang tengah, disusun memanjang. Menata nasi hangat di atasnya, ditata memanjang. Di pinggirannya, tersaji mie instan kecap yang tidak digoreng.
"Teh Nia, hayu makan!", ajak Ratih.
"Iya Teh, bentar dulu, dikit lagi!"
Ya, ampun! Belum selesai juga dandannya? Fyuh.