Mohon tunggu...
rani Citralestari
rani Citralestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang

Selamat berkreasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gaya Bahasa dalam Cerpen "Melukis Ulang Kampung Item" Karya Gesit Ariyanto

24 September 2021   21:23 Diperbarui: 24 September 2021   21:34 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Itu pula yang membentuk Wanto dan Kancil, juga siapa saja yang tumbuh besar di sana. Sakitnya fisik karena berkelahi atau tawuran bukanlah persoalan. Terluka adalah sisi mata uang kerasnya hidup yang mereka hadapi hari ini, esok, lusa, atau hari kemudian. Berkelahi juga menjadi jalan menyelesaikan masalah.

Sejak kanak-kanak, mereka sudah dijadikan “jangkrik aduan” para pemuda kampung. Yang menangis diolok-olok hingga berani bangkit lagi, memukul lagi, sampai dianggap cukup para “penonton” yang mengelilingi. Setelah itu, mereka menguji keberanian hidup berikutnya, berkeliaran di jalanan, pasar, makam lokalisasi liar, atau mencoba segala sesuatu yang baru dan memabukkan dalam arti sesungguhnya.

Maka dari itulah Kancil dan hampir seluruh generasi muda di sana akrab, bahkan bersahabat atau kebal dengan rasa sakit. Slogan mereka “raraireg” alias “lara ora marai wareg”, sakit tidak akan bikin kenyang. Kalau mau kenyang, jangan takut sakit. Menangis, apalagi. Tabu!

Selain berkelahi, trik lain yang membentuk cara bertahan hidup adalah berbohong. Kebohongan bukanlah musuh dari sebuah kejujuran, karena kejujuran tak akan mengubah nasib. Nasib diperjuangkan, lagi-lagi dengan segala cara. Sejak kecil mereka ditempa meniti jalan menjadi berani, dimulai dengan mengutil penganan di pasar, kios-kios kecil, mencuri sandal atau kotak amal di mushala.

Kancil sesungguhnya menolak atau sadar bahwa ia tak sepenuhnya serupa dengan gambaran generasi Kampung Item. Ia sadar betul itu. Berkelahi lebih sering kalah, menenggak sedikit alkohol atau secuil pil koplo sudah teler, mencuri tak punya nyali, berbohong jelas bukan keahliannya. Pernah suatu malam, dalam ritual ujian kedewasaan di makam Cina yang dijadikan lokalisasi liar, Kancil yang masih kelas 1 SMP malah terjerembab di lubang makam karena teler berat, lalu ditolong waria yang seharusnya memberinya layanan perdana.

Bukannya iba, teman-temannya yang menjadi mentor hidup di jalanan malahan terbahak-bahak. Kejadian itu menjadi legenda konyol si Kancil yang selalu menjadi lelucon berkelanjutan di antara mereka. Di dalam hati, Kancil mensyukuri kejadian malam itu, karena ia pun sesungguhnya merasa ada yang keliru. Bukan karena rasa berdosa, jijik, aib, atau hal-hal lain seperti dijejalkan para pengkhotbah. Lebih karena ia merasa tak nyaman terlalu cepat dipaksa menjadi dewasa.

Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di kampung keras itu. Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi. Sebenarnya, ia terhitung pintar secara akademis di kelas, tetapi tidak ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih mengakrabi dunia seni yang lebih luwes. Di sekolahnya, ia beberapa kali mewakili lomba menggambar antarsekolah yayasan dan tak jarang menang. Ia juga menekuni teater dan pantomim, sesuatu yang kerap menjadi olok-olok di Kampung Item. Itu pula yang membuat Wanto menyebutnya badut.

Tak peduli itu semua. Kancil abaikan konsesi kekerasan dan olok-olok itu. Kali ini ia bertekad melanjutkan melatih anak-anak usia sekolah di Kampung Item bermain peran, dalam sebuah drama sederhana setelah membaca pengumuman di Pusat Balai Budaya tentang lomba pentas seni budaya antarkampung yang akan digelar di Balai Kota dalam rangka peringatan ulang tahun kota. Tak lama lagi.

Ia tak punya kenangan sama sekali tentang ibu. Bahkan, definisi seorang ibu pun ia belum paham benar. Ia bingung ketika teman-temannya di sekolah dasar dulu berceloteh riang tentang sosok ibu yang memandikan, menidurkan, menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, bekerja, atau mengambil rapor. Kancil hanya tahu sosok itu ada pada bulik Wasih, itupun tak sepenuhnya utuh.

Kancil sungguh merasa beruntung memiliki bulik Wasih. Perempuan itu pula satu-satunya yang menangisinya ketika sebulan lebih menghilang bersama gerombolan kecil sebayanya untuk sebuah petualangan. Mereka jadi penumpang gelap kereta, “nggerenjeng” menyinggahi sejumlah kota di Jawa Tengah, hidup dari mengamen dan mengutil, lalu tidur di mana saja. Kembali ke kampung, remaja-remaja itu menemui kenyataan bahwa tak satupun keluarga mereka merindukan. Hanya si bulik yang menginterogasi Kancil dan memintanya bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Dan, seperti sebuah mantra: kasih sayang tulus tak pernah sia-sia.

Sejak itu, Kancil tahu apa arti dirindukan dan dicintai, meskipun ia tidak bisa memahami sepenuhnya pengalaman perasaan itu. Seperti mati rasa, meskipun tidak benar-benar mati. Mungkin, ya mungkin, karena itu pulalah yang membuatnya berbeda dengan Wanto dan generasi muda kampung itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun