Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Enggan Bermain, Enggan Memelihara Endorfin

14 September 2020   19:36 Diperbarui: 15 September 2020   11:31 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain. (Sumber: shutterstock via kompas.com)

"Biarkan kami bermain, karena hari masih siang dan kami tidak bisa tidur; Juga, burung-burung kecil terbang di angkasa dan bukit-bukit tertutup oleh domba."
-William Blake (Penyair Inggris, Abad ke-19)

Kutipan kalimat dari William Blake diatas aku baca secara tak sengaja pada halaman tiga ratus enam dalam buku Life Span Development milik Santrock. 

Posisiku saat itu, sedang berbaring membaca buku diatas kasur dan tepat di waktu siang hari pula. Kebetulan, aku juga sedang tak bisa tidur, jadi waktu siang itu aku gunakan untuk membaca buku sekedar untuk mengusir kebosanan. 

Aku terpaku pada kalimat itu, dan tanpa sadar ibarat berperan sebagai Riley di Film Inside Out, saat itu  seolah ada sebuah memori jangka panjang  sedang diputar di otakku. Ya, perihal bermain, siang hari, dan bersenang-senang. 

Aku seolah ditarik kembali ke usia antara empat atau lima tahun, tidak pasti. Yang jelas, itu adalah masa dimana aku selalu dipaksa untuk tidur siang oleh ibu, dan yang pasti aku selalu melarikan diri dengan hati-hati ketika diminta untuk tidur siang tadi.  


"Ayo, udah siang tidur dulu Dek, biar malemnya pas ngaji gak ngantuk."

Sekali lagi, aku adalah seorang anak yang tinggal di desa. wajar bagi anak desa sepertiku dibiasakan tidur siang, sebab ketika habis maghrib hingga setelah isya kami akan disuruh untuk mengaji di Musholla. Agar anaknya tidak mengantuk saat mengaji, oleh karena itu wajib hukumnya bagi kami untuk tidur siang. 

Ibuku salah satunya, orangtua yang sangat konsisten dan bisa marah besar kalau mengetahui anaknya siang hari berkeliaran bermain diluar daripada memilih untuk tidur siang.

Adakah yang sama nasibnya sepertiku? Kalau ada, sungguh ingatan seperti ini akan membuat senyum-senyum kegelian ketika di recall oleh ingatan pemiliknya. 

Aku mengingat kejadian setiap kali diminta untuk tidur siang, aku akan menunggu keadaan dimana ibu mengecek dan memastikan aku sudah tidur, padahal aku sedang berpura-pura pulas diatas kasur. 

sumber: pinterest.com/inchikidana
sumber: pinterest.com/inchikidana
Setelahnya apabila pintu terkunci, maka jendela menjadi pilihan paling pas untuk melarikan diri. Seolah, bermain adalah suatu hal yang sangat penting dan tak bisa ditunda ketika sudah muncul rasa ingin.

Bisa dikatakan, bermain memang sebuah kebutuhan pertama dan utama bagi anak usia dini. Sampai-sampai, cara belajar yang bagus untuk anak usia dini ya sembari bermain. Bermain sambil belajar, belajar melalui bermain. 

Ada banyak sekali alasan mengenai hal ini yang memang bagus untuk anak. Dilihat dari aspek psikologi misalnya, bermain banyak sekali memberikan manfaat kepada anak. Misalnya mengembangkan aspek motorik, kognitif, kemampuan berbahasa, atau yang paling pasti adalah aspek sosial emosional. 

Sebab, meskipun bermain ada tahapan-tahapannya dari mulai bermain secara praktis, simbolik, sampai ke bermain bersama teman atau cooperative play, yang pasti adalah memungkinkan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. 

Melalui bermain kemampuan bersosialisasi anak menjadi berkembang, melatih anak untuk dapat mandiri, sebab ya memang ketika bermain bersama teman dan tidak ditunggu atau tidak ditemani oleh orangtua akan membuat anak merasa perlu untuk beradaptasi dengan keadaan, khususnya dalam hal menyelesaikan masalah yang ditemui ketika bermain.

Permasalahan yang muncul disini bukan kemudian permasalahan yang pelik menurut perspektif orang dewasa. Namun, bisa dimulai dari permasalah-permasalahan yang sederhana. 

Contohnya, bagaimana untuk merespon ketika ada teman yang tidak mau mengalah saat bermain bersama, bagaimana mengajak teman untuk bermain bersama atau bahkan hanya bagaimana caranya agar bisa menyapa dengan teman yang bahkan baru dikenal. Bagi orang dewasa, barangkali hal ini dianggap remeh, tapi bagi anak usia dini hal ini tidak. 

Sebab, ada satu hal yang masih melekat ketika seorang anak masih berusia dini. Bisa ditebak sikap apa itu? iyap, anak usia dini masih lekat dengan yang namanya sikap egosentris. Pola pikir mereka masih berorientasi dengan diri mereka sendiri. 

Sikap egosentris yang ada pada anak ini merupakan sebuah hal yang wajar. Tak perlu untuk dihilangkan, hanya perlu untuk dikontrol. Oleh karena itu, bermain dapat menjadi pilihan yang tepat agar anak usia dini mampu untuk mengontrol sikap egosentris yang ada dalam diri mereka.

Kembali ke pembahasan mengenai bermain itu sendiri. Apa sih yang kita rasakan ketika bermain? Tentu yang paling dasar adalah kesenangan. Kita akan merasa senang ketika permainan yang kita mainkan adalah permainan yang memang kita sukai. 

Berbicara mengenai rasa senang, rasa senang sendiri muncul disebabkan oleh reaksi hormon endorfin yang ada di dalam tubuh manusia. Baik itu anak usia dini, remaja, ataupun orang dewasa sama-sama memiliki hormon endorfin. 

Dikutip dari Alodokter.com, Hormon endorfin atau endorphin adalah zat kimia seperti morfin yang dihasilkan oleh tubuh dan secara alami memiliki peran untuk mengurangi rasa sakit serta memunculkan perasaan positif. Hormon endorfin diproduksi oleh kelenjar pituari dalam sistem syaraf pusat manusia.  

Ketika sedih atau stres, terdapat sebagian orang untuk menyendiri serta melakukan hal-hal yang negatif untuk bisa melampiaskan apa yang sedang dirasakannya. 

Padahal, sebenarnya didalam tubuh terdapat hormon endorfin yang bisa memunculkan energi positif. Hanya saja, hormon endorfin ini perlu untuk dipicu terlebih dahulu. 

Hormon endorfin inilah yang kemudian perlu untuk dipelihara. Dan pada anak usia dini, salah satu cara untuk dapat memelihara hal ini adalah dengan bermain. Salah satu cara tubuh untuk dapat memicu munculnya hormon endorfin, adalah melalui bermain.

Sampai pada pemikiran ini, memori yang terekam di otakku seketika berhenti. Seolah, sudah habis masanya untuk flashback. Aku dikembalikan ke kenyataan, dan aku mencoba menghubungkannya dengan apa yang sedang terjadi sekarang ini. Kondisi dimana semua hal berorientasi dari rumah. 

Rumah yang awalnya hanya sebagai tempat untuk berkumpul dengan keluarga, istirahat dan bercengkrama kini menjadi tempat all in one dari mulai disulap fungsinya sebagai sekolah, tempat mencari nafkah bagi sebagian orang dewasa, atau bahkan sebuah playzone sementara bagi anak usia dini tentunya. 

Kalau sebelum pandemi, anak masih bebas untuk keluar rumah dan bermain-main, apakah kemudian sekarang masih bisa? Untuk berangkat ke sekolahpun, seorang anak hanya mampu berangkat ketika mendapatkan izin dari orangtua dan hampir lebih banyak orangtua yang keberatan dan lebih rela untuk anaknya belajar dari rumah. 

Ketika berangkat sekolah saja tak boleh, apakah kira-kira anak akan mendapatkan izin untuk dapat bermain bersama teman-temannya diluar sana? Tentu, kemungkinannya sangat minim sekali.

Nah, lantas bagaimana sih cara agar dapat memelihara endorfin anak ketika sudah terjadi pada keadaan yang seperti ini? kalau dilihat saja, boro-boro bisa bermain dengan anak, orangtua saja sudah sangat kewalahan dan cenderung kesusahan untuk mengurusi segala keperluan rumah tangga. 

Ditambah, dengan kondisi dimana anak sudah sangat jenuh dengan keadaan sekolah yang sama sekali memperburuk keadaan. Tugas-tugas yang menumpuk dari sekolah dan memaksa untuk  segera diselesaikan, anak yang enggan mengerjakan, sampai pada orang dewasa yang terbawa emosi, resah pada keadaan hingga sering kali anak menjadi bulan-bulanan.

Menyikapi hal ini, aku memilih untuk 'curhat' kepada beberapa dosen kuliahku. Aku mencoba bertanya terkait tanggapan mereka dengan keadaan ini. Aku bertanya agar mendapat jawaban dari keresahan yang aku rasakan. 

Aku merasa perlu untuk bertanya tepat sasaran, dengan kondisi dosenku yang memiliki kewajiban untuk mengajar mahasiswa merangkap juga berkewajiban sebagai orangtua menemani anaknya belajar dari rumah.
Pertanyaanku begini ke beberapa dosen, 

"Perihal mengasuh anak dan menemani anak SFH nih Bu, Pak, biasanya yang ibu atau bapak lakukan buat ngembaliin semangat belajar anak buat ngerjakan tugas sendiri yaapa ya Bu, Pak? Soalnya kan biasanya ujung-ujungnya yaaa orangtua kalau engga marah ke anak,  ya orangtua yang ngerjain tugas anak?"

Lantas, rata-rata dosenku menjawab, 

"Kasih main aja yang banyak, AUD kan gak wajib belajar. Toh tujuan pembelajaran di masa pandemik gini tidak harus tercapai keseluruhan. Wong sekolah kok di rumah. Ya jelas gak optimal. Memaksa anak juga gak optimal hasilnya. Yang masalah itu, kalau anak malah jadi stress di usia yang tak seharusnya. Biarkan mereka bersenang-senang saja dan orangtua perlu untuk memfasilitasi itu semua." 

Ada pula dosenku yang menulis dalam sebuah artikelnya, yaitu "Dengan kondisi sekarang ini, bukan anak lah yang membutuhkan pemahaman, tapi justru mereka yang dewasa. Para orangtua yang sebenarnya sedang diuji tingkat kedewasaanya. Dewasa dalam menyikapi keadaan yang tengah terjadi."

Benar juga, memang ketika sudah terlalu berorientasi pada masalah, kita lupa untuk membahagiakan diri. Larut pada masalah, hingga lupa untuk memelihara nurani. Mengapa dikatakan perlu untuk memelihara nurani? Sebab, kalau hanya mengedepankan ketuntasan materi, tak akan ada ilmu atau kesenangan yang di dapat sama sekali. Khususnya pada anak usia dini. 

Oleh sebab itu benar saja, diperlukan cara dan pemaksaan juga untuk memelihara endorfin yang ada di dalam diri. Orangtua dan guru harus sadar dan mampu bekerjasama untuk pemenuhan hal itu. Salah satunya, ya dengan mengubah instruksi.

"Kalau gak selesai sekarang, ya dicoba lagi nanti. Kalau gak bisa hari ini, barangkali bisa besoknya. Gitu saja terus, dicoba sambil ajakin anak bermain biar seneng."

Dan kalau dibilang, bermain bukan hanya hal yang membuat anak senang, tapi yang mengajak bermain pun akan merasakan hal yang sama. Jadi, kalau diminta atau ditanya, kalau lagi bingung sama banyak beban pikiran nih, sebab tugas sekolah atau tuntutan rumah tangga. 

Coba ditanya lagi, kapan terakhir kali meluangkan diri untuk bermain dengan anak? atau kapan terakhir kali kita bermain-main di dalam rumah bersama keluarga? Tak perlu dijawab, hanya saja aku ingin memberi tahu bahwa jangan terlalu kaku, kalau lelah istirahat, kalau suntuk bermainlah dari rumah. 

Endorfin dalam tubuh juga perlu untuk dipelihara. Bila kamu merasa malu untuk bermain sebab sudah menjadi orangtua. Merasa sudah dewasa dan sudah memiliki anak, sejatinya kamu pun masih seorang anak. 

Bermainlah, bersenang-senanglah. Ada endorfin dan diri yang juga perlu kamu rawat. Kalau kamu enggan Bermain, tandanya kamu enggan memelihara endorfin.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun