Aduh, hatiku tidak tenang. Pikiranku telah bercabang. Terkadang wanita sering bersembunyi di balik kata "tidak apa-apa". Aku menyatukan kain-kain ini dengan mesin jahitku tetapi pemikiranku mengawang-awang entah kemana.Â
Aku takut terjadi sesuatu dengan Ibu. Ingin sekali rasanya aku pulang dulu dan temani ibu secara penuh. Tapi pekerjaanku tak bisa kutinggalkan. Aku hanya berharap, tak terjadi apa-apa dengan ibu. Baiklah. Aku harus cepat selesaikan ini dan izin pulang duluan. Selebihnya aku akan lanjutkan nanti.
Kuayun langkahku menuju kontrakan. Tak sabar aku ingin melihat ibu lagi. Pintu tertutup rapat saat aku menghampirinya. Aku masuk dan rumah kembali terlihat sepi. Aku mencari ibu kedalam kamar.
"Astaga Ibu"
Ibu hanya terlihat kaku diatas ranjang dengan napas tersengal-sengal. Muka pucatnya membuatku sangat takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kucoba kuraih dan kurangkul badannya. Ia begitu berkeringat. Tuhan! Aku berlari ke rumah tetangga. Mencari bantuan, menggedor-gedor pintu. Kali ini ibu benar-benar sedang tidak baik-baik saja.
Terlambat. Tidak ada kata-kata terakhir. Tidak ada permintaan terakhir. Tidak ada ucapan selamat tinggal. Saat aku kembali, ibu sudah pergi. Ia pergi tanpa pamit kepada anak gadisnya. Berteriak, menangis sejadi-jadinya, hanya itu yang bisa kulakukan. Membuat keributan hingga mengundang satu per satu datang hanya untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Sudah tentu mereka akan temui seorang gadis malang yang sedang histeris meratapi jasad ibunya. Kata demi kata yang ingin aku ucappun tertelan oleh raungan tangis di dada ibu. Kupeluk tubuh itu dengan cengkeraman kuat.
Aku bisa merasakan orang-orang menatapku dengan rasa kasihan, ada yang bertanya-tanya atau bahkan hanya menonton saja. Ada yang mengelus-elus rambutku menyatakan untuk tabah. Tabah. Ya tabah.
Kubiarkan orang-orang itu membetulkan pembaringan ibu. Ibu hanya bisa menurut saja. Aku diam membisu. Ah ibu, kenapa? Kenapa harus saat ini? Disini? Dikontrakan ini? Bagaimana sekarang? Bagaimana ibu pulang. Semuanya berkecamuk dalam otakku yang kecil.
Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. hari ini aku akan memohon belas kasih orang-orang untuk memberikanku segepok uang untuk mengantar ibu. Aku harus memasang wajah penuh derita untuk memancing iba. Memang mudah mendapatkannya, tetapi uang ini akan menjeratku hingga waktu yang bisa kutentukan. Kubelikan ibu peti kayu sederhana. Kubawa ia kembali kerumah suaminya. Aku tak bisa bayangkan harus membawa jenazah menghadap Ayah dan Tito dan ke hadapan keluarga besar.
31 Desember 2018. Aku mudik bersama tubuh tak bernyawa. Siap-siap disambut ratapan pilu dari semuanya. Ayah harus siap kehilangan istri tercintanya. Tito harus siap kehilangan ibunya. Dan aku siap kehilangan hidupku. Di penghujung Desember ketika orang bersukacita untuk menyambut tahun baru. Aku, untuk pertama kalinya pulang ke kampung halaman. Pulang setelah ibu berpulang. Dan ibu hilang ketika Januari datang. Harapan satu-satunya, semoga ibu masih mau berkunjung ke kontrakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI