Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. pengagum senja, penyuka sastra. wahai diriku, sebelum sutradara kehidupan berkata CUT!!! teruslah melangkah, berlari & melompat lebih tinggi. No Regret Life...No Pain, No Gain. Keep Hamasah wa Istiqomah..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamboja Luruh Menjelang Ramadan

17 Mei 2018   11:11 Diperbarui: 17 Mei 2018   11:24 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Fiuhh.." jilbab sudah terpasang rapi. Aku berlari mendekati rak sepatu, kaus kaki baru terpasang sebelah, kurasakan perut bagian kiriku nyeri, dadaku mulai sesak. Dengan kaus kaki terpasang sebelah, aku terhuyung -- huyung meraih tepi ranjang, nyeri di perut semakin jadi.

"Ahh.." tanganku gemetaran meraba jilbab putihku yang terkena noda merah, kuraba mulutku. Hatiku terkejut. Aku mengeluarkan banyak darah dari mulut. Kusandarkan punggungku di tepi ranjang. Pelan kulantunkan Istighfar di antara sesak.

"Zaf, sampeyan bener -- bener mau kena tegur ya!" terdengar teriakan Sekar dari luar.

"Masya Allah!" Sekar menjerit saat pintu terbuka sempurna. Sesaat ia terlihat ketakutan ingin berlari keluar, tapi tanganku mencoba menggapainya. Sekar berusaha keras mengendalikan rasa cemasnya, memapahku ke atas ranjang, hati -- hati dilepasnya jilbab putihku yang berlumur darah, kulihat tangannya gemetar.

"Apa ini kali pertama?" Sekar menatapku lekat, matanya mengancam, aku menyerah tapi aku masih diam.

"Baik, jadi ini sudah  kali keberapa?" tatapan Sekar makin tajam

"Kali kedua kar" jawabku pelan sambil menunduk

Malam itu juga Sekar memaksaku ke RS. Moewardi. Tes darah dan Endoskopi, itulah permintaan Dokter. Aku sadar, pada akhirnya aku harus menjalani tes itu.

Kanker Lambung yang menjalar ke organ hati, infeksi bakteri penyebab luka di dinding lambung, bakteri H. Pylori. Aku tak terkejut, sudah kuduga. Tenang kusandarkan punggungku di kursi. Dokter sepuh itu menatapku kosong. Seketika Sekar rusuh, rautnya tak karuan, tampak benar ia kesulitan mengendalikan perasaan.

Tiba di kamar asrama, aku masih diam. Entah memikirkan apa berbagai hal meloncat -- loncat dalam benakku. Sekar duduk menghadap mejanya, kulihat bahunya mulai berguncang, kuhampiri ia.

"Tak perlu cemas Kar" kutepuk pelan pundaknya, tangisnya makin jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun