Sosialisme Indonesia dalam koperasi berarti menghadirkan prinsip gotong royong, kesadaran ideologis, dan mekanisme kontrol rakyat terhadap jalannya produksi dan distribusi.
Jika elemen-elemen kelemahan historis tidak diatasi secara sistematis dan ideoologis, banyak potensi dari program Koperasi Desa Merah Putih yang bisa "dikapitalisasi" atau dikuasai oleh elit lokal.
Beberapa implikasi yang dapat dianalisis adalah sebagai berikut:
- Elit lokal bisa menjadi "pengurus nominal" sementara mereka yang punya akses modal, jaringan, dan relasi pemerintahan yang kuat menjadi pihak yang menentukan arah usaha dan arus finansial di dalam koperasi.
- Karena modal besar dari bank-bank Himbara dialirkan ke koperasi Merah Putih, ada potensi "penumpang gelap" di mana modal dipakai untuk kepentingan politis lokal, bukan untuk kesejahteraan anggota.
- Kekuasaan lokal (kepala desa, tuan tanah, penguasa desa, pengusaha lokal) jika tidak ada mekanisme check and balance dan partisipasi yang kuat, bisa menjadi "gatekeeper" akses terhadap manfaat koperasi: siapa yang mendapat pinjaman, siapa yang dipakai sebagai pemasok, siapa yang akan dipasok.
- Ketidakmerataan kemampuan antar koperasi akan memperlebar kesenjangan: koperasi yang "pengurusnya cakap" di desa dengan akses infrastruktur dan modal besar akan berkembang pesat; koperasi di desa terpencil yang hanya formal akan terlantar. Ini bisa menciptakan kelas koperasi---mirip kelas kapitalis/struktur sosial---antara koperasi "elit" dan koperasi "bawah".
Strategi Berlapis Kemenkop: Antara Harapan dan Risiko
Langkah Kemenkop merekrut Project Management Officer, Business Assistant, hingga Pendamping Desa bisa dipandang sebagai upaya untuk menciptakan struktur pengelolaan yang profesional. Namun, kebijakan ini menyimpan dua sisi:
- Harapan:
- Membawa perspektif baru yang lebih profesional.
- Menjadi agen penghubung antara pemerintah pusat dan komunitas desa.
- Mengawal agar praktik koperasi sesuai prinsip demokrasi ekonomi.
- Memperkuat fungsi pengawasan.
- Bisnis proposal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
- Risiko:
- Posisi strategis itu justru bisa melahirkan lapisan elit birokratik baru yang berjarak dengan anggota koperasi.
- Jika mekanisme pengawasan lemah, rekrutmen ini bisa menjadi pintu masuk kooptasi politik.
- Profesionalisasi tanpa pendidikan ideologis berbasis sosialisme Indonesia dapat menggeser koperasi menjadi semata entitas bisnis, melupakan aspek kolektifnya.
Mencegah Koperasi Dikuasai Elit Lokal
Untuk mencegah agar koperasi tidak jatuh ke tangan elit lokal, ada beberapa langkah yang harus ditempuh:
- Penguatan Literasi Koperasi. Anggota harus dibekali pemahaman tentang hak dan kewajiban mereka, bukan sekadar menjadi nasabah.
- Demokratisasi Internal. Mekanisme pemilihan pengurus harus transparan, rotasi kepemimpinan dijalankan secara konsisten, dan rapat anggota tidak boleh hanya formalitas.
- Desain Partisipatif. Program koperasi dirancang berdasarkan kebutuhan mayoritas warga, bukan agenda elit.
- Pengawasan Kolektif. Kehadiran pendamping desa harus diarahkan sebagai fasilitator, bukan pengendali. Mereka harus diawasi langsung oleh anggota koperasi.
- Kesadaran Ideologis. Koperasi harus dilihat bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan sebagai gerakan sosial berbasis solidaritas rakyat---sebuah praksis sosialisme Indonesia di tingkat desa.
Kesimpulan
Koperasi Merah Putih di desa/kelurahan adalah medan pertarungan antara emansipasi rakyat dan bayang-bayang oligarki lokal.
Strategi berlapis Kemenkop menawarkan peluang untuk membangun fondasi baru yang lebih profesional, namun risiko kooptasi elit tidak bisa diabaikan.
Melalui pendekatan sosialisme Indonesia, koperasi harus ditempatkan sebagai instrumen perjuangan rakyat desa yang sadar, bukan sebagai kendaraan elit.