Mohon tunggu...
rani Citralestari
rani Citralestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang

Selamat berkreasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gaya Bahasa dalam Cerpen "Melukis Ulang Kampung Item" Karya Gesit Ariyanto

24 September 2021   21:23 Diperbarui: 24 September 2021   21:34 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

TUGAS KELOMPOK PENGANTAR PENGKAJIAN KESUSASTRAAN

GAYA BAHASA DALAM CERPEN

Melukis Ulang Kampung Item

Kelompok 7 :

Rahmi Septia Frisye21016164

Rani Citra Lestari21016040

Reni Putri Maiheni21016107

Risma 21016168

Dosen Pengampu : Dr. Abdurahman, M.Pd.

Melukis Ulang Kampung Item

Oleh: GESIT ARIYANTO

“Kamu enggak cocok jadi warga kampung sini. Kalah lagi hehhh!” gertakan Wanto diarahkan kepada lelaki di hadapannya. Kancil, si kurus yang disasar itu, beda telak dengan Wanto, kakaknya yang bertubuh gempal, berkulit gelap, rahang menonjol. Keduanya saudara sekandung yang tak kenal ibunya sejak balita, sedangkan bapaknya lebih sering menghilang daripada tinggal di rumah bilik pengap di Kampung Item.

Sore itu, Kancil lunglai di dingklik kayu rapuh sisa bongkaran. Wajahnya yang tirus melebam, tubuhnya bersandar miring hampir rebah, tarikan napasnya naik turun tak beraturan. Ia baru saja adu pukul dengan sejumlah pemuda kampung lain, berebut secuil lahan parkir di pasar sayur. Wanto benar, adiknya dan dua temannya kalah lagi. Beruntung mereka masih lolos dari sabetan badik.

Entah ini perkelahian keberapa dalam hidup Kancil yang memasuki usia 18 tahun. Yang ia ingat, lebih sering kalahnya daripada sukses memukul, apalagi merobohkan lawan. Bahkan, ia tak ingat lagi kapan kemenangan terakhirnya berkelahi. Itulah kenapa Wanto menjulukinya pecundang. Ya, selalu kalah.

“Mending jadi badut saja sana,” Wanto mengejek. Kancil membisu. Bau alkohol menyeruak bersama kepulan pekat asap rokok yang diembuskan Wanto, bersekongkol dengan bau tak sedap aroma sungai gelap keruh di sisi kampung. Wanto tidak menyukai kekalahan karena menunjukkan kelemahan. Tetapi, itu urusan adiknya, bukan dirinya.

Kancil menerima saja julukan pecundang atau apapun itu, yang telah menjadi label di antara mereka. Toh ia memang hampir selalu kalah adu jotos. Namun, ia punya pembelaan karena perawakannya kecil dan pendek, yang juga menjadi ikhwal kenapa ia dipanggil Kancil, sedangkan Wanto yang tiga tahun lebih tua menjelma menjadi pentolan kampung. Satu kesamaan mereka dengan warga kampung lain, punya nyali besar menghadapi kerasnya hidup, jika nyali yang dimaksud adalah hidup mengalir begitu saja tanpa perencanaan.

Kampung Item nama julukan kawasan yang entah sejak kapan disematkan. Mungkin karena aliran sungai berair hitam yang membelah kantong permukiman di tengah kota itu. Atau, mungkin satire pada gelapnya masa depan warga kampung itu. Di sana, rumah-rumah berimpitan di antara gang-gang selebar sepeda motor berhiaskan tali jemuran tak beraturan berikut aneka cucian bergelantungan. 

Anak-anak tumbuh besar dengan realitas sosial bahwa keindahan itu surealis, tidak nyata. Hidup ini wajib diperjuangkan dengan segala cara meskipun hasilnya akan begitu-begitu saja, sebagaimana orangtua dan warga dewasa di sana melakukannya. Tak ada tempat bagi kelemahan, apalagi berharap belas kasih.

Tak satu pun keluarga di kampung itu orang kantoran bergaji besar plus bonus melimpah, apalagi wiraswastawan kelas menengah. Tak pula ada generasi muda tamatan perguruan tinggi. Dua gambaran sukses di sana hanyalah Yudi “Buntut” si juragan togel dan Tono “Calo” yang makelar apa saja. 

Selain mereka, Kampung Item adalah rumah bagi pengangguran, kuli pasar, tukang becak, dan pekerja serabutan seperti buruh gendong, tukang gali, hingga pesuruh apa saja. Para perempuan banyak tinggal di rumah saja, menjadi buruh cuci, atau pramusaji di kelab malam kecil dengan upah di bawah standar.

Itu pula yang membuat warga kampung yakin bahwa keberanian dan pekerjaan fisiklah yang akan menopang hidup, bukan pekerjaan bermodal harta apalagi pendidikan tinggi. Jauh dari bayangan dunia Kampung Item. Ora obah, ora mamah alias hanya dengan berjuang maka kamu bisa makan.

Anak-anak pun secara tidak sadar atau sadar merekam semua itu. Semboyannya, berani berbuat berani menanggung segala risiko yang ditimbulkan. Lalu, selesaikan sendiri masalahmu karena orangtua kalian bukanlah siapa-siapa dalam struktur kekuasaan di kota. Dan, berkelahi hanyalah salah satu nilai hidup awal yang mereka kenal sejak dini. Itulah perwujudan nyata dari berani hidup. Kalah menang urusan mburi, urusan belakangan.

Itu pula yang membentuk Wanto dan Kancil, juga siapa saja yang tumbuh besar di sana. Sakitnya fisik karena berkelahi atau tawuran bukanlah persoalan. Terluka adalah sisi mata uang kerasnya hidup yang mereka hadapi hari ini, esok, lusa, atau hari kemudian. Berkelahi juga menjadi jalan menyelesaikan masalah.

Sejak kanak-kanak, mereka sudah dijadikan “jangkrik aduan” para pemuda kampung. Yang menangis diolok-olok hingga berani bangkit lagi, memukul lagi, sampai dianggap cukup para “penonton” yang mengelilingi. Setelah itu, mereka menguji keberanian hidup berikutnya, berkeliaran di jalanan, pasar, makam lokalisasi liar, atau mencoba segala sesuatu yang baru dan memabukkan dalam arti sesungguhnya.

Maka dari itulah Kancil dan hampir seluruh generasi muda di sana akrab, bahkan bersahabat atau kebal dengan rasa sakit. Slogan mereka “raraireg” alias “lara ora marai wareg”, sakit tidak akan bikin kenyang. Kalau mau kenyang, jangan takut sakit. Menangis, apalagi. Tabu!

Selain berkelahi, trik lain yang membentuk cara bertahan hidup adalah berbohong. Kebohongan bukanlah musuh dari sebuah kejujuran, karena kejujuran tak akan mengubah nasib. Nasib diperjuangkan, lagi-lagi dengan segala cara. Sejak kecil mereka ditempa meniti jalan menjadi berani, dimulai dengan mengutil penganan di pasar, kios-kios kecil, mencuri sandal atau kotak amal di mushala.

Kancil sesungguhnya menolak atau sadar bahwa ia tak sepenuhnya serupa dengan gambaran generasi Kampung Item. Ia sadar betul itu. Berkelahi lebih sering kalah, menenggak sedikit alkohol atau secuil pil koplo sudah teler, mencuri tak punya nyali, berbohong jelas bukan keahliannya. Pernah suatu malam, dalam ritual ujian kedewasaan di makam Cina yang dijadikan lokalisasi liar, Kancil yang masih kelas 1 SMP malah terjerembab di lubang makam karena teler berat, lalu ditolong waria yang seharusnya memberinya layanan perdana.

Bukannya iba, teman-temannya yang menjadi mentor hidup di jalanan malahan terbahak-bahak. Kejadian itu menjadi legenda konyol si Kancil yang selalu menjadi lelucon berkelanjutan di antara mereka. Di dalam hati, Kancil mensyukuri kejadian malam itu, karena ia pun sesungguhnya merasa ada yang keliru. Bukan karena rasa berdosa, jijik, aib, atau hal-hal lain seperti dijejalkan para pengkhotbah. Lebih karena ia merasa tak nyaman terlalu cepat dipaksa menjadi dewasa.

Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di kampung keras itu. Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi. Sebenarnya, ia terhitung pintar secara akademis di kelas, tetapi tidak ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih mengakrabi dunia seni yang lebih luwes. Di sekolahnya, ia beberapa kali mewakili lomba menggambar antarsekolah yayasan dan tak jarang menang. Ia juga menekuni teater dan pantomim, sesuatu yang kerap menjadi olok-olok di Kampung Item. Itu pula yang membuat Wanto menyebutnya badut.

Tak peduli itu semua. Kancil abaikan konsesi kekerasan dan olok-olok itu. Kali ini ia bertekad melanjutkan melatih anak-anak usia sekolah di Kampung Item bermain peran, dalam sebuah drama sederhana setelah membaca pengumuman di Pusat Balai Budaya tentang lomba pentas seni budaya antarkampung yang akan digelar di Balai Kota dalam rangka peringatan ulang tahun kota. Tak lama lagi.

Ia tak punya kenangan sama sekali tentang ibu. Bahkan, definisi seorang ibu pun ia belum paham benar. Ia bingung ketika teman-temannya di sekolah dasar dulu berceloteh riang tentang sosok ibu yang memandikan, menidurkan, menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, bekerja, atau mengambil rapor. Kancil hanya tahu sosok itu ada pada bulik Wasih, itupun tak sepenuhnya utuh.

Kancil sungguh merasa beruntung memiliki bulik Wasih. Perempuan itu pula satu-satunya yang menangisinya ketika sebulan lebih menghilang bersama gerombolan kecil sebayanya untuk sebuah petualangan. Mereka jadi penumpang gelap kereta, “nggerenjeng” menyinggahi sejumlah kota di Jawa Tengah, hidup dari mengamen dan mengutil, lalu tidur di mana saja. Kembali ke kampung, remaja-remaja itu menemui kenyataan bahwa tak satupun keluarga mereka merindukan. Hanya si bulik yang menginterogasi Kancil dan memintanya bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Dan, seperti sebuah mantra: kasih sayang tulus tak pernah sia-sia.

Sejak itu, Kancil tahu apa arti dirindukan dan dicintai, meskipun ia tidak bisa memahami sepenuhnya pengalaman perasaan itu. Seperti mati rasa, meskipun tidak benar-benar mati. Mungkin, ya mungkin, karena itu pulalah yang membuatnya berbeda dengan Wanto dan generasi muda kampung itu.

Kancil bahagia dengan proses dan keceriaan anak-anak yang menghidupkan kampung selama latihan di lahan kosong di tepi sungai berbau. Hasil lomba di Balai Kota bukanlah tujuan akhir, karena ia hanya ingin nama Kampung Item setidaknya pernah disebut dalam sebuah peristiwa di luar hal yang berurusan dengan kriminalitas dan masalah sosial perkotaan. Itu saja.

Gaya bahasa yang ada dalam movel ini adalah :

Majas Hiperbola

 mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berlebihan, bahkan sering tidak masuk akal. Kutipannya adalah “ Kancil, di kurus yang disasar itu, beda telak dengan Wanto, kakaknya yang bertubuh gempal, berkulit gelap, rahang menonjol.”

Majas Sarkasme

Majas sindiran yang yang menggunaan kata-kata berkonotasi kasar kepada corang lain. Kutipannya adalah “ itulah kenapa Wanto menjulukinya pecundang. Ya, selalu kalah. “ mending jadi badut aja sana,” ejek Wanto”.”

Majas Personifikasi

Digunakan untuk menggantikan fungsi benda mati yang dapat bersikap seperti manusia.

“Mungkin karena aliran sungai berair hitam yang membelah kantong pemukiman ditengah kota itu. Atau, mungkin setire ada gelapnya masa depan warga kampung itu.”

Majas Simbolik

Gaya bahasa yang didalam kalimatnya menggambarkan sesuatu hal dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan mksuadnya.

“Sejak kanak-kanak, mereka sudah dijadikan jangkrik aduan para pemuda kampung.”

Majas Klimaks 

Mengutarakan maksud dengan mengatakan kata-kata yang berturut-turut yang memiliki hubungan herarki, dari yang sederhana menjadi yang lebih kompleks. 

“Terluka adalah sisi mata uang kerasnya hidup yang mereka hadapi hari ini, esok, lusa atau hari kemudian.”

“Ia bingung ketika teman-temannya berceloteh riang tentang sosok ibu yang memandikan, menidurkan, menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, bekerja, atau mengambil raport.”

Majas Repitisi

Pengulangan kata atau frasa dalam karya sastra untuk mempertegas suatu makna. Pengulangan dalam puisi atau lagu bertujuan untuk menciptakan ritme.

“tubuhnya kuyu, matanya sembab, entah menahan sakit, pedih, atau sedih, atau lebih dari itu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun