"Oh, sumur beracun yang semalam dibilang Pak Kato ya?", Beli Gusti menimpali.
"Iya, kayaknya.", Nia membenarkan, masih berbisik.
"Sstt! Biasa aja jalannya! Jangan ngumpul begini, kelihatan lagi bisik-bisik. Jangan sampai orang sini curiga sama kita.", Kang Arya mengingatkan. Semua kembali berjalan biasa, seakan tak terjadi apa-apa.
Setengah jam berjalan, akhirnya sampai di sekolah tempat Yudi dan Pras mengajar. Sekolah masih sepi. Masih suasana libur tahun baru. Mereka tidak ada disana.
 Sandal Ratih dan teman-teman terasa berat karena lumpur dan tanah liat yang menempel. Sesekali mereka gosokan sandal di atas bebatuan. Tapi tak lama kemudian, lumpur baru melekat lagi.
"Permisi, Bu! Apa guru dari Jawa sudah sampai disini?", Kang Arya bertanya kepada ibu-ibu yang sedang berkumpul di bawah pohon pisang.
"Sonde ada. Itu hari ada dengar  guru dari Jawa. Tapi son ada.", jawab ibu yang sedang mengunyah sesuatu. Mulutnya merah seperti darah.
"Mangkali ada tinggal di dia pu kepala sekolah pu rumah.", ujar ibu yang sedang memilah jagung.
"Dia pu kepala sekolah pu rumah jauh dari sini. Son ada tinggal dekat sini", ibu yang hanya berdiri saja menambahkan keterangan.
Ratih kesulitan memahami percakapan mereka. Sesekali meminta Nia menerjemahkan.
"Oh, baik, ibu! Kami pamit dulu ya? Terima kasih.", Kang Arya pamit.