Merdeka dalam Rangkaian Kenangan: Ibu, Madagaskar, dan Jiwa Kemerdekaan
Pagi ini pukul 09.30 kami tiba setelah kunjungan industri beberapa hari di Bali. Karena lelah saya langsung tidur. Sore menjelang pukul 15.15 di meja kerja saya di samping layar komputer, foto Mama Persila Goo (yang lahir 74 tahun silam, tepat pada 16 Agustus 1951) menatap saya dengan senyum yang tak pernah pudar. Saya pindahkan foto mama dan bapak ke meja doa. Di sana saya nyalakan lilin di depannya, mengiringi doa untuk jiwa yang telah lima tahun berpulang. Mama lahir di malam menjelang usia kemerdekaan Indonesia yang keenam, di kampung Wajo, Mabhambawa, Keo Tengah, Nagekeo, sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk ibu kota, tapi dekat dengan denyut tanah air yang baru merdeka.
Mama, 16 Agustus, dan Warisan yang Tak Terpisahkan
Mama adalah anak kemerdekaan. Ia tumbuh di tanah yang masih berdebu jejak kolonial, tapi menghirup udara kebebasan yang diusung oleh para pejuang. Saat ia lahir, Indonesia baru enam tahun melepaskan belenggu penjajahan, dan kampungnya di Nagekeo (meski terpencil) telah menjadi bagian dari republik yang berani bermimpi. Bagi saya, Mama bukan sekadar ibu; ia adalah jembatan antara generasi yang memperjuangkan merdeka dan generasi yang lahir di bawah langit RI. Saat ia mengajarkan saya nyanyian daerah Nagekeo atau bercerita tentang sawah yang ditanami padi dengan tangan berkeringat, ia tak hanya mewariskan budaya, ia menyuntikkan jiwa kemerdekaan yang sederhana: merdeka adalah hak untuk menjadi diri sendiri, di tanah sendiri.
Kini, di malam tirakatan ini, ketika lilin di depan fotonya berkedip, saya teringat perjalanan ke Bali bersama siswa SMK Kesehatan Binatama. Lima hari mendampingi mereka (12--16 Agustus) mengingatkan saya pada pesan Mama: Kemerdekaan bukan hanya tentang bendera yang berkibar, tapi tentang tangan-tangan muda yang siap meneruskan estafet.
Jimbaran, Bahasa Malagasi, dan Jejak Silsilah Nusantara
Di Pantai Jimbaran, pada hari terakhir perjalanan, sebuah keajaiban kecil terjadi. Saat hendak makan, pandangan saya tertuju pada rombongan turis dengan raut wajah yang mengingatkan pada lukisan-lukisan lontar di museum kepala saya. Tanpa ragu, saya menyapa mereka dalam bahasa Malagasi: "Salama, izaho Malagasy ve?" (Halo, apakah kalian orang Madagaskar?). Dua orang dari mereka sontak terkejut, lalu tersenyum lebar.
"Kenapa kamu bisa tahu kalau kami orang Madagaskar?" tanya seorang pria yang merupakan pemimpin rombongan. Dia merupakan agen wisata asli Madagaskar yang tinggal di Prancis. Dia sedang mendampingi sebuah keluarga, seorang Pria Prancis dengan istri (orang Madagaskar) dan ketiga putra dan putrinya. Mereka di Bali didampingi seorang tour guide lokal asal Kupang.
Saya jelaskan bahwa bahasa kami (bahasa Malagasi dan bahasa-bahasa di Nusantara) adalah saudara jauh. Ratusan tahun silam, nenek moyang mereka berlayar dari Kalimantan menuju Madagaskar, membawa sape, tarian, dan nyanyian yang kini menjadi jiwa pulau itu. "Orang Indonesia dan Madagaskar sama-sama mencintai musik dan tari," kata saya dalam Malagasi, lalu mengajak mereka menonton siswa SMK Binatama yang akan tampil secara spontan.
Benar saja, saat anak-anak itu melantunkan lagu Bahasa Jawa dengan iringan tari, salah satu dari turis itu berdiri, dan ikut menari. Lautan biru Jimbaran seolah menjadi saksi bisu pertemuan dua saudara yang terpisah waktu.
Merdeka: Bukan Hanya Sejarah, Tapi Juga Pertemuan
Di malam tirakatan ini, saya menyadari: kemerdekaan Indonesia bukan hanya tentang proklamasi di 17 Agustus 1945. Ia adalah rangkaian pertemuan, pertemuan Mama dengan tanah air yang baru lahir, pertemuan saya dengan para sahabat Madagaskar yang ternyata masih menyimpan jejak leluhur Nusantara, dan pertemuan siswa-siswi SMK Binatama dengan dunia yang luas.