Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Hujan

18 Juli 2025   14:02 Diperbarui: 19 Juli 2025   10:57 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lahir dalam citra dan gambaran Allah yang asli namun aku menjadi mati dalam sifatku yang cenderung meniru sifat orang lain yang belum tentu pas atau bisa kulakukan. Aku pun tak jarang menolak atas diriku. Aku hanya ingin seperti hujan. Karena hujan apa adanya memberi untuk semua nafas kehidupan. Tetapi mampukah aku seperti hujan?

Aku terkadang asing bagi diriku sendiri dan cenderung menjadi fotocopi dari orang lain. Aku tak ubah seperti sering menyangkal diri tentang keberanianku untuk percaya pada kemampuan diriku, ataupun terkadang pula, aku sering meremehkan diriku hingga kaku dan ragu untuk merubah.

Aku sudah semakin terkontaminasi oleh pikiran-pikiran yang masuk dari arus informasi yang semakin sulit ku saring karena datang silih berganti saban waktu hingga lupa diri.

Aku ingin seperti hujan, tetapi aku sadar aku pasti tak sanggup seperti hujan dan aku hanya berangan seperti hujan.

Sebab aku ingat, aku pasti tak mampu seperti hujan yang selalu memberikan kesejukan. Memberikan kesegaran, memberikan nafas kehidupan. Sedangkan aku hanyalah aku, yang jarang peduli pada diri dan sesama. Aku sering egois diri dan tak jarang menyakiti orang lain serta kehidupan.

Aku dan hujan, sudah pasti tak sama. Tetapi aku selalu berandai-andai ingin seperti hujan. Sanggupkah aku menyejukan seperti angin segar temannya hujan yang selalu memberikan kabar tentang semua pesan tentang harmoni dan damai, bukan intoleran, bukan memecah belah atau sumpah serapah. Seingatku, hujan pun ingin selalu tak sabar meneteskan tetesannya untuk menghapus debu yang menempel pada dinding-dinding penyekat yang sudah sulit terpisah, semakin lengket dan menempel.

Aku yang sering gaduh, mengaduh tak tenang seperti hujan yang turun, yang selalu dirindukan oleh tanam tumbuh, ragam nafas segala bernyawa karena sering didera kering kerontang kemarau panjang. Sama sepertiku yang haus akan damai atau berdamai dengan diri karena ego yang sulit dibendung.

Aku dan hujan bukan sama serupa, tetapi jauh beda. Hujan tak hanya memberikan kesejukan namun juga keteduhan.

Aku yang sering lupa bersyukur, bagaimana aku bisa seperti hujan yang setiap tetesan sangat berarti bagi tanam tumbuh dan nyawa jiwa.

Aku hanyalah nyawa jiwa yang sering kali mengeluh, mengaduh, gaduh, mengoceh, iri, dengki, tak tentu arah hingga kalah dari pada mencoba melangkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun