Kelebihan inilah yang kemudian menjadikan e-book semakin diandalkan dalam sistem pendidikan kontemporer. Dalam dunia pendidikan, penggunaan e-book sudah menjadi lazim ditemukan dalam pilihan referensi pembelajaran dalam blended learning maupun pembelajaran daring. Penelitian Rockingson-Szapkiw et al. (2013) menemukan bahwa mahasiswa yang menggunakan e-book dalam sistem pembelajaran daring menunjukkan efisiensi waktu dan kemudahan dalam merujuk materi. Dengan demikian, kehadiran e-book tidak hanya menjadi alternatif praktis dalam dunia pendidikan, tetapi juga mendukung strategi pembelajaran modern yang menuntut kecepatan, kemandirian, dan aksesibilitas tinggi bagi para pelajar.
Di Indonesia sendiri, urgensi pemanfaatan e-book semakin terasa nyata ketika kita berbicara tentang disparitas geografis dan keterbatasan infrastruktur. Dalam konteks Indonesia, distribusi buku cetak di daerah terpencil pun sering menghadapi hambatan logistik. Terkait hal ini, e-book dipandang menjadi jembatan akses pendidikan yang sangat potensial. Tidak hanya itu, buku digital juga lebih mudah diperbarui, lebih murah secara biaya produksi, dan lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, dalam menjawab tantangan kesenjangan akses pendidikan di berbagai wilayah Indonesia, integrasi e-book menjadi langkah strategis yang tidak hanya efisien secara biaya, tetapi juga inklusif dan berorientasi masa depan.
Di luar tantangan struktural, faktor personal dan psikologis juga tidak kalah penting untuk dipertimbangkan. Lebih lanjut, diskusi ini tidak akan adil bila hanya dilihat dari sisi efisiensi atau romatisme. Preferensi personal memegang peranan penting. Generasi Z dan Alpha cenderung lebih nyaman dengan layar, sementara generasi sebelumnya mungkin masih didominasi oleh orang-orang yang merasa lebih “nyaman” dengan kertas. Karena itu, memahami pilihan media baca tidak bisa dilepaskan dari konteks generasi, kebiasaan, dan kenyamanan individu yang membacanya—bukan sekadar soal mana yang lebih unggul secara teknologi atau tradisi.
Saya pun merasakan dilema ini secara langsung. Sebagai perwakilan generasi transisi antara era analog dan digital, saya kerap berada di persimpangan. Saat ingin membaca informasi secara mendalam, saya memilih buku cetak. Namun, saat ingin membaca jurnal ataupun artikel pendek, saya memilih e-book. Menurut saya, keduanya tidak perlu dipertentangkan, tapi bisa dilihat sebagai komplementer. Naomi Baron, dalam bukunya Words On-Screen: The Fate of Reading in Digital World (2015) menyatakan bahwa preferensi membaca buku cetak masih tinggi di kalangan pelajar, terutama saat mereka menghadapi bacaan kompleks. “digital reading is geared toward convenience, not comprehension,” ujarnya.
Perspektif ini pun selaras dengan bagaimana sistem pendidikan di Indonesia. Dalam sistem pendidikan nasional, baik buku cetak maupun digital diakomodasi. Kurikulum Merdeka memungkinkan guru memilih sumber belajar yang relevan dan beragam, termasuk platform digital. Namun, tantangannya ada pada kesiapan infrastruktur dan literasi digital. Maka, keberhasilan integrasi kedua media ini sangat bergantung pada kemampuan ekosistem pendidikan—baik guru, siswa, maupun institusi—untuk beradaptasi secara cerdas dan proporsional terhadap perubahan zaman.
Tantangan ini terlihat jelas dimana masih banyak sekolah yang belum memiliki akses internet stabil atau perangkat digital memadai. Di sinilah keunggulan buku cetak tetap relevan. Ia tidak butuh baterai, tidak tergantung sinyal, dan tidak rawan terdistraksi notifikasi media sosial. Karena itu, dalam konteks keterbatasan akses digital, buku cetak bukan sekadar alternatif, melainkan solusi nyata yang tetap menjamin kontinuitas proses belajar secara merata.
Namun, pembelajaran abad 21 menuntut kemampuan literasi digital. Tantangannya bukan memilih salah satu, melainkan menyiapkan siswa untuk adaptif pada keduanya. Karena itu, yang dibutuhkan bukan dikotomi antara cetak dan digital, melainkan pendekatan integratif yang mampu membekali siswa dengan fleksibilitas belajar di berbagai medium secara kritis dan bertanggung jawab.
Ada pula aspek sosial yang perlu dipertimbangkan. Buku cetak memungkinkan praktik pinjam-meminjam, warisan intelektual antar generasi, bahkan menjadi barang koleksi. Sementara, e-book cenderung indiviudal dan terikat lisensi. Dengan demikian, pilihan media baca juga mencerminkan nilai-nilai sosial yang ingin kita bangun—apakah keterhubungan antarindividu dan generasi atau efisiensi personal yang lebih privat dan terbatas?
Dari sisi lingkungan, cetak massal memang mengonsumsi lebih banyak sumber daya. Namun, buku digital juga punya jejak karbon dari server, listrik, dan e-waste. Maka keduanya punya dampak ekologis masing-masing. Karena itu, keputusan memilih media baca sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan kenyamanan atau efisiensi, tetapi juga kesadaran akan dampak ekologis yang ditimbulkannya agar literasi berjalan seiring dengan tanggung jawab lingkungan
Tidak dapat diabaikan pula efek membaca layar terhadap kesehatan. Menurut American Optometric Association, membaca lama di layar digital dapat menyebabkan digital eye strain—mata lelah, kering, dan sakit kepala. Hal ini tidak terjadi pada buku cetak. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, pemilihan media baca juga perlu mempertimbangkan aspek kesehatan agar aktivitas literasi tetap mendukung kesejahteraan fisik pembacanya.
Namun, di sisi lain, buku digital yang interaktif dan dilengkapi audio-visual bisa meningkatkan minat baca pada anak berkebutuhan khusus atau pemula literasi. Studi oleh Ciampa (2016) menunjukkan bahwa siswa kelas awal yang menggunakan e-book interaktif menunjukkan peningkatan motivasi baca yang signifikan. Dengan kata lain, pemanfaatan teknologi digital dalam membaca tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga dapat menjadi alat inklusif yang membuka akses dan semangat belajar bagi kelompok yang sebelumnya terpinggirkan.