Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. pengagum senja, penyuka sastra. wahai diriku, sebelum sutradara kehidupan berkata CUT!!! teruslah melangkah, berlari & melompat lebih tinggi. No Regret Life...No Pain, No Gain. Keep Hamasah wa Istiqomah..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamboja Luruh Menjelang Ramadan

17 Mei 2018   11:11 Diperbarui: 17 Mei 2018   11:24 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Zaf, janji lo, ceritakan semuanya pada Bulek"

Sekar menggenggam erat tanganku menyebrangi jalan Wolter Monginsidi yang masih lengang. Aku tak bergeming, lampu -- lampu jalanan masih berpendar, kulirik jam tangan, 05 :27, udara fajar menusuk, tapi suasana di dalam stasiun Balapan mulai menggeliat. Kupilih KA Joglokerto yang berangkat pukul 06:00 pagi ini.

"Duduklah, habiskan susu hangat ini, biar aku yang pesan tiket" Sekar berlalu. Ku amati botol berisi susu sereal di pangkuanku yang disiapkan Sekar usai Subuh tadi. Sikap perempuan Solo itu mendadak dewasa, tepatnya sejak dua hari lalu.

"Nih.." Sekar mengulurkan tiket padaku.

"Aku nggak bisa nunggu sampai kereta berangkat, pagi ini kan aku menggantikanmu ngajar kelas tiga" Sekar pura -- pura merajuk.

"Zaf, ingat lo, ceritakan semua pada Bulek, semuanya..kalau tidak..nanti aku yang telpon Bulek!" gaya Sekar macam ibu tiri, aku menyeringai.

"Hati -- hati, salam untuk Bulek" Sekar merapatkan jilbabku lalu beranjak. Aku mengangguk, sejenak kugenggam erat tangannya. Kupandangi punggungnya sampai Batik Solo Trans membawanya pulang. Sesaat kutangkap raut cemas menggelayut di wajahnya, raut cemas yang sama seperti dua hari lalu.

***

dokpri
dokpri
"Zaf! Cepetan, Ustadz Santoyib sudah masuk ruangan, rapat dewan guru segera dimulai" Sekar tergesa memasang kaus kaki.

"Ustadz Santoyib sudah masuk ruangan?" batinku gusar, kusambar jilbab segi empat warna putih di gantungan.

"Aku keluar duluan yo, nggak enak sama Ustadz Santoyib" Sekar meraih tas dan map berisi berkas di mejanya.

"Fiuhh.." jilbab sudah terpasang rapi. Aku berlari mendekati rak sepatu, kaus kaki baru terpasang sebelah, kurasakan perut bagian kiriku nyeri, dadaku mulai sesak. Dengan kaus kaki terpasang sebelah, aku terhuyung -- huyung meraih tepi ranjang, nyeri di perut semakin jadi.

"Ahh.." tanganku gemetaran meraba jilbab putihku yang terkena noda merah, kuraba mulutku. Hatiku terkejut. Aku mengeluarkan banyak darah dari mulut. Kusandarkan punggungku di tepi ranjang. Pelan kulantunkan Istighfar di antara sesak.

"Zaf, sampeyan bener -- bener mau kena tegur ya!" terdengar teriakan Sekar dari luar.

"Masya Allah!" Sekar menjerit saat pintu terbuka sempurna. Sesaat ia terlihat ketakutan ingin berlari keluar, tapi tanganku mencoba menggapainya. Sekar berusaha keras mengendalikan rasa cemasnya, memapahku ke atas ranjang, hati -- hati dilepasnya jilbab putihku yang berlumur darah, kulihat tangannya gemetar.

"Apa ini kali pertama?" Sekar menatapku lekat, matanya mengancam, aku menyerah tapi aku masih diam.

"Baik, jadi ini sudah  kali keberapa?" tatapan Sekar makin tajam

"Kali kedua kar" jawabku pelan sambil menunduk

Malam itu juga Sekar memaksaku ke RS. Moewardi. Tes darah dan Endoskopi, itulah permintaan Dokter. Aku sadar, pada akhirnya aku harus menjalani tes itu.

Kanker Lambung yang menjalar ke organ hati, infeksi bakteri penyebab luka di dinding lambung, bakteri H. Pylori. Aku tak terkejut, sudah kuduga. Tenang kusandarkan punggungku di kursi. Dokter sepuh itu menatapku kosong. Seketika Sekar rusuh, rautnya tak karuan, tampak benar ia kesulitan mengendalikan perasaan.

Tiba di kamar asrama, aku masih diam. Entah memikirkan apa berbagai hal meloncat -- loncat dalam benakku. Sekar duduk menghadap mejanya, kulihat bahunya mulai berguncang, kuhampiri ia.

"Tak perlu cemas Kar" kutepuk pelan pundaknya, tangisnya makin jadi.

"Kau tahu kan, Nur Zafrina ini perempuan tangguh, kau ingat? Saat aku berhasil melewati ujian kenaikan sabuk hitam Dan VI dengan nilai yang bagus, kau bilang aku ini cocok jadi laki -- laki, dengan bangga kau memanggilku Sensei di Dojo sore itu" aku tertawa geli mengingat saat -- saat aku dan Sekar masih akfit berlatih Karate. Sekar langsung berdiri merangkulku, menangis sejadi -- jadinya di pundakku yang rapuh.

"Zaf, apa -- apaan ini? Harusnya aku yang menghiburmu" suara Sekar terputus -- putus di antara sedu -- sedan. Aku tersenyum menahan air mata.

"Kenapa kau tak menangis? Kau benar -- benar sudah siap mati ya?" tanya Sekar parau.

"karena Allah SWT sang penulis skenario kehidupan ini, sudah mengatur segalanya sesuai takaran Kar" jawabku tenang.

***

"Nduk, ayo!!" perempuan paro baya di sampingku menepuk pundakku sambil menunjuk Peron yang mulai ramai, kereta akan segera berangkat. Aku tergeragap dari lamunan. terdengar Getaran mesin diesel lokomotif, terompet klakson tanda kereta siap berangkat melengking. Saat Masinis menekan gas awal, mesin diesel elektronik menderu semakin keras. Aku duduk di samping jendela.

Pulang ke kotamu

Ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu

Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgia

Saat kita sering luangkan waktu

Nikmati bersama 

Suasana Jogja..

Lagu lawas Kla Project menemani perjalanan kali ini. Solo -- Klaten memakan waktu kurang lebih 30 menit, terlalu singkat untuk memejamkan mata. Hamparan sawah hijau di sisi kiri kanan benar -- benar menenangkan mataku. Aku dibesarkan di pedesaan, seperti inilah desaku. Desa Bugisan, yang terletak di Kabupaten Klaten, berbatasan langsung dengan Sleman DIY. 

Tiba di pelataran rumah, aku tegak beberapa saat mengamati berbagai tanaman perdu kesayangan mamak yang makin rimbun.

"Assalamualaikum Mak!" teriakku di muka rumah. Tak ada jawaban, Mamak pasti lagi tandur. Aku langsung menuju belakang rumah. Sebidang sawah peninggalan Bapakku tak jauh dari rumah.

"Ah..benar saja, Mamak lagi tandur" senyumku mengembang

"Mak!" teriakku, mendengar teriakan khas ku, Mamak langsung berdiri melepas caping biru mudanya, lalu bergegas menuju galengan sawah. Segera kuraih tangannya yang masih basah.

"Libur ngajar to nduk?" Mamak bergegas membuka pintu

"Nggak" jawabku sambil tersenyum

"Lha, jadi bolos ngajar?" Mamak menepuk pelan lenganku

"Sekali -- kali bolos ndak apa Mak" aku duduk menselonjorkan kaki di bale -- bale bambu samping rumah yang langsung menghadap sawah, kubiarkan angin yang menampar wajahku dari segala arah. Pakaian mamak di jemuran dimainkan angin siang.

"Kalo mau pulang, mbok yo nelpon to Zaf, jadi mamak bisa masak tempe bacem sama numis bunga kates kegemaranmu" Mamak sibuk menyiapkan nasi dan lauk

"Itulah sebabnya Zaf ndak ngabari, kalo ngabari mamak pasti repot masak ini -- itu" aku cengengesan.

"Ada apa pulang mendadak? Apa sudah ada lelaki yang siap melamarmu?" Mamak menggodaku, aku tersenyum geli.

"Belum Mak, Zaf pulang ya karena rindu Mamak, kan seminggu lagi masuk bulan puasa" aku berkilah

"Ck..ingat lo Zaf, sudah 26, Oktober nanti usiamu genap 27, mamak ditanya terus lo sama tetangga "Yu Mar, kapan arep mantu?" aku terkikik melihat mamak menirukan gaya bertanya para tetangga.

"Sabar mak, jodoh itu tidak pernah terlambat, kita saja yang menganggapnya terlambat"

Malu juga, di usia yang hampir 27 ini, aku belum juga menikah. Teman -- teman seusiaku rata -- rata sudah punya anak. Risau? Galau? Tentu saja. Tapi, saat semua ku kembalikan pada penulis skenario kehidupan, aku kembali tenang.

"Ayolah Zaf, sedikit bergaya, belajar menarik perhatian lelaki, poles sedikit saja wajahmu yang pucat ini dengan make up, ganti pakaianmu dengan yang lebih stylish, baju gombrong, jilbab juntai, wajah pucat, bibir kering, hadeh..." petuah Lena, teman semasa kuliah itu membuatku nyengir sendiri. Dalam hatiku, kutancapkan kata -- kata "Tidak akan!"

"Zaf, mamak mau ke tempat mbah Nyami sebentar" mamak tergesa memasang jilbab kaus. Usai makan, aku kembali duduk di bale -- bale samping rumah. Bingung harus kumulai dari mana pembicaraan ini. Tak sampai 30 menit, mamak sudah pulang. Menenteng plastik hitam ukuran sedang.

"Nih..sekantung bunga kates segar, ditumis pedas campur teri, sedapnya pasti akan menghajarmu!" mamak mengangkat bungkusan hitam sambil terkekeh lalu bergegas ke dapur. Seketika hatiku terenyuh, tumis pedas bunga kates memang kegemaranku. Perasaanku makin tak karuan.

Usai sholat Isya malam itu, mamak sigap menggelar tikar pandan di tengah ruangan. Dua piring nasi mengepul, semangkuk tumis bunga kates, tempe goreng dan sambal terasi, tampak menantang di bawah sinar lampu yang redup. Aku tak mau mengulur waktu. Aku selalu merindukan moment seperti ini dengan mamak.

Menjelang suapan pertama, aku tersentak. Aku berdehem meraih cerek berisi air lalu menuangkan isinya ke dalam piring nasiku, mamak bengong.

"Lho..lho..kok nasimu disiram air? Nasinya kurang banyak?" mamak heran

"Ditambah air pasti lebih sedap mak, nyamm..kan lebih enak" aku agak gugup. Sekarang makanan seperti ini sulit kucerna, makanya kusiram air. Untung mamak tak curiga.

"Kapan ya mak aku bisa pulang lagi?" tanyaku menjelang tidur, aku terkejut dengan pertanyaanku sendiri. Sesaat mamak manatapku aneh.

"Kau bisa pulang kapan pun kau mau, jangan ngelantur..dan kalau pulang nanti usahakan bawa calon menantu untuk mamak" jawab mamak agak ketus.

Tajam kutatap lantai peron Stasiun Klaten pagi itu, memilah kata untuk kuucapkan, tapi aku gagal. sementara mamak sibuk mengikat bungkusan berisi lauk dan makanan kegemaranku.

"Zaf" mamak menatapku lekat, menelusuri wajahku dan menyelami mataku, entah apa yang ia cari di sana hingga dahinya berkerut. Apa mamak menemukan sesuatu di mataku?

"Kau menyimpan rahasia" tangan mamak menyentuh pundakku, aku tergeragap.

"Ha..ha..rahasia opo to mak?" kupaksakan tawa untuk menutupi kegugupan.

"Eh, mak kereta mau berangkat!" kuraih tangan mamak, matanya masih menyimpan curiga.

"Mamak jaga kesehatan lo" kataku sambil mengusap pundaknya, aku bergegas masuk gerbong, mamak tak menjawab, ekspresinya masih dingin. Kutatap mamak dari kaca jendela, ia menatapku tak berkedip, tersirat sebongkah tanya yang tertahan di mata itu. hatiku mulai rusuh.

"Bulek nggak ikut?" Sekar menghadangku di pintu

"Aku ndak bisa cerita ke mamak Kar" kataku pelan, Sekar mendesah kesal lalu menghempaskan tubuhnya di kursi.

Sejak kepulanganku, Sekar banyak diam. Tapi, ia tetap memasak bubur untukku tiap pagi, bahkan obat -- obatanku di taruhnya di dekat mangkuk bubur. agaknya Sekar lebih mencemaskanku dari pada diriku sendiri.

"Zaf, ditunggu Ustadzah Sal di ruangannya" Sekar menyapaku di muka kelas tiga, aku mengangguk.

"Zafrina, ada pesan dari Ustadz Santoyib untukmu, Ehm..langsung ke inti saja ya, Ustadz Santoyib tanya, apa kau sudah punya calon suami pilihan sendiri?" Ustadzah Sal tersenyum, kenapa pula Ustadz Santoyib menanyakan hal itu.

"Be..belum Ustadzah" jawabku agak gugup. Mendengar jawabanku senyum  Ustadzah Sal makin mengembang, aku bingung.

"Alhamdulillah..begini Zaf, anak bungsu Ustadz Santoyib baru lulus dari UII Jogja, dan rencananya mau mengajar pula di sini, Ustadz Santoyib bermaksud menjodohkan anaknya denganmu, mungkin besok Nana mulai mengajar di sini, dia yang bakal menggantikan Ustadz Santoyib memimpin pondok ini" Ustadzah Sal antusias bercerita. Seketika hatiku terkejut, seberkas hangat menyusup di benakku.

Ba'da maghrib malam itu, Ustadzah Sal ke kamar kami. Kembali menyampaikan pesan Ustadz Santoyib.

"Zaf, lusa rencananya Ustadz Santoyib dan keluarga mau berkunjung ke rumahmu untuk melamar, selang seminggu akad nikah akan dilangsungkan, Ustadz Santoyib bilang, Nana tak mau menunda -- nunda, apa kau siap? Segera kabari ibumu" Ustadzah Sal menatapku serius. Ada bahagia yang membuncah di sela kekhawatiran.

"Alhamdulillah..siapa? anak pimpinan pondok tempatmu mengajar? Alhamdulillah.." terdengar suara bahagia mamak berderai di ujung telepon.

"Zaf, sudah..jangan khawatir, Insyaallah kau bisa sembuh" Sekar mengusap pundakku. Ah..Sekar tau benar apa yang kurisaukan.

"Masya Allah Zaf, itu lho yang namanya Nana" Sekar berbisik tepat di telingaku saat kami baru keluar dari Lab Komputer siang itu. Terang saja aku gugup, sekilas mataku menangkap wajah itu, langsung kutundukkan kepala dan berlalu cepat -- cepat. Lelaki itu tetap tenang berpapasan dengan kami. Ada debar yang tiba -- tiba membuat wajahku bersemu.

"Ehm..cakepnya Zaf, siapa nama panjangnya?" Sekar terus saja menggodaku

"Ahmad Latif Maulana, dipanggil Nana..manisnya nama panggilan" Sekar masih berceloteh.

Pagi ini aku harus pulang. Karena besok Ustadz Santoyib dan keluarga mau berkunjung ke rumah. Pukul 05:17, kereta berangkat pukul 06:00, kurapikan jilbab di depan cermin.

"Udah siap? Cepet Zaf, ck..nggak usah sok cantik deh, ketinggalan kereta tau rasa lho!" Sekar membuka pintu kamar sambil cengengesan.

"Kar..Kar..ck.." pandanganku tiba -- tiba mengabur, perutku kembali nyeri ditambah hentakan di kepala.

"Kar..Kar.." rintihku pelan. Tanganku berusaha menggapai tepi ranjang, tapi aku gagal. Aku limbung. Kurayu lisanku untuk menyebut nama-NYA. Sesaat kudengar teriakan Sekar di ujung pendengaranku.

"Tempat apa ini?" hati dan pikiranku disesaki tanya. Padang rumput yang luas menghantam mataku. Tak ada orang, hanya aku sendiri. Aku ingin melangkah, tapi bingung memilih jalur yang mana. Banyak benar persimpangan di hadapanku, persimpangan yang bercabang. Aku berbalik, rumahku yang beratap genteng merah pudar rupanya ada di belakangku. Aku bergegas menuju pelataran rumah.

Tanaman perdu kesayangan mamak tampak layu, daunnya kuning kecoklatan. Agaknya mamak sibuk tandur, sampai -- sampai tak mengurusi tanaman perdunya. Terselip bendera kuning yang dimainkan angin di antara pagar bambu. "Mamak!" teriak hatiku. Cepat aku melesat ke dalam.

Dua buah mobil bertuliskan pondok pesantren tempatku mengajar terparkir di halaman. Langkahku terhenti di mulut pintu. Sosok pertama yang kutangkap, lelaki itu.. aku mendekat untuk memastikan, ya..benar. Nana, Ahmad Latif Maulana. Lelaki itu duduk tertunduk menatap tikar tajam - tajam di samping Ustadz Santoyib.

Pelan -- pelan aku masuk ke dalam. Aneh, tak ada yang menghiraukanku. Ck..sudahlah. aku mencari mamak ke kamar. Kudapati mamakku tengah terduduk di pojok kamar, bahunya berguncang. Hati -- hati kudekati mamak. Lalu kusentuh bahunya.

"Ono opo to mak?" tanyaku pelan. Mamak tak merespon. Aku mulai kesal, kembali ke ruang tamu. Sesosok tubuh terbaring di balik kain panjang motif batik. Sekar sesenggukan di sisi kanan sosok itu. aku tak bisa menahan rasa penasaranku lagi. Kubuka kain penutup sosok itu. aku terkulai. Itu wajahku. Ah..hari ini wajah itu terlihat lebih pucat dari biasanya, bibir itu semakin kering, lelap benar aku tertidur, seperti mengarungi mimpi yang tak bertepi.

Aku beranjak, menerobos keluar, berlari kencang kembali mengarungi padang rumput. Hari ini, Ahmad Latif Maulana, lelaki berwajah teduh, belum genap seminggu aku mengenalnya, ia berencana meminangku. Tapi, Izrail datang lebih dulu untuk meminangku dan aku tidak bisa menolak pinangan itu.

Ah..kenapa cinta datang terlalu lama dan pergi begitu cepat? Seperti kata Pasangger dalam lirik lagunya.

Kau hanya butuh cahaya ketika redup

Hanya merindukan mentari saat salju mulai turun

Hanya tahu kau mencintainya saat kau membiarkannya pergi

Menatap langit-lagit dalam kegelapan

Perasaan hampa yang sama mengisi hatimu

Karena cinta datang begitu lambat dan  pergi begitu cepat

Dan kau membiarkannya pergi

Dan, aku tak bisa menggapai Ramadhan kali ini, padahal ia tengah bersiap menyapaku di depan sana. Kenapa? Karena Allah SWT, sang penulis skenario kehidupan ini maha romantis. Itulah jawabannya.

Lelaki berwajah teduh itu tampak menikmati perjalanan. Duduk bersandar di kursi salah satu gerbong KA Joglokerto. Matanya terpejam mengurai kerinduan yang terhalang.

Musisi jalanan mulai beraksi

Seiring laraku kehilanganmu

Merintih sendiri

Ditelan deru kotamu


Walau kini kau t'lah tiada tak kembali

Namun kotamu hadirkan senyummu abadi

Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi

Bila hati mulai sepi tanpa terobati

 

Palembang, 28 Sya'ban 1439 H

Percayalah, Skenario-NYA akan selalu manis

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun