"Susah ya mengubah otakmu yang penuh dengan idealisme itu. Kayaknya kudu dapat surat peringatan lagi, baru nyadar." Sang kakak geleng-geleng kepala.
Yang diajak ngomong hanya tersenyum. Dalam hati, dia tertawa sendiri. Emang surat apa lagi? Kan sudah lulus....
Hal lain yang membuatnya jadi lumayan rajin pulang kampung adalah karena Beatrix, keponakan dari kakaknya itu yang memang pintar dan menggemaskan. Waktu lahir hingga usia balita berakhir, ia tak sempat menengok apalagi menemani. Maka begitu usia awal-awal sekolah dasar begini, ada dorongan halus untuk bisa mengusahakan bersama keponakannya itu.
Tingkahnya nan menggemaskan itu mampu membuang peluh dan lelah yang selama ini seringkali melanda laksana luruh. Jiwanya yang terasa mulai kering, seolah mendapatkan kesegaran baru begitu melihat senyum serta pelukan hangat Beatrix.
Dia tahu, sementara waktu hidupnya untuk sebuah pergerakan, tidak berpikir dulu untuk berkeluarga, Beatrix adalah sungguh pelipur lara atas dahaga jiwa kebapakan terdalamnya.
^^^^
Hari ini Beatrix Nampak serius sedang mengerjakan sesuatu. Sesekali ia seperti sedang berpikir keras. Sampai akhirnya ia mendekati Omnya yang sedang membaca.
"Om, Yesus itu anak siapa?" tanya Beatrix tiba-tiba saja.
Dia sedikit kaget lalu berpikir sejenak. "Anaknya Maria dan Yosef."
"Rumahnya di mana?" Beatrix meneruskan pertanyaannya.
"Di Betlehem."