Pagi ini, saya membuka lemari buku. Masih terdapat beberapa buku yang masih tersampul rapih pun beberapa buku yang sudah lecek. Namun, semua buku tersebut memberikan kenangan yang sama: aroma kertas. Wangi khas yang dapat membangkitkan semangat membaca dibandingkan membuka file e-book ataupun pdf. Di tengah dunia digital, pertanyaan pun muncul: masihkah kita memilih buku cetak sebagai media belajar atau sudah sepenuhnya kita berpindah ke buku digital?
Di era revolusi digital, akses terhadap pengetahuan tidak lagi terbatasi oleh bentuk fisik. Buku digital—entah itu e-book, pdf, ataupun tampilan daring lainnya—menawarkan portabilitas, akses cepat, dan ruang tanpa batas—kapanpun, dimanapun. Namun, banyak pula yang tetap bersikukuh bahwa sensasi membaca buku cetak tidak tergantikan. Tulisan ini bukan ditujukan untuk mendebatkan soal nostalgia atau tren, tetapi menyentuh pada aspek kognitif, psikologis, juga pedagogis.
Perdebatan ini sejatinya tidak muncul dalam ruang hampa. Cara manusia membaca selalu dipengaruhi oleh konteks zamannya, teknologi tersedia, dan kebutuhan sosial-budaya yang mengitarinya. Sebelum membandingkan buku cetak dan digital secara kritis, ada baiknya kita melihat bagaimana perjalanan sejarah membaca telah membentuk relasi kita dengan teks dan pengetahuan.
Membaca adalah aktivitas yang telah ada sejak peradaban kuno. Mulai dari prasasti batu, papirus Mesir, hingga Gutenberg dengan mesin cetaknya yang mengubah wajah Eropa. Namun kini, anak-anak dan pelajar tidak lagi perlu menunggu buku datang dari perpustakaan. Cukup unduh dari aplikasi, saat itu pula ratusan halaman dapat diakses dalam genggaman.
Peralihan dari bentuk fisik ke digital ini tidak hanya berdampak pada medium baca, tetapi juga memengaruhi pola interaksi kita dengan informasi. Perubahan ini menciptakan paradigma baru. Jika dulu membaca identik dengan buku fisik, kini membaca dapat berarti menyimak teks di layar ponsel sambil menunggu transportasi umum. Ini bukan sekadar perubahan media, melainkan perubahan cara berpikir dan berinteraksi dengan teks.
Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita mulai mempertanyakan: apakah bentuk media baca memengaruhi kualitas pemahaman kita? Studi yang dilakukan oleh Mangen, Walgermo, dan Brønnick (2013) menemukan bahwa siswa yang membaca dalam buku cetak memiliki pemahaman naratif yang lebih baik dibandingkan mereka yang membaca versi digital. Ini bukan berarti buku digital buruk. Studi tersebut memberikan argumentasi bahwa cara otak memproses informasi dari kertas lebih bersifat linear dan mendalam.
Perbedaan ini tampak jelas ketika kita meninjau bagaimana kedua media bekerja dalam memfasilitas pengalaman membaca secara praktis. Saat buku digital cenderung mendorong pembacaan yang lebih cepat dan bersifat non-linear—dengan fitur scroll, klik, dan pencarian kata kunci, buku cetak mengajarkan ritme: membuka halaman, menandai, dan mengingat posisi fisik dari suatu informasi. Kertas memberi pengalaman taktil yang dapat memperkuat daya ingat dan pemahaman khususnya pada materi yang bersifat konseptual ataupun kompleks.
Pengalaman ini juga saya rasakan secara pribadi. Tidak jarang, saya mengamati diri saya sendiri saat menandai dengan highlighter pada buku cetak, saya lebih cepat memahami ide pokok dibandingkan saat menggunakan fitur highlight digital. Muncul “ikatan emosional” antara saya dengan buku yang saya baca. Barangkali di sanalah letak keistimewaannya: buku cetak tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menghadirkan pengalaman membaca yang lebih personal dan bermakna.
Namun tentu saja, realitas di lapangan tidak sesederhana preferensi ataupun pengalaman personal. Terlepas dari semua “kelebihan” buku cetak yang telah diuraikan, tidak semua orang punya ‘kemewahan’ untuk memiliki buku cetak. Dalam hal ini, buku digital memberikan alternatif kemudahan yang tidak dapat diabaikan. Dengan satu perangkat saja, kita dapat menyimpan ribuan judul. Belajar dalam perjalanan kemana pun kita tuju menjadi memungkinkan. Akses jurnal internasional pun menjadi lebih cepat dengan fitur pencarian kata kunci yang mempercepat riset.