Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. pengagum senja, penyuka sastra. wahai diriku, sebelum sutradara kehidupan berkata CUT!!! teruslah melangkah, berlari & melompat lebih tinggi. No Regret Life...No Pain, No Gain. Keep Hamasah wa Istiqomah..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamboja Luruh Menjelang Ramadan

17 Mei 2018   11:11 Diperbarui: 17 Mei 2018   11:24 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Zaf, sudah..jangan khawatir, Insyaallah kau bisa sembuh" Sekar mengusap pundakku. Ah..Sekar tau benar apa yang kurisaukan.

"Masya Allah Zaf, itu lho yang namanya Nana" Sekar berbisik tepat di telingaku saat kami baru keluar dari Lab Komputer siang itu. Terang saja aku gugup, sekilas mataku menangkap wajah itu, langsung kutundukkan kepala dan berlalu cepat -- cepat. Lelaki itu tetap tenang berpapasan dengan kami. Ada debar yang tiba -- tiba membuat wajahku bersemu.

"Ehm..cakepnya Zaf, siapa nama panjangnya?" Sekar terus saja menggodaku

"Ahmad Latif Maulana, dipanggil Nana..manisnya nama panggilan" Sekar masih berceloteh.

Pagi ini aku harus pulang. Karena besok Ustadz Santoyib dan keluarga mau berkunjung ke rumah. Pukul 05:17, kereta berangkat pukul 06:00, kurapikan jilbab di depan cermin.

"Udah siap? Cepet Zaf, ck..nggak usah sok cantik deh, ketinggalan kereta tau rasa lho!" Sekar membuka pintu kamar sambil cengengesan.

"Kar..Kar..ck.." pandanganku tiba -- tiba mengabur, perutku kembali nyeri ditambah hentakan di kepala.

"Kar..Kar.." rintihku pelan. Tanganku berusaha menggapai tepi ranjang, tapi aku gagal. Aku limbung. Kurayu lisanku untuk menyebut nama-NYA. Sesaat kudengar teriakan Sekar di ujung pendengaranku.

"Tempat apa ini?" hati dan pikiranku disesaki tanya. Padang rumput yang luas menghantam mataku. Tak ada orang, hanya aku sendiri. Aku ingin melangkah, tapi bingung memilih jalur yang mana. Banyak benar persimpangan di hadapanku, persimpangan yang bercabang. Aku berbalik, rumahku yang beratap genteng merah pudar rupanya ada di belakangku. Aku bergegas menuju pelataran rumah.

Tanaman perdu kesayangan mamak tampak layu, daunnya kuning kecoklatan. Agaknya mamak sibuk tandur, sampai -- sampai tak mengurusi tanaman perdunya. Terselip bendera kuning yang dimainkan angin di antara pagar bambu. "Mamak!" teriak hatiku. Cepat aku melesat ke dalam.

Dua buah mobil bertuliskan pondok pesantren tempatku mengajar terparkir di halaman. Langkahku terhenti di mulut pintu. Sosok pertama yang kutangkap, lelaki itu.. aku mendekat untuk memastikan, ya..benar. Nana, Ahmad Latif Maulana. Lelaki itu duduk tertunduk menatap tikar tajam - tajam di samping Ustadz Santoyib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun