Desember 2018. Hampir dipenghujung tahun. Menjadi sebuah memori pahit yang harus menggoreskan luka penyesalan dan rasa bersalah untukku.Â
Beban rasa itu harus kubawa kemanapun aku pergi dengan sekuat tenaga dan sampai saat ini ia belum membiarkan aku melepasnya walau hanya duduk untuk beristirahat sedetik saja. Ia menempel sangat kuat. Ia menghisap seluruh kepercayaan diriku.Â
Membuatku pucat pasi tak berani memandang orang-orang, keluargaku bahkan diriku sendiri. Aku terlalu takut melihat wajah penyebab semua kekacauan ini. Orang macam apa yang melebarkan jalan perpisahan untuk orang yang ia cintai?
"Anggi, pulanglah dulu, Nak, sejak kau pergi kau belum pernah pulang sekalipun. Apa kau tidak kangen sama Ibu? Bapak dan Tito juga sangat kangen," pinta Ibu.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan ibu. Memang aku sudah lama tak melihat mereka. Aku meninggalkan mereka tujuh tahun lalu. Rentang waktu yang cukup panjang memang. Aku merindukan mereka.Â
Tetapi, alasan klasik ini tak berani kusampaikan lagi pada Ibu. Aku tak bisa berkata apa-apa. Tetapi itulah kenyataannya, makan saja kadang tak cukup apalagi harus terbang dengan biaya yang mahal.
"Kenapa Nggi? Alasannya uang lagi? Selama tujuh tahun ini kau ngapain saja?"
Aku meninggalkan keluargaku karena hidup memaksaku demikian. Kerena kemiskinan aku harus rela jauh dari mereka dengan harapan hidup yang lebih baik dan bisa menolong mereka. Semua tak seperti apa yang kudambakan, bahkan berbanding terbalik.Â
Mereka tidak tahu apa yang kualami selama ini. Bukan aku tidak bisa mengatur keuangan. Sama sekali bukan itu. Bahkan pikirku aku lebih pintar dari siapapun dengan uang sedikit aku masih bisa hidup sampai saat ini walaupun dengan tubuh kurus ini.Â
Aku bukannya tak berjuang untuk melamar pekerjaan hanya saja... Ah, sudahlah! sekalipun kukatakan mereka takkan pernah paham. Mereka belum merasakan betapa kerasnya hidup di Jakarta. Luntang-lantung cari pekerjaan, dan pekerjaan satu-satunya yang kulakukan adalah mondar-mandir tanpa imbalan sepeserpun.Â
Saat mendapat pekerjaanpun, gajinya tak seberapa belum lagi tekanan yang harus kuterima. Kalau tekanan dan gaji seimbang mungkin aku bisa bertahan, tetapi ini tidak.
Dering HP tipe lama memaksaku menghentikan jahitanku. Kulihat siapa yang memanggil. Ibu. Aku ragu harus jawab atau tidak. Aku takut ibu menanyakan hal yang sama lagi. Memang tak salah. Aku tahu hati seorang ibu terhadap putrinya. Ia pasti rindu dan penasaran melihat putri yang dibesarkan oleh tanah perantauan di negeri orang.Â
Kujawab panggilan ibu. Aneh. Kali ini ia tak bertanya tentang kepulanganku. Ia banyak bercerita tentang apa yang terjadi di kampung. Lalu ia bertanya keadaanku, apa yang sedang aku lakukan.Â
Hingga pada akhirnya ia tanyakan tentang alamat kontrakanku. Kenapa ibu menanyakannnya? Apa ia ingin datang? Tak mungkin. Ibu sudah tua tak cocok lagi untuk keluar rumah.
Selang berapa hari, ibu tak lagi menelepon, tidak atau belum. Sejujurnya aku ingin berbicara padanya. Kucari kontaknya. Ah, kalau ibu menyinggung soal itu lagi. Membosankan.
***
Tepat diujung gang kontrakanku kuperhatikan langkah seorang ibu-ibu bungkuk sedang terseok menggengam tas hitam besarnya. Aku yakin itu isinya pakaian karena biasanya seperti itu.Â
Dalam hatiku aku kasihan. Itu ibu-ibu hendak kemana jalan sendiri? Tunggu. Aku seperti mengenalnya. Kutajamkan indera penglihatku. Fokus pada objek yang satu ini. Astaga! Itu Ibu. Ibu? Benarkah? Bagaimana ia sampai kesini? Mengapa tak memberitahuku dulu?
Sontak aku berlari ingin segera mendekap ibu. Dengan kaki gemetar aku berlari menghampiri ibu. Bening tak mampu kutahan lagi. Aku berteriak memanggil ibu. Aku bisa menyaksikan betapa kagetnya ibu melihatku berlari dihadapannya. Dihempaskan tasnya. Kulihat ia ingin segera berlari tapi tak mampu lagi. Kudekap ibu menangis sejadi-jadinya. Kulepaskan semua kerinduanku pada ibu. Aku bisa merasakan setiap mata yang memandangi kami dengan kebingungan. Kugiring ibu menuju kontrakan.
"Ibu kenapa tidak memberitahu dulu kalau mau datang?" tanyaku sambil menyodorkan minuman dengan mata sembab dan dengan tangan gemetar. Rasanya aku masih tak puas dengan tangisanku. Jujur aku tak kuat. "Kalau ibu kasih tahu, kau pasti tidak akan mengizinkan," jawabnya. Pastinya, aku tak akan mengizinkannya, aku takut terjadi apa-apa kepada ibu. Bagaimana kalau ia dikerjai oleh preman-preman jalanan? Bagaimana kalau ia bahkan tak bisa tiba disini? Aku peluk ibu lagi, lebih erat seakan tak mau lepas. Aku tahu ibu merindukan gadis semata wayangnya. Aku juga begitu.
"Nggi, kau sangat kurus sekarang". Aku hanya menangis sesenggukan. Ya memang seperti itulah kenyataannya. Badanku kurus. Tetapi yang terpenting saat ini aku masih hidup.
***
Ah malam ini panas sekali. Kipas angin yang kecil ini sudah tak mampu menandingi kehangatan yang diberikan oleh udara mala mini. Eh bukan hangat. Panas. Aku meraih sebuah buku diatas meja kecil tempatku berias seadanya. Kukibas-kibas sekuat tenaga. Aduh, ini membuatku pegal.
Ibu turut berbaring disampingku ia terlihat tak terpengaruh. Ia tidur pulas bahkan tak bergerak sama sekali. Tentu saja. Ini pasti hari yang melelahkan baginya. Aku bisa bayangkan perempuan tua harus berjalan mencari alamat, ia harus bertanya kepada orang-orang sambil menenteng tasnya. Menahan haus dan lapar karena ia harus atur uangnya sedemikian rupa.Â
Kupandangi wajah ibu dengan saksama. aku merasa sesak di dada. Napas tak teratur menahan air mata agar tidak sampai terjatuh. Aku merasa berdosa padanya.Â
Hampir tujuh tahun sudah aku berada disini namun sepeserpun belum pernah kukirimkan uang untuk meringankan beban yang ditanggungnya. Hampir tujuh tahun aku belum bisa kembali hanya untuk menjenguknya. Aku ini anak macam apa?
***
Baru pagi ini aku menemukan seperti ada yang salah. Ibu terlihat begitu capek. Napasnya terdengar tak beraturan --napasnya pendek. Dari gelagatnya ibu berusaha terlihat baik-baik saja. Namun ibu tak bisa terus bersembunyi.Â
Dari raut wajahnya sepertinya ia sedang berusaha menyembunyikan beban yang bahkan ia sendiri tak mampu tahan. Ekspresi tertekan terlihat dari wajahnya.Â
Ia mencoba mengatur napas namun sesekali memegang dadanya dengan wajah kesakitan. Ia mencoba berpura-pura baik-baik saja. Ia mangakali aku dengan sok sibuk membersihkan kontrakanku. Ah ibu, naluri keibuannya membuatnya berpura-pura bahagia dihadapan anaknya padahal penderitaanya jauh lebih besar dari kebahagiaannya.
"Sudah Bu, istirahat saja dulu. Ibu nggak usah terlalu capek Bu. Anggi mau pergi kerja dulu. Kalau ibu butuh sesuatu telepon Anggi, tempat kerja Anggi tak terlalu jauh dari sini"
"Iya, ibu nggak papa kok," balasnya dengan tersenyum.
Aduh, hatiku tidak tenang. Pikiranku telah bercabang. Terkadang wanita sering bersembunyi di balik kata "tidak apa-apa". Aku menyatukan kain-kain ini dengan mesin jahitku tetapi pemikiranku mengawang-awang entah kemana.Â
Aku takut terjadi sesuatu dengan Ibu. Ingin sekali rasanya aku pulang dulu dan temani ibu secara penuh. Tapi pekerjaanku tak bisa kutinggalkan. Aku hanya berharap, tak terjadi apa-apa dengan ibu. Baiklah. Aku harus cepat selesaikan ini dan izin pulang duluan. Selebihnya aku akan lanjutkan nanti.
Kuayun langkahku menuju kontrakan. Tak sabar aku ingin melihat ibu lagi. Pintu tertutup rapat saat aku menghampirinya. Aku masuk dan rumah kembali terlihat sepi. Aku mencari ibu kedalam kamar.
"Astaga Ibu"
Ibu hanya terlihat kaku diatas ranjang dengan napas tersengal-sengal. Muka pucatnya membuatku sangat takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kucoba kuraih dan kurangkul badannya. Ia begitu berkeringat. Tuhan! Aku berlari ke rumah tetangga. Mencari bantuan, menggedor-gedor pintu. Kali ini ibu benar-benar sedang tidak baik-baik saja.
Terlambat. Tidak ada kata-kata terakhir. Tidak ada permintaan terakhir. Tidak ada ucapan selamat tinggal. Saat aku kembali, ibu sudah pergi. Ia pergi tanpa pamit kepada anak gadisnya. Berteriak, menangis sejadi-jadinya, hanya itu yang bisa kulakukan. Membuat keributan hingga mengundang satu per satu datang hanya untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Sudah tentu mereka akan temui seorang gadis malang yang sedang histeris meratapi jasad ibunya. Kata demi kata yang ingin aku ucappun tertelan oleh raungan tangis di dada ibu. Kupeluk tubuh itu dengan cengkeraman kuat.
Aku bisa merasakan orang-orang menatapku dengan rasa kasihan, ada yang bertanya-tanya atau bahkan hanya menonton saja. Ada yang mengelus-elus rambutku menyatakan untuk tabah. Tabah. Ya tabah.
Kubiarkan orang-orang itu membetulkan pembaringan ibu. Ibu hanya bisa menurut saja. Aku diam membisu. Ah ibu, kenapa? Kenapa harus saat ini? Disini? Dikontrakan ini? Bagaimana sekarang? Bagaimana ibu pulang. Semuanya berkecamuk dalam otakku yang kecil.
Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. hari ini aku akan memohon belas kasih orang-orang untuk memberikanku segepok uang untuk mengantar ibu. Aku harus memasang wajah penuh derita untuk memancing iba. Memang mudah mendapatkannya, tetapi uang ini akan menjeratku hingga waktu yang bisa kutentukan. Kubelikan ibu peti kayu sederhana. Kubawa ia kembali kerumah suaminya. Aku tak bisa bayangkan harus membawa jenazah menghadap Ayah dan Tito dan ke hadapan keluarga besar.
31 Desember 2018. Aku mudik bersama tubuh tak bernyawa. Siap-siap disambut ratapan pilu dari semuanya. Ayah harus siap kehilangan istri tercintanya. Tito harus siap kehilangan ibunya. Dan aku siap kehilangan hidupku. Di penghujung Desember ketika orang bersukacita untuk menyambut tahun baru. Aku, untuk pertama kalinya pulang ke kampung halaman. Pulang setelah ibu berpulang. Dan ibu hilang ketika Januari datang. Harapan satu-satunya, semoga ibu masih mau berkunjung ke kontrakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI