Mohon tunggu...
Anta Nasution
Anta Nasution Mohon Tunggu... Ilmuwan - Laut Biru

Ocean never betray us! Ocean doesn't need us, indeed we need ocean.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cerpen Mengenai Konflik Kelas: Kapal Merah (3/selesai)

14 Januari 2017   19:44 Diperbarui: 14 Januari 2017   19:57 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebenarnya Darman mencintai Murni. Ia terpicut oleh perilaku Murni yang baik dan sopan. Darman sadar diri, bahwa ia orang miskin yang tidak mungkin bisa hidup bersama Murni. Semenjak perasaan itu muncul, Darman berusaha mengubur perasaan itu sebelum perasaan itu makin berkembang. Ia bergetar. Ia masih tidak percaya kalau Murni meninggal.

“Murni meninggal secara tragis, ia dibunuh, bahkan sebelum dibunuh ia diperkosa terlebih dahulu!” Raut wajah Pak Darjam berubah menjadi marah. Nada bicaranya dipenuhi amarah. “Si Gori dan Dableklah pelakunya, akan kubakar ia bersama dengan kapalnya, bahkan seluruh anggota keluarganya jika ia punya!” Pak Darjam membanting rokoknya ke bawah. Ia segera masuk ke dalam rumah. Darman terhentak. Ibunya meninggal, kini Murni yang ia cintaipun meninggal. Darman tidak pernah tau bahwa sebenarnya Murni juga mencintainya. Sebuah pukulan kayu tepat menghantam tengkuk Darman. Ia pingsan kembali.

..........

Rumah Pak Gori mendadak ramai, didatangi oleh beberapa anak buah Dablek, yang sekaligus anak buahnya juga. “Pak, kang Dablek mati pak,” ujar salah seorang anak buahnya. Namanya soman, tubuhnya tidak besar, di tangannya banyak bekas luka sabetan parang, menandakan bahwa ia sudah sering berkelahi dengan parang. Ia merupakan orang kepercayaan Dablek, beruntung pada saat penyerangan kawanan perompak, ia sedang tidak di warung bersama Dablek. “Dablek mati dibunuh, tapi kita tidak tau pelakunya siapa, tadi kami ke warung dan isi warung sudah lulu lantah, ada mayat kang Dablek dan dua teman kami.”

Pak Gori yang sedang dudu di beranda rumahnya langsung berdiri, ia tidak yakin tangan kanannya itu bisa mati secara tiba. Padahal tadi subuh ia masih bersamanya, setelah melakukan kebejatan. Raut wajah Pak Gori berubah menjadi cemas, ia ingat perkataan Pak Gori tadi subuh tentang anak pak Enok yang mati karena berusaha memperkosa Murni. Sementara yang ia lakukan bukan hanya memperkosa Murni, tapi juga membunuhnya secara tidak sengaja. Tubuhnya mendadak lemas. “Kumpulkan semuanya, suruh berjaga di sekitar rumah, kumpulkan juga nelayan-nelayan yang bekerja pada saya, hari ini jangan ada yang melaut. Semuanya harus berjaga di rumah saya.” Pak Gori mengacungkan telunjuknya ke depan, seraya memberi komando. Setengah dari anak buah Pak Gori langsung meninggalkan rumah Pak Gori untuk menjalankan perintah, sebagian lagi berjaga di rumah Pak Gori.

“Kenapa Pak Gori begitu takut hingga mengumpulkan semuanya untuk berjaga? Apa hubungannya dengan kematian Dablek?” Ujar Soman dengan rasa penasaran yang sangat tinggi. Terlihat dari raut wajahnya.

“Kamu tidak usah banyak tanya, pokoknya sekarang keselamatan saya adalah prioritas utama. Saya mau istirahat dulu di kamar, nanti kamu atur penjagaannya, tempatkan orang-orang si sekeliling rumah, halaman, pagar. Pokoknya semua harus rapat.” Soman mengangguk patuh. Pak Gori berjalan memasuki rumahnya.

................

Angin malam menyelimuti desa pesisir Mangur. Manghanyutkan. Mendamaikan. Kabar kematian Dablek begitu cepat tersebar di dermaga, orang-orang ramai membicarakan. Menerka-nerka siapa pembunuhnya. Jam menunjukan pukul dua malam, kondisi dermaga sangat sepi, semuanya melaut. Mereka tidak mau menyia-nyiakan musim panen ikan. Hanya ada kapal-kapal milik Pak Gori. Warnanya merah. Di tengah kegelapan malam, kapal-kapal merah itu seperti api yang menyala-nyala, terhuyung-huyung pelan oleh ombak yang menerjang dermaga.

Darman membuka matanya, mengucek matanya. Posisinya tengkurep. Kali ini tangannya tidak terikat. Di sebelahnya terdapat dirijen. Bau minyak tanah menyeruak ke hidung Darman, dihantarkan oleh angin malam. Kenangan Darman tiba-tiba terlintas ketika ia mencium bau minyak tanah, kenangan bersama ibunya. Semasa kecil Darman sering menemani ibunya berjualan minyak tanah ke dermaga. ketika sudah lelah berjualan, ia selalu merengek ke ibunya untuk pulang, walaupun dagangan minyak tanahnya belum habis, ibunya tetap menuruti kemauannya untuk pulang. “Kau yang berhak menentukannya.” Lamunan Darman terhenti, Pak Darjam berjongkok dan menyodorkan korek api. Darman diam. “Mengapa saya ada di dermaga?” Ujar Darman kebingungan. “Untuk apa korek ini? Saya tidak memerlukannya,” ujar darman sembari berdiri. Pak Darjam ikut berdiri. “Kamu yang berhak menentukannya,” ia mengulangi perkataannya. Darman masih tidak mengerti, lalu suara kawanan perampok yang mengelilinginya berteriak riuh memecah keheningan malam “Bakar, Bakar, Bakar!” Darman paham, bahwa ia diminta untuk menyalakan korek api dan melemparkannya ke kapal Pak Gori yang semuanya sudah dilumuri oleh minyak tanah. “Saya tidak akan melakukannya,” Ujar Darman tegas. “Lakukan, dan kamu akan memiliki semua harta Pak Gori selain kapal-kapal ini,” Pak Darjam kembali menyodorkan korek apinya.

.......................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun