Mohon tunggu...
koko anjar
koko anjar Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penikmat senja dengan segala romantikanya. Menyukai kopi dan pagi sebagai sumber inspirasi dan dapat ditemui di Hitsbanget.com.

Seorang penikmat senja dengan segala romantikanya. Menyukai kopi dan pagi sebagai sumber inspirasi dan dapat ditemui di Hitsbanget.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Puing Cinta yang Berserakan

7 Januari 2019   23:36 Diperbarui: 8 Januari 2019   00:05 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak seperti biasanya, sore itu Wana tak datang tepat waktu. Berkali-kali Rani mengirimkan pesan namun tak kunjung dibalas. Satu centang yang terlihat menandakan kalau pesan itu hanya terkirim saja, belum diterima. Ia semakin gelisah, sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang.

Dari arah luar parkiran sekolahnya tiba-tiba terdengar suara motor Wana. Suara itu tak asing bagi Rani. Di kota C, pengendara vespa bisa dihitung dengan jari. Itu pun hanya terlihat sesekali saja tiap bulannya. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang kuliah di Kota D, kota yang lebih besar dari Kota C. Untuk kelas anak SMA, hanya Wana saja yang punya vespa.

"Maaf terlambat, mendadak tadi ada rapat OSIS." Wana mengatakan itu tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Hhhh...ayoh berangkat, mama daritadi dah telpon. Dia cemas anak gadisnya belum pulang sampai jelang magrib begini." Tak menunggu lama, Rani segera naik ke vespa tua itu.

Vespa tua itu peninggalan almarhum ayah Wana. Ayahnya dulu seorang tentara. Ketika bertugas ke Daerah A, ia turut menjadi korban bencana tsunami yang terjadi 15 tahun yang lalu. Saat itu usia Wana baru 1 tahun. Wana tak sempat merasakan kasih sayang seorang ayah dihidupnya.

Ayah Rani sendiri juga seorang tentara. Kebetulan ia juga sedang ditugaskan ke Daerah A tatkala tsunami hebat menerjang daerah itu. Beruntung ia berhasil selamat dengan cara bertahan memeluk pohon kelapa. Ia pula lah yang mengabarkan kematian ayah Wana kepada ibunya. Sejak saat itu, ayah Rani sering membantu keluarga Wana. Oleh karena itu, Wana sudah dianggap anak sendiri oleh keluarga Rani.

Perjalanan pulang sore itu sebenarnya cukup syahdu. Biasan cahaya senja menghias langit kota C. Hangat dan sangat menenangkan. Sayang, disepanjang jalan Rani hanya membisu. Ia masih dongkol karena harus menunggu Wana 2 jam lamanya tanpa kejelasan. Wana juga terdiam. Ia terlihat lelah. Seharian menempuh 3 ulangan harian dan rapat OSIS dadakan sudah cukup menyita tenaga dan pikirannya.

"Makasih ya, aku masuk dulu. Besok pagi jangan sampai telat. Jam 6 pas harus sudah disini." Kata Rani setengah ketus sambil menyerahkan helm.

"Iya iya...sekali lagi maaf yaa. Salam buat bapak sama ibuk."

"Iya..ya udah pulang sana, jangan mampir-mampir lagi, udah malem."

"Siap tuan puteri." Wana bergegas menyalakan vespanya dan meninggalkan Rani di depan rumahnya. Meskipun sering terlihat manja, Rani sebenarnya gadis yang tangguh. Ia adalah anggota kegiatan Pecinta Alam di sekolahnya. Di usia yang baru menginjak 16 tahun, Rani sudah menginjakkan kakinya di puncak Lawu dan Mahameru.

Bukan hanya itu saja. Rani juga sudah terlibat dalam berbagai misi kemanusiaan. Di awal masuk SMA ia sudah ikut relawan untuk gempa bumi di daerah L. Yang paling hangat, dua bulan lalu ia turut serta dalam relawan evakuasi korban letusan Gunung Sinabung di Sumatera. Khusus untuk kejadian di Sinabung, Wana sempat khawatir dan cemas. Pasalnya gunung berapi itu terus aktif mengeluarkan awan panas dan material selama berhari-hari. Untungnya Rani bisa menyelesaikan misi itu dan pulang dengan selamat.

Wana tak kalah aktif di sekolahnya. Ia adalah seorang wakil ketua OSIS. Bedanya ia tak terlalu suka kegiatan yang berhubungan dengan alam. Ia murni seorang organisator, konseptor kegiatan. Kebanyakan aktifitasnya adalah merancang kegiatan. Ia bercita-cita masuk kuliah, mengambil jurusan jurnalistik, dan akan mengisi waktunya di kuliah nanti dengan aktifitas sebagai badan eksekutif mahasiswa. Sayangnya ibunya kurang setuju. Ibunya lebih menginginkan Wana masuk tentara, meneruskan sang ayah yang telah tiada.

"Masih marah?" Terlihat pesan singkat Wana masuk.

"Sedikit." Jawab Rani singkat.

"Kok Cuma sedikit?"

"Kalau banyak, pesanmu akan kuabaikan, tak akan kubalas."

"Hahahaha. Oke aku kalah dan salah. Tadi sebenernya mau ngabarin, tapi hpku lowbat. Mau ngecash kebetulan mati listrik, udah gitu temenku gak ada yang bawa power bank."

"Hhh...alasan klasik."

"Yeee....bukan alesan. Tapi memang seperti itu faktanya. Besok malam minggu, ada rencana mau kemana?"

"Sementara belum, kenapa?"

"Aku mau ngajak jalan."

"Kencan?"

"Kencan itu Cuma buat orang yang belum jadian."

"Ohhh..memang mau kemana?"

"Bukit bintang."

"Ahh udah pernah."

"Kan sama aku belum."

Setelah melalui percakapan panjang lebar tak tentu arah dan penuh teka-teki, akhirnya Rani menyetujui ajakan Wana. Paginya Wana menjemput Rani dirumahnya sesuai waktu yang dijanjikan. Tak kurang dan tak lebih satu menitpun. Jam 06.00 tepat. Usai tiba di sekolah Rani, Wana bilang kalau nanti tak bisa mengantar pulang karena mau ada les tambahan sampai sore. Jadilah Rani harus pulang dengan naik angkutan umum.

Ba'da magrib Wana sudah berdandan rapi, lengkap dengan minyak wangi. Ia memakai pakaian terbaik yang dimilikinya. Sepatu sneakers kw 3, celana levis, kaos oblong converse yang kw 3 juga, dan hoodie Liverpool warna hitam, klub bola kesukaannya. Tak lupa pula vespa tuanya sudah tercuci bersih, mengkilat berwarna hijau.

Wana memang berbeda dengan anak vespa kebanyakan yang tampil dekil. Ia adalah antitesis. Ia tetap berpenampilan rapi. Meskipun tidak sekeren anak sebayanya, ia tetap terlihat selalu pantas dengan apa yang dipakainya.

"Mau kemana cah bagus.?" Sambil mengaduk adonan kue, ibunya bertanya dengan kelembutan. Sepeninggal Ayah Wana, ibunya berjualan kue untuk menambah penghasilan lantaran uang pensiunan yang diterima hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.

"Mau ke rumah Rani buk, biasa...malam mingguan..hehehe."

"Ohh ya udah hati-hati. Jangan kemaleman pulangnya. Salam buat mas Tomo dan mbak Lastri yaa." Tomo dan Lastri adalah orang tua Rani.

"Siap ibunda." Setelah mencium tangan ibundanya, Wana pun bergegas ke rumah Rani.

Berbeda dengan Wana, malam itu Rani hanya berdandan seperti biasanya. Tak ada yang berbeda. Rani hanya mengenakan jaket, berhijab, mengenakan celana black-hawk kesukaannya dan tak lupa pula sandal gunung eiger kebanggaannya. Bisa dibilang tampilannya jauh dari kata feminim untuk kencan malam mingguan. Tapi itu semua tak mengurangi sedikitpun kecantikan yang terpancar dari wajahnya.

Setelah menyampaikan salam dari bundanya kepada orang tua Rani, mereka berdua bergegas pergi menuju bukit bintang. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah bukit yang terletak di timur kota C. Dari situ akan terihat jelas kerlap kerlip lampu di kota C pada malam hari. Kalau beruntung langit tak mendung, hamparan gemintang juga akan melengkapi keindahan pemandangan malam.

Begitu tiba disitu, ternyata tempatnya cukup ramai. Berbeda dengan saat pertama kali Rani ke tempat itu saat pelantikan pecinta alam dulu. Warung-warung sudah berjajar rapi. Tapi bukan Rani namanya kalau tak bisa mencari tempat yang pas untuk menikmati keindahan malam. Usai membeli camilan dan air mineral, Rani mengajak Wana ke ujung bukit. Ternyata benar, tempat itu sepi. Dan pemandangan kota lebih terlihat hidup disana. Hanya saja mereka harus berjalan 15 menit dari tempat parkir.

"Bagus kan?"

"Iya bagus banget, aku sering ke bukit bintang, tapi baru tau kalau ada spot sebagus ini. Biasanya paling banter cuma ngopi di warung-warung itu."

"hih..mainstream."

"Kamu tahu kenapa aku suka ke sini?" Tiba-tiba Wana berlagak agak romantis. Sepertinya ia akan menggombal.

"Hhh..karena pemandangannya indah, dan harga makanannya murah. Iya kan?"

"ahahahaha..tepat sekali...kok kamu tahu sih? Padahal aku tadinya berharap kamu tanya balik, kenapa, terus aku bisa gombalin kamu."

"Haduh..Wana...aku kenal kamu itu dari sejak kita orok...luar dalemnya dah hafal betul."

"weits...masih banyak tau yang kamu belum tahu."

"apa coba?"

"Rahasia donk...kalau ku kasih tau nanti kamu jadi semakin tahu."

Obrolan mereka yang baru sebentar mendadak buyar ketika ada pesan masuk ke hp Rani. Di grup whatsapp pecinta alam terdengar kabar terjadi gempa dan tsunami di Kota P. Kota yang jaraknya hanya 5 jam perjalanan darat dari kota C itu luluh lantak. Gempa itu sebenarnnya juga terasa sampai kota C. Hanya mereka sedang di perjalanan sehingga tak begitu terasa.

"Ada apa? Kok kelihatannya serius gitu??" Wana bertanya penasaran.

"Kota P luluh lantak, barusan kena gempa yang disusul tsunami."

"Masak?" Wana lantas mengecek hp dan melihat linimasa twitter. Ternyata benar, 45 mmenit yang lalu kota P dilanda gempa berkekuatan 6 skala richter. Selang 10 menit kemudian terjadi tsunami. Jumlah korban belum dapat dihitung karena situasi disana cukup kacau.

"Terus ada rencana mau kesana?"

"Belum tau, tunggu keputusan dari Pak Eka." Pak Eka ini adalah pembina pecinta alam sekolah Rani.

"Tapi aku khawatir kalau kamu kesana."

"Kenapa? Bukannya aku dah biasa ke tempat bencana."

"Iya sih, tapi perasaanku beda aja. Lebih cemas daripada waktu kamu ke sinabung dulu."

"hahaha...kamu ini aneh, udah tau pacarmu ini pecinta alam. Masih aja khawatir. Waktu diksar aku terbaik lho."

"Itu kan diksar, lha ini bencana beneran lho!"

"Tenang, kalaupun terjadi apa-apa sama aku, berarti aku mati syahid. Kan jaminan surga." Kata Rani sambil tersenyum manis. Dibawah redup cahaya purnama malam itu, Rani memang terlihat sedang cantik-cantiknya.

"Hush, jangan ngomong gitu. Masih kan masih banyak jalan lain buat masuk surga."

"Dah lah gak usah dibahas lagi, pulang aja yuk."

"Hmmm...ya udah ayo pulang."

Mereka berdua pulang dengan perasaan berbeda. Wana dengan kegelisahannya dan Rani dengan rasa siaganya. Ya, Rani sudah menyiapkan diri kalau tiba-tiba ada panggilan untuk berangkat ke kota P.

Kegelisahan Wana bukan tanpa alasan. Ia banyak membaca tentang potensi bencana di kota P. Dari berbagai artikel yang ia baca, di laut sebelah selatan kota P terdapat patahan besar di dasar lautnya. Patahan tersebut sering bergerak. Karena itu gempa dalam skala kecil sering terjadi di kota P. Sedangkan gempa besar yang baru saja terjadi sebenarnya sudah diprediksi sejak lama. Hanya saja beberapa alat deteksi tsunami yang terpasang di pantai kota itu diketahui sudah rusak sejak beberapa tahun lalu. Sewaktu-waktu gempa dan tsunami susulan bisa saja terjadi.

Kegelisahan Wana akhirnya terjawab. Minggu pagi datang pesan singkat dari Rani untuk berpamitan.

"Pagi sayang, aku berangkat dulu yaa ke kota P. Kalau besok gak bisa hubungi, mungkin karena disana gak ada sinyal."

Wana bingung. Ia ingin sekali mengantar Rani ke sekolahnya. Tapi rutinitas tiap Minggu pagi mengharuskannya untuk mengantar ibunda tercinta ke pasar. Ibundanya tak bisa membawa motor sendiri. Kalaupun naik angkutan umum, ia pasti akan kerepotan karena barang yang dibawanya cukup banyak.

"Iya..kamu hati-hati yaa disana. Berkabarlah kalau bisa. Maaf tak bisa mengantar. Peluk cium dari jauh."

Perjalanan ke kota P yang biasanya ditempuh dalam waktu 5 jam harus molor sampai 7 jam. Beberapa jembatan dan jalan rusak karena gempa itu. Begitu tiba di tempat berkumpulnya sukarelawan, tim pecinta alam yang beranggotakan 7 orang dibawah pimpinan Pak Eka langsung briefing dan bergabung dengan sukarelawan lain.

"Rani, kamu sama Robi ikut gabung dengan tim Basarnas buat mencari korban di zona E. Disitu dulu berdiri Toserba Yoga. Tapi sekarang gedung tiga lantai itu sudah porak poranda lantaran terkena gempa dan dihantam tsunami." Kata Pak Eka membagi sektor.

"Siap pak."Jawab Rani bersama Robi.

Berangkatlah Rani, Robi dan tim dari Basarnas sebanyak 10 orang ke tempat yang dituju. Kondisi zona E cukup mengenaskan. Tak ada bangunan yang berdiri utuh. Hanya ada puing berserakan, bau amis dimana-mana, dan tangisan korban selamat di bawah reruntuhan bangunan.

Memasuki bekas gedung toserba yoga, Rani dan timnya langsung menyisir lokasi. Mereka sangat berhatti-hati. Gedung itu tak sepenuhnya rubuh. Ada sebagian bangunan yang masih berdiri, tapi kondisinya mengkhawatirkan. Goyang sedikit saja, bisa runtuh itu semua.

Tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong dari dalam reruntuhan. Rani dan seorang anggota Basarnas langsung menuju ke arah suara. Ternyata seorang anak kecil berusia 9 tahun. Disingkirkannya puing bangunan. Lalu diangkatnya si anak kecil malang itu. Keluar dari sana ia langsung menyerahkannya kepada tim PMI yang baru datang menyusul.

"Alhamdulilah satu korban selamat ditemukan". Bisik Rani dalam hati.

Setelah itu ia menemukan satu, dua, sampai 5 jenazah dibalik reruntuhan itu. Rani semakin berani masuk ke dalam. Ia berharap dapat menemukan korban selamat lagi. Ia masuh optimis masih ada keajaiban. Jangan sampai korban meninggal bertambah karena terlambat ditolong.

"Dek..jangan terlalu masuk kedalam. Bahaya! Teriak rekannya dari Basarnas.

"Aman mas...masih aman." Teriak Rani.

Tanpa sadar Rani berada di bekas Basement. Sisa sisa air tsunami masih ada. Tiba-tiba tanah berguncang hebat. Gempa susulan datang. Rani berupaya balik badan kearah luar. Tapi....Brakkkkkk....sebuah pipa pralon besar terjatuh teoat mengenai kepalanya. Rani jatuh. Tembok disampingnya yang rapuh lantas menghantam tubuhnya. Semua pandangannya gelap. Ia tak sadarkan diri.

Begitu tersadar ia sudah di ruang perawatan evakuasi. Dilihatnya Robi duduk disampingnya.

"Ran...sudah sadar? Alhamdulilah."

"Rob, ambilkan handphoneku."kata Rani lirih.

Diambilkan hp Rani yang disimpan diranselnya. Rani lantas meminta Robi untuk merekam.

"Tolong pegangi dan rekam yaa."

"Iya."

"Wana, mungkin ini semua sudah jalanku. Seperti yang aku bilang tadi malam. Aku akan mati syahid, sayang. Masuk surga.."

"Ran, kamu ngomong apa sih."

Tanpa mempedulikan pertanyaan Robi, Rani meneruskan omongannya.

"Kamu lanjutkan hidupmu. Kejar apa yang kamu impikan. Satu hal  saja pesanku, sering-seringlah jenguk orang tuaku. Mereka pasti kesepian. Aku kan anak gadisnya yang paling bawel."

Setelah kalimat terakhir, Rani sempat terbatuk beberapa saat. Robi lantas berlari memanggil dokter. Sayang, nyawa Rani tak tertolong lagi. Seperti keinginannya, ia meninggal saat menjalankan tugas dalam misi kemanusiaan.

Malam itu jenazah Rani langsung dibawa pulang ke Kota C dengan kendaraan dinas milik sekolah. Robi dan Pak Eka yang membawanya. Sementara itu rekan-rekannya yang lain masih ditinggal untuk menjalankan misi kemanusiaan.

Tangis bu Lastri pecah ketika dalam perjalanan Pak Eka menghubunginya. Pak Tomo yang sedang piket di kantor langsung beranjak pulang setelah mendapat kabar buruk itu. Jenazah Rani tiba di rumahnya tepat saat adzan Subuh berkumandang.

Wana baru bangun jam 5 pagi. Setelah sholat subuh, ia baru menyalakan hp. Sudah jadi kebiasaan Wana untuk mematikan hp dimalam hari. Betapa kagetnya ia mendapati banyak pesan masuk yang mengucapkan bela sungkawa. Belum pulih benar kesadarannya hingga ia membuka pesan dari Robi.

"Na, yang sabar ya. Rani pulang. Jenazahnya dalam perjalanan ke rumah."

Tubuh Wana lemas seketika begitu membaca pesan itu. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Ia hanya bisa memanggil ibundanya. Sang ibunda langsung berlari ke kamar anak laki-lakinya itu. Melihat anaknya menangis dan terduduk lesu ia langsung memeluknya.

Paginya mereka berdua langsung beranjak ke rumah duka. Disitu sudah banyak yang datang melayat, terutama rekan satu sekolahan Rani. Robi yang melihat Wana langsung menghampirinya. Namun melihat kondisi Wana, tak sampai hati ia menceritakan kejadian yang menimpa Rani. Begitu juga amanah Rani. Belum sempat ia mengabarkannya.

Hari-hari Wana berjalan sangat lambat pasca kejadian itu. 3 bulan kemudian, Wana baru pulih. Ia mulai menjalani aktifitas seperti biasanya. Satu hal saja yang berbeda, ia tak mau sekalipun menginjakkan kaki di sekolah maupun rumah Rani. Baginya Rani sudah benar-benar pergi, tak ada gunanya lagi mengingat semua yang telah terjadi.

Hingga suatu sore, ia bertemu dengan Robi di sebuah festival band di alun-alun kota C.

"Eh Na, apa kabar?" tanya Robi basa-basi.

"Baik..kamu sendiri?"

"Alhamdulilah baik juga. Sepertinya kamu sudah benar-benar pulih, ada sesuatu yang ingin kubicarakan."

"Tentang apa?"

"Rani."

Tanpa menghiraukan Robi, Wana beranjak pergi. Robi setengah berlari mengejarnya. Ia lantas memohon kepada Wana untuk menyampaikan amanat Rani. Wana akhirnya luluh. Panjang lebar Robi menceritakan kejadian di kota P secara detail. Terakhir kalinya, ia lantas memutar rekaman suara terakhir Rani. File di hp Rani sempat dicopy dulu sebelum diserahkan ke orang tuanya.

"Maafkan aku Rob..aku benar-benar kacau."

"Tak apa Na, wajar kok kalau kamu terkesan memusuhi kami."

"Terimakasih yaa."

"Iya Na, life must go on ya bro!!!" terdengar Robi memberikan semangat pada Wana.

Malam harinya Wana langsung menuju rumah orang tua Rani. Ia meminta maaf untuk semua kejadian yang terjadi pasca meninggalnya Rani.

Wana sudah kehilangan Ayahnya sejak kecil. Dan kini ia kehilangan kekasih yang sangat dicintainya. Tapi, life must go on. Hidup harus terus berlanjut. Dengan sisa semangat yang susah payah ia bangun lagi, Wana kembali berjalan menghadapi hidupnya yang masih panjang. Di setiap malam ia selalu melihat ke langit. Ia yakin Rani akan selalu tersenyum bersama gemerlap bintang melihatnya bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup. Ya...Rani kini bersama sejuta bintang di galaksi sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun