Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer Jilid 2: Reshuffle Kabinet dan Naiknya Daya Tawar TNI
(Jawaban Artikel Sebelumnya: Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer: Kajian Filsafat Politik dalam Konteks Indonesia Kontemporer): https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/68b73b6434777c68534517e2/berfilsafat-dengan-benar-indonesia-hari-ini
Oleh: R. Hady Syahputra Tambunan
Latar belakang pendidikan di bidang hukum, bekerja sebagai karyawan swasta, aktif menulis di media online dengan fokus pada kritik isu politik, sosial, budaya, dan hukum. Terlibat dalam kegiatan kerelawanan politik serta memiliki minat besar pada kajian filsafat
Dalam artikel sebelumnya, kita membedah dialektika sipil vs militer di Indonesia pasca-Reformasi. Polri diposisikan sebagai simbol kekuasaan sipil, sedangkan TNI dipaksa mundur ke barak. Dua dekade lebih, wajah keamanan negara identik dengan Polri.
Namun, kerusuhan Jakarta terbaru membuka babak baru: panggung berbalik, sipil melemah, militer menguat.
Pertanyaannya: mengapa momentum kerusuhan ini justru berujung pada reshuffle kabinet yang memperlihatkan pergeseran peta kekuasaan?.
Kerusuhan Jakarta Sebagai Titik Balik
Kerusuhan bermula dari peristiwa sederhana: seorang pengemudi ojol, Affan, ditabrak Brimob. Dari kasus itu lahirlah simbol kemarahan rakyat terhadap aparat. Brimob-representasi Polri- dicitrakan sebagai wajah kekerasan negara.
Media besar seperti Tempo bahkan menyebut adanya dugaan operasi BAIS, sehingga TNI ikut terseret. Namun menariknya, sorotan publik berhenti pada Polri. TNI tetap utuh, bahkan justru tampil sebagai “alternatif penjamin stabilitas.”
Polri pun kehilangan posisi tawar. Ia tak lagi bisa berlindung di balik narasi “reformasi” atau “wajah sipil” negara.
Reshuffle Kabinet: Tukar Guling Politik