Logika politiknya sederhana: ketika Polri jatuh citranya, TNI tampil sebagai “alternatif stabilitas.” Dialektika sipil vs militer yang tadinya condong ke Polri kini berbalik.
Dalam kerangka Hegelian:
- Tesis: Polri dominan pasca-reformasi (2004–2024).
- Antitesis: Kerusuhan Jakarta, represi brutal, delegitimasi publik.
- Sintesis: Kebangkitan militer sebagai penjamin stabilitas.
PDIP: Dari Penguasa ke Oposisi Setengah Hati
Sejak era Megawati, PDIP memegang kendali atas institusi keamanan lewat Budi Gunawan dan jejaring intelijen. Namun reshuffle kali ini memutus rantai itu.
PDIP kehilangan figur, kehilangan instrumen keamanan, dan makin dilemahkan oleh kasus Hasto. Mereka kini terancam jadi “oposisi setengah hati”: tak punya proteksi, tak punya sumber daya, tapi masih dibayang-bayangi kasus hukum kadernya.
Poros Kekuasaan Baru
Pergeseran ini melahirkan poros baru:
- Prabowo: presiden dengan legitimasi militer.
- Luhut: manajer sumber daya & oligarki ekonomi.
- Golkar: mesin politik paling berpengalaman.
- NU: dilegitimasi lewat jabatan strategis, memotong dominasi PKB.
Sementara itu:
- PDIP melemah drastis.
- PKB kehilangan posisi strategis, kembali ke politik dua kaki.
- Polri dibiarkan sendirian jadi tumbal.
Membaca dengan Teori Politik
Tiga teori penting menjelaskan dinamika ini:
- Scapegoating (René Girard): Polri dikorbankan untuk memulihkan harmoni elite.
- Elite Circulation (Pareto & Mosca): Elite lama (PDIP, Polri) digantikan elite baru (militer, Golkar, NU).
- Power Elite (C. Wright Mills): Aliansi militer, oligarki, dan birokrat agama membentuk koalisi baru pengendali negara.
Dengan kacamata ini, kerusuhan Jakarta bukan sekadar insiden, melainkan momentum transformasi elit.