Kerusuhan ini segera diterjemahkan dalam bahasa kekuasaan. Hanya dalam hitungan minggu, Presiden melakukan reshuffle kabinet yang sarat makna:
- Sri Mulyani (mundur, atau diganti). Simbol kredibilitas fiskal, figur yang dianggap dekat dengan PDIP, ikon kenaikan pajak-tetapi anggaran DPR ikut naik-yang memicu demo dan kerusuhan.
- Budi Gunawan tersingkir. Menkopolhukam, mantan kepala BIN, orang dekat Megawati sekaligus simbol Polri di lingkar inti kekuasaan, ditarik keluar. Di tengah desakan publik mengganti Listyo Sigit, Prabowo justru mengorbankan Budi Gunawan. Orang Mega, tapi juga simbol Polri.
- Orang Jokowi ikut tersisih. Nama-nama seperti Budi Arie (menyusul Ebenezer yang lebih dulu tereliminasi). Walau Listyo-simbol Jokowi-selamat, Budi Arie dilempar. Dua representasi relawan Jokowi resmi tersingkir.
- Gerindra–Golkar berjaya. Dua partai ini justru mendapatkan posisi lebih strategis. Gerindra tampil sebagai ruling party, sementara Golkar-partai paling pragmatis-diikat dengan kekuasaan baru. Simbol orang lama Jokowi diambil Prabowo, tapi loyalis Jokowi-relawan dan Polri dipotong.
- NU makin kokoh. Tapi bukan lewat PKB, melainkan lewat penempatan kader Gerindra di Kementerian Agama dan Haji. Prabowo tak mau NU dijadikan daya tawar kelompok lain. NU diambil langsung, sebagai basis rakyat kecil dan kedaerahan.
Konsekuensi Politik
Fakta hari ini menjawab sebuah konsekuensi yang jelas:
- PDIP kehilangan pijakan, atau bisa dikatakan jejaknya habis. Walau kalah Pilpres 2024 Prabowo sebelumnya masih memandang PDIP sebagai pemenang Pileg-dengan ketua DPR masih ditangan. Dengan hancurnya citra DPR maka PDIP telah kehilangan daya tawar. Apalagi Prabowo sudah memberikan PDIP hadiah dengan Amnesti Hasto Kristiyanto-Sekejn PDIP.
- Polri yang adalah anak emas reformasi dan penyokong utama kekuasaan rejim Jokowi nampak kehilangan proteksi, bahkan tak mendapat pembelaan Presiden, padahal Tempo sudah membuka terang-terangan dugaan keterlibatan oknum militer dalam kerusuhan.
- TNI yang mulai terpojok oleh serangan Tempo dan nyaris terseret sebagai “penunggang” justru malah keluar sebagai pemenang, menguasai narasi utama sebagai pelindung rakyat. TNI menjadi yang paling diuntungkan pasca demo dan kerusuhan sosial.
Bukti paling telak adalah penunjukan Syafrie Syamsuddin sebagai Menkopolhukam ad interim. Posisi strategis ini membawahi koordinasi hukum, politik, dan keamanan-termasuk Polri, Kejaksaan, dan BIN.
Artinya adalah TNI bukan sekadar lolos dari sorotan, tapi memperoleh ruang kendali lebih besar. Sementara itu, tiga penopang utama kekuasaan Prabowo-selain TNI yaitu Gerindra, Golkar, dan NU-semakin menancapkan hegemoninya.
Polri: Dari Penguasa Sipil ke Kambing Hitam
Selama dua dekade, Polri adalah pemenang utama reformasi. Ia mengambil alih hampir semua fungsi TNI: pemberantasan terorisme, penanganan demo, hingga urusan politik lokal. Polri adalah institusi sipil paling kuat.
Namun kerusuhan Jakarta membalikkan segalanya. Korban sipil, represi brutal, dan lambannya pertanggungjawaban hukum menjadikan Polri kambing hitam.
Teori René Girard tentang scapegoating relevan di sini: Polri dijadikan persembahan pengorbanan untuk meredam amarah publik. Tidak ada elite yang membela, bahkan Presiden pun seolah membiarkan Polri kehilangan martabatnya.
TNI: Dari Tersangka ke Pemenang
Ironisnya, TNI yang sempat disebut Tempo lewat dugaan operasi BAIS justru keluar lebih kuat. Nama Syafrie Syamsuddin-eks perwira tinggi TNI, loyalis Prabowo-malah melesat naik.