***
Ah malam ini panas sekali. Kipas angin yang kecil ini sudah tak mampu menandingi kehangatan yang diberikan oleh udara mala mini. Eh bukan hangat. Panas. Aku meraih sebuah buku diatas meja kecil tempatku berias seadanya. Kukibas-kibas sekuat tenaga. Aduh, ini membuatku pegal.
Ibu turut berbaring disampingku ia terlihat tak terpengaruh. Ia tidur pulas bahkan tak bergerak sama sekali. Tentu saja. Ini pasti hari yang melelahkan baginya. Aku bisa bayangkan perempuan tua harus berjalan mencari alamat, ia harus bertanya kepada orang-orang sambil menenteng tasnya. Menahan haus dan lapar karena ia harus atur uangnya sedemikian rupa.Â
Kupandangi wajah ibu dengan saksama. aku merasa sesak di dada. Napas tak teratur menahan air mata agar tidak sampai terjatuh. Aku merasa berdosa padanya.Â
Hampir tujuh tahun sudah aku berada disini namun sepeserpun belum pernah kukirimkan uang untuk meringankan beban yang ditanggungnya. Hampir tujuh tahun aku belum bisa kembali hanya untuk menjenguknya. Aku ini anak macam apa?
***
Baru pagi ini aku menemukan seperti ada yang salah. Ibu terlihat begitu capek. Napasnya terdengar tak beraturan --napasnya pendek. Dari gelagatnya ibu berusaha terlihat baik-baik saja. Namun ibu tak bisa terus bersembunyi.Â
Dari raut wajahnya sepertinya ia sedang berusaha menyembunyikan beban yang bahkan ia sendiri tak mampu tahan. Ekspresi tertekan terlihat dari wajahnya.Â
Ia mencoba mengatur napas namun sesekali memegang dadanya dengan wajah kesakitan. Ia mencoba berpura-pura baik-baik saja. Ia mangakali aku dengan sok sibuk membersihkan kontrakanku. Ah ibu, naluri keibuannya membuatnya berpura-pura bahagia dihadapan anaknya padahal penderitaanya jauh lebih besar dari kebahagiaannya.
"Sudah Bu, istirahat saja dulu. Ibu nggak usah terlalu capek Bu. Anggi mau pergi kerja dulu. Kalau ibu butuh sesuatu telepon Anggi, tempat kerja Anggi tak terlalu jauh dari sini"
"Iya, ibu nggak papa kok," balasnya dengan tersenyum.