Mohon tunggu...
rani Citralestari
rani Citralestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang

Selamat berkreasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gaya Bahasa dalam Cerpen "Melukis Ulang Kampung Item" Karya Gesit Ariyanto

24 September 2021   21:23 Diperbarui: 24 September 2021   21:34 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

“Kamu enggak cocok jadi warga kampung sini. Kalah lagi hehhh!” gertakan Wanto diarahkan kepada lelaki di hadapannya. Kancil, si kurus yang disasar itu, beda telak dengan Wanto, kakaknya yang bertubuh gempal, berkulit gelap, rahang menonjol. Keduanya saudara sekandung yang tak kenal ibunya sejak balita, sedangkan bapaknya lebih sering menghilang daripada tinggal di rumah bilik pengap di Kampung Item.

Sore itu, Kancil lunglai di dingklik kayu rapuh sisa bongkaran. Wajahnya yang tirus melebam, tubuhnya bersandar miring hampir rebah, tarikan napasnya naik turun tak beraturan. Ia baru saja adu pukul dengan sejumlah pemuda kampung lain, berebut secuil lahan parkir di pasar sayur. Wanto benar, adiknya dan dua temannya kalah lagi. Beruntung mereka masih lolos dari sabetan badik.

Entah ini perkelahian keberapa dalam hidup Kancil yang memasuki usia 18 tahun. Yang ia ingat, lebih sering kalahnya daripada sukses memukul, apalagi merobohkan lawan. Bahkan, ia tak ingat lagi kapan kemenangan terakhirnya berkelahi. Itulah kenapa Wanto menjulukinya pecundang. Ya, selalu kalah.

“Mending jadi badut saja sana,” Wanto mengejek. Kancil membisu. Bau alkohol menyeruak bersama kepulan pekat asap rokok yang diembuskan Wanto, bersekongkol dengan bau tak sedap aroma sungai gelap keruh di sisi kampung. Wanto tidak menyukai kekalahan karena menunjukkan kelemahan. Tetapi, itu urusan adiknya, bukan dirinya.

Kancil menerima saja julukan pecundang atau apapun itu, yang telah menjadi label di antara mereka. Toh ia memang hampir selalu kalah adu jotos. Namun, ia punya pembelaan karena perawakannya kecil dan pendek, yang juga menjadi ikhwal kenapa ia dipanggil Kancil, sedangkan Wanto yang tiga tahun lebih tua menjelma menjadi pentolan kampung. Satu kesamaan mereka dengan warga kampung lain, punya nyali besar menghadapi kerasnya hidup, jika nyali yang dimaksud adalah hidup mengalir begitu saja tanpa perencanaan.

Kampung Item nama julukan kawasan yang entah sejak kapan disematkan. Mungkin karena aliran sungai berair hitam yang membelah kantong permukiman di tengah kota itu. Atau, mungkin satire pada gelapnya masa depan warga kampung itu. Di sana, rumah-rumah berimpitan di antara gang-gang selebar sepeda motor berhiaskan tali jemuran tak beraturan berikut aneka cucian bergelantungan. 

Anak-anak tumbuh besar dengan realitas sosial bahwa keindahan itu surealis, tidak nyata. Hidup ini wajib diperjuangkan dengan segala cara meskipun hasilnya akan begitu-begitu saja, sebagaimana orangtua dan warga dewasa di sana melakukannya. Tak ada tempat bagi kelemahan, apalagi berharap belas kasih.

Tak satu pun keluarga di kampung itu orang kantoran bergaji besar plus bonus melimpah, apalagi wiraswastawan kelas menengah. Tak pula ada generasi muda tamatan perguruan tinggi. Dua gambaran sukses di sana hanyalah Yudi “Buntut” si juragan togel dan Tono “Calo” yang makelar apa saja. 

Selain mereka, Kampung Item adalah rumah bagi pengangguran, kuli pasar, tukang becak, dan pekerja serabutan seperti buruh gendong, tukang gali, hingga pesuruh apa saja. Para perempuan banyak tinggal di rumah saja, menjadi buruh cuci, atau pramusaji di kelab malam kecil dengan upah di bawah standar.

Itu pula yang membuat warga kampung yakin bahwa keberanian dan pekerjaan fisiklah yang akan menopang hidup, bukan pekerjaan bermodal harta apalagi pendidikan tinggi. Jauh dari bayangan dunia Kampung Item. Ora obah, ora mamah alias hanya dengan berjuang maka kamu bisa makan.

Anak-anak pun secara tidak sadar atau sadar merekam semua itu. Semboyannya, berani berbuat berani menanggung segala risiko yang ditimbulkan. Lalu, selesaikan sendiri masalahmu karena orangtua kalian bukanlah siapa-siapa dalam struktur kekuasaan di kota. Dan, berkelahi hanyalah salah satu nilai hidup awal yang mereka kenal sejak dini. Itulah perwujudan nyata dari berani hidup. Kalah menang urusan mburi, urusan belakangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun