Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Novel | Lorosae | Bab 5 | Daun Pisang

15 Januari 2019   20:06 Diperbarui: 15 Januari 2019   20:29 180 1
Tak ada adzan. Sama seperti hari-hari lain sejak Ratih dan teman-temannya menginjakkan kaki di pulau ini. Hanya terdengar kokok ayam jantan, pertanda semburat cahaya fajar mulai muncul di langit lorosae.

Ratih dan Nia, hanya mereka berdua yang perempuan. Ratih membangunkan Nia yang terlihat sedikit menggeliat. Matanya sedikit terbuka. Nia butuh waktu untuk mengumpulkan kembali kesadarannya.

"Teh Nia, dah pagi. Ayo, sholat shubuh dulu."

 Sumur ada di samping KCD, tak terlalu payah mengambil air wudhu. Airnya dangkal dan jernih.  Laut tak begitu jauh sepertinya. Airnya terserap ke dalam tanah. Tak perlu susah menggali membuat sumur. Udara tak terlalu dingin walau hari masih gelap. Segarnya air wudhu saat shubuh cukup ampuh membuka mata yang masih mengantuk. Biidznillah.

Mumpung hari masih gelap, masih banyak yang terlelap. Ratih dan Nia segera membersihkan badan sisa-sisa lelah perjalanan kemarin. Mereka sengaja mandi saat hari masih gelap karena takut ada yang mengintip. Ya, seharian kemarin tak ada yang mandi setelah perjalanan jauh selama lima jam.

Ratih berdandan seadanya, memakai pakaian panjang, pakaian seorang muslimah, lengkap dengan kaos kakinya. Tanpa riasan wajah. Hanya sedikit olesan deodoran untuk mengendalikan bau badan.

 Dirapikannya kantong tidur dan barang bawaan. Tak perlu waktu lama untuk membereskan kamar kosong tempat mereka menginap. Diambilnya panci aluminium dari dalam koper, lalu ia isi dengan air mineral. Ada kompor terisi minyak tanah di halaman belakang. Segelas susu hangat rasa coklat sepertinya akan terasa nikmat.

Tak terasa, hari semakin terang. Tiba-tiba kamar kedua gadis ini diketuk.

"Teh, teteh, hayu masak buat sarapan!"

Oh, Kang Arya. Apa yang sudah dia siapkan?

"Teh, ada mie instan?"

"Ada, Kang!", Ratih sedikit membuka pintu kamar, badannya menjegal pintu, menghalangi Nia yang masih asik berdandan. Khawatir Kang Arya melihat aurat Nia.

"Kita makan mie instan dulu aja ya?"

"Muhun, Kang!"

Kang Arya pergi ke halaman belakang, menebang tiga tandan daun pisang. Dicucinya daun-daun pisang itu, lalu dilap dan disimpan di tempat yang aman agar tak terjilat anjing penjaga yang sejak shubuh tadi lalu lalang di pintu belakang. Seakan berusaha mengenali orang baru. Sesekali anjing itu menyalak, tapi tak menyerang.

"Kang, ini ada beras. Mamah yang bawain. Lumayan buat sarapan sama-sama.", Ratih menawarkan beras pemberian ibunya.

Kang Arya pergi ke kamar dan kembali sambil membawa panci kastel. Ratih dan Kang Arya sibuk menyiapkan sarapan di halaman belakang, sementara yang lain masih tertidur. Jangan berpikir mereka akan terlibat cinlok. Tak pernah terbersit dalam pikiran mereka berdua.

Nia belum selesai berdandan. Entah berapa jenis lotion yang ia oleskan untuk menutupi bekas jerawatnya. Belum lagi bedak dan lipstik yang berbeda jenis, dioleskan berlapis-lapis.

Kang Arya menghamparkan tiga helai daun pisang di ruang tengah, disusun memanjang. Menata nasi hangat di atasnya, ditata memanjang. Di pinggirannya, tersaji mie instan kecap yang tidak digoreng.

"Teh Nia, hayu makan!", ajak Ratih.

"Iya Teh, bentar dulu, dikit lagi!"

Ya, ampun! Belum selesai juga dandannya? Fyuh.

Ratih mengambil sebungkus abon ikan dari kopernya, pemberian Kak Diah tempo hari. Ditaburkannya abon ikan di atas tumpukan nasi dan mie instan kecap yang tidak digoreng.

"Bang! Beli! Bangun, ayo makan!", teriak Kang Arya dari ruang tengah.

Tak ada jawaban.

"Beuh! Geus beurang teh can hudang keneh deui wae?!", Kang Arya gemas. Ia berdiri dan membangunkan teman-teman barunya itu. Bang Jacky dan Beli Gusti bukan muslim, wajar kalau mereka bangun siang. Tapi Bang Ahmad? Dengan terburu-buru Bang Ahmad lari mengambil air wudhu. Dia kesiangan sholat shubuh!

Perlu beberapa menit untuk mengumpulkan semua orang agar bisa sarapan pagi sama-sama.  Pagi itu, semua makan dengan lahap, kecuali Bang Jacky. Wajahnya nampak sedih sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Semua makan dengan tangan bersih, tanpa sendok. Makan bersama dalam satu hamparan daun pisang. Ratih dan Nia makan berhadap-hadapan. Porsi mereka terpisah dari para laki-laki.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun