Saat mendapat pekerjaanpun, gajinya tak seberapa belum lagi tekanan yang harus kuterima. Kalau tekanan dan gaji seimbang mungkin aku bisa bertahan, tetapi ini tidak.
Dering HP tipe lama memaksaku menghentikan jahitanku. Kulihat siapa yang memanggil. Ibu. Aku ragu harus jawab atau tidak. Aku takut ibu menanyakan hal yang sama lagi. Memang tak salah. Aku tahu hati seorang ibu terhadap putrinya. Ia pasti rindu dan penasaran melihat putri yang dibesarkan oleh tanah perantauan di negeri orang.Â
Kujawab panggilan ibu. Aneh. Kali ini ia tak bertanya tentang kepulanganku. Ia banyak bercerita tentang apa yang terjadi di kampung. Lalu ia bertanya keadaanku, apa yang sedang aku lakukan.Â
Hingga pada akhirnya ia tanyakan tentang alamat kontrakanku. Kenapa ibu menanyakannnya? Apa ia ingin datang? Tak mungkin. Ibu sudah tua tak cocok lagi untuk keluar rumah.
Selang berapa hari, ibu tak lagi menelepon, tidak atau belum. Sejujurnya aku ingin berbicara padanya. Kucari kontaknya. Ah, kalau ibu menyinggung soal itu lagi. Membosankan.
***
Tepat diujung gang kontrakanku kuperhatikan langkah seorang ibu-ibu bungkuk sedang terseok menggengam tas hitam besarnya. Aku yakin itu isinya pakaian karena biasanya seperti itu.Â
Dalam hatiku aku kasihan. Itu ibu-ibu hendak kemana jalan sendiri? Tunggu. Aku seperti mengenalnya. Kutajamkan indera penglihatku. Fokus pada objek yang satu ini. Astaga! Itu Ibu. Ibu? Benarkah? Bagaimana ia sampai kesini? Mengapa tak memberitahuku dulu?
Sontak aku berlari ingin segera mendekap ibu. Dengan kaki gemetar aku berlari menghampiri ibu. Bening tak mampu kutahan lagi. Aku berteriak memanggil ibu. Aku bisa menyaksikan betapa kagetnya ibu melihatku berlari dihadapannya. Dihempaskan tasnya. Kulihat ia ingin segera berlari tapi tak mampu lagi. Kudekap ibu menangis sejadi-jadinya. Kulepaskan semua kerinduanku pada ibu. Aku bisa merasakan setiap mata yang memandangi kami dengan kebingungan. Kugiring ibu menuju kontrakan.
"Ibu kenapa tidak memberitahu dulu kalau mau datang?" tanyaku sambil menyodorkan minuman dengan mata sembab dan dengan tangan gemetar. Rasanya aku masih tak puas dengan tangisanku. Jujur aku tak kuat. "Kalau ibu kasih tahu, kau pasti tidak akan mengizinkan," jawabnya. Pastinya, aku tak akan mengizinkannya, aku takut terjadi apa-apa kepada ibu. Bagaimana kalau ia dikerjai oleh preman-preman jalanan? Bagaimana kalau ia bahkan tak bisa tiba disini? Aku peluk ibu lagi, lebih erat seakan tak mau lepas. Aku tahu ibu merindukan gadis semata wayangnya. Aku juga begitu.
"Nggi, kau sangat kurus sekarang". Aku hanya menangis sesenggukan. Ya memang seperti itulah kenyataannya. Badanku kurus. Tetapi yang terpenting saat ini aku masih hidup.