Dalam sejarahnya, koperasi di Indonesia menghadapi beberapa problem mendasar:
- Politisasi Koperasi. Pada masa Orde Baru, koperasi dijadikan alat mobilisasi politik dan ekonomi negara. KUD (Koperasi Unit Desa) sering hanya menjadi perpanjangan tangan birokrasi, sehingga otonomi warga nyaris hilang.
- Ketergantungan pada Subsidi. Koperasi banyak yang tidak mandiri karena terlalu bergantung pada bantuan pemerintah. Subsidi yang semestinya menjadi stimulus justru melahirkan kultur ketergantungan.
- Dominasi Elit Lokal. Struktur kepengurusan koperasi kerap dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal sosial lebih besar, seperti kepala desa, tuan tanah, atau pedagang kaya beserta kroni-kroninya. Akibatnya, koperasi menjadi eksklusif, jauh dari prinsip demokrasi ekonomi.
- Rendahnya Literasi Koperasi. Sebagian anggota melihat koperasi sekadar sebagai lembaga simpan-pinjam tanpa memahami fungsi kolektifnya sebagai alat transformasi ekonomi rakyat.
Kelemahan-kelemahan ini memperlihatkan bahwa koperasi di Indonesia sering gagal mewujudkan cita-cita sosialisme ekonomi, yaitu pengelolaan produksi dan distribusi oleh rakyat untuk rakyat.
Dampak Kelemahan Historis: Konkret dan Nyata
Dengan melihat data kondisi terkini serta sejarah kelemahan koperasi di masa lalu, dapat kita lihat beberapa dampak nyata yang muncul:
- Keterbatasan Keaktifan dan Administrasi
Banyak koperasi yang "terdaftar" tetapi tidak aktif. Pengurusnya tidak jelas, alamat tidak valid, operasi tidak berjalan. Di Balikpapan misalnya, banyak koperasi yang secara formal ada tapi tidak melakukan aktivitas produktif. Hal ini menunjukkan bahwa sekadar jumlah koperasi tidak menjamin fungsi koperasi sebagai lembaga ekonomi yang hidup. - Ketergantungan dan Kurangnya Kemandirian Finansial
Karena selama puluhan tahun koperasi banyak dibantu melalui subsidi atau bantuan pemerintah, beberapa koperasi tidak mengembangkan usaha mandiri yang kokoh. Akibatnya, ketika stimulus berkurang atau pengawasan regulasi ikut berubah, koperasi tersebut menjadi rentan bangkrut atau ditelantarkan. - Dominasi Elit dan Distorsi Kepemilikan Anggota
Walaupun ada Rapat Anggota Tahunan sebagai forum tertinggi dalam pembentukan koperasi, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa setelah dibentuk, kepengurusan seringkali dikuasai oleh tokoh lokal (kepala desa, pengusaha lokal) yang memiliki modal dan kekuasaan sosial lebih besar, sedangkan anggota lainnya hanya sebagai penerima manfaat pasif. Distorsi ini menyebabkan keputusan usaha koperasi memihak elit, misalnya pemasaran produk, pemilihan jenis usaha, pemanfaatan laba, yang sering tidak merata. - Penurunan Kepercayaan Anggota/Partisipasi Rakyat
Karena praktik masa lalu koperasi yang kurang transparan, kurang akuntabel, atau bahkan korupsi dalam beberapa kasus, banyak anggota (terutama anggota biasa) yang ragu untuk aktif, menaruh modal, atau berpartisipasi dalam rapat anggota. Ketidakpercayaan ini melemahkan partisipasi demokratis dalam koperasi. - Ketidakmampuan Menghadapi Persaingan Eksternal
Di era globalisasi dan digitalisasi, koperasi yang tidak adaptif --- karena kelemahan pengelolaan, minim inovasi, modal kecil, jaringan terbatas, kalah bersaing dengan lembaga keuangan mikro non-koperasi, fintech, atau perusahaan swasta yang lebih lincah. Ini menyebabkan beberapa koperasi "meredup" bahkan gulung tikar. - Ketimpangan Wilayah dan Sektor
Sebagian besar koperasi aktif berpusat di Pulau Jawa dan beberapa provinsi dengan infrastruktur dan akses lebih baik. Daerah-daerah terpencil, timur Indonesia, daerah non-Jawa mengalami penetrasi dan keberlakuan koperasi yang rendah, baik dari sisi jumlah, kualitas manajemen, maupun dukungan sumber daya. Ini mengulang pola pemerataan ekonomi yang timpang. - Fungsi Pasar dan Rantai Pasok yang Lemah
Dengan koperasi yang tidak kuat dalam pengorganisasian usaha produksi/distribusi, banyak desa tetap tergantung pada tengkulak, rentenir, atau pasar luar desa yang mengambil margin sangat besar. Ketiadaan koperasi yang mampu mengambil alih fungsi pengumpulan, penyimpanan, distribusi produk lokal menyebabkan petani/nelayan tetap mendapat harga rendah dan memikul risiko tinggi.
Pendekatan Teori Sosialisme dalam Koperasi
Sosialisme menekankan pada kepemilikan kolektif, solidaritas, serta distribusi yang adil. Dalam kerangka ini, koperasi merupakan bentuk praksis sosialisme Indonesia yang khas di tingkat mikro.
Karl Marx pernah menegaskan bahwa relasi produksi menentukan struktur masyarakat. Jika koperasi dikuasai elit lokal, maka ia hanya mereproduksi ketimpangan kelas dalam skala desa.
Dengan kata lain, alih-alih menjadi alat emansipasi, koperasi bisa menjadi sarana reproduksi feodalisme baru.
Di sinilah pentingnya institutional design koperasi yang menjamin keterlibatan luas warga desa---bukan hanya formalitas rapat anggota, tetapi juga pengawasan demokratis, keterbukaan informasi, dan mekanisme check and balance internal.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!