Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Sebuah Cerita Mini) Waktu

15 Oktober 2019   15:43 Diperbarui: 16 Oktober 2019   15:34 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini ibu Sukitman menghadap guru Bimbingan Konseling (BK) untuk yang kesekian kalinya. Kebiasaan terlambat Sukitman tak kunjung berubah walau sudah diperingati berkali-kali. Bahkan orangtuanya yang pusing harus bolak-balik ke sekolah tak membuat ia menjadi lebih peduli.

"Anak Ibu sudah keterlaluan. Hampir setiap hari ia terlambat" Ibu Sukitman tertunduk. Ia sendiri sudah tidak tahu lagi harus bagaimana agar Sukitman bisa berubah.

"Dan hampir setiap hari pula ia punya alasan" guru BK melanjutkan.

"Iya Bu, saya juga tidak habis pikir dengan anak saya yang satu ini. Sudah berkali-kali diingatkan, tapi tetap saja nakal. Mohon kali ini dimaafkan saja Bu, jangan sampai diskors" Ibu Sukitman memohon dengan wajah memelas kepada guru BK.

Guru BK menggelengkan kepala. "Baiklah, ini yang terakhir. Lain kali tidak akan ada surat peringatan lagi. Kalau Sukitman masih terlambat datang ke sekolah, ia akan diskors selama dua minggu"

"Baik bu, terimakasih banyak bu" Ibu Sukitman menyalami guru BK. "Akan saya coba untuk mengingatkan Sukitman lagi. Semoga mulai besok dia tidak terlambat lagi.

"Iya.. iya. Saya sarankan Ibu sebagai orangtua lebih keras lagi untuk mendisiplinkan Sukitman. Supaya ia jadi manusia kelak"

"Iya Bu. Sekali lagi, terimakasih Bu" Ibu Sukitman kembali menyalam guru BK, dan meninggalkan sekolah.

Di beranda rumah, sang Ibu sudah menantikan kepulangan Sukitman dari sekolah. Ia hendak menasihati Sukitman agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Ibu Sukitman langsung berdiri ketika melihat Sukitman di kejauhan. Dari kejauhan, Sukitman juga sudah melihat Ibunya berdiri sambil bertolak pinggang. Sebuah gestur yang menandakan akan ada sesuatu yang tidak mengenakkan. Dengan langkah perlahan, Sukitman mulai mendekat ke beranda dan menghampiri ibunya.

"Eh, Ibu. Nungguin siapa bu?" tanya Sukitman sembari menyalim Ibunya.

"Jam berapa ini?" ibu Sukitman menunjuk jam dinding di dalam rumah yang memang kelihatan dari beranda.

"Jam 5 Bu" Sukitman menjawab seolah tidak ada yang salah.

"Kamu pulang sekolah jam berapa? Kok baru sampai rumah sore begini ?"

"Tadi Sukitman..."

"Kamu jangan coba-coba berbohong" belum selesai Sukitman bicara, Ibunya sudah memotong pembicaraan dan melanjutkan omelannya. "Ibu sudah capek bolak-balik ke sekolah cuma karena kenakalanmu! Berangkat sekolah selalu terlambat. Pulang ke rumah pun selalu terlambat"

"Maaf Bu" Sukitman memelas.

"Ah sudahlah. Kamu selalu minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu. Tapi semua hanya omong kosong. Kata guru BK mu, ini yang terakhir. Kalau kamu masih terlambat, kamu akan diskors. Kalau sudah begitu, jangan menyesal dan jangan minta tolong sama Ibu. Kamu sudah besar, cobalah untuk mandiri dan menanggung konsekuensi atas perbuatanmu!"

Ibu Sukitman langsung masuk ke rumah setelah menyelesaikan omelannya, sementara Sukitman masih tertunduk di beranda rumah.

Di dalam rumah, Ibu Sukitman mencari akal untuk membuat Sukitman tidak terlambat lagi ke sekolah. Tiba-tiba sebuah ide terbersit dalam pikirannya. Mempercepat waktu. Mempercepat jam. Cara ini pasti berhasil. Ibu Sukitman menggumam. Ia optimis caranya tersebut akan berhasil membuat Sukitman pergi sekolah tepat waktu.

Ibu Sukitman bangun dari tempat tidurnya. Ia memutuskan akan melancarkan aksinya pada tengah malam ketika semua terlelap. Supaya tidak ketahuan dan tidak ada yang curiga, pikirnya. Pertama - tama, Ibu Sukitman mempercepat waktu pada jam - jam dinding yang ada di rumah. Kemudian ia mempercepat waktu ponsel Sukitman dan semua anggota keluarga, dilanjutkan dengan mempercepat waktu setiap jam tangan yang ada di rumah. Tidak lupa, waktu jam weker juga dipercepat ibu Sukitman. Setelah mempercepat waktu pada setiap jam yang ada di rumah, ibu Sukitman kembali tidur. Besok Sukitman tidak akan terlambat lagi.  

Jam weker berbunyi. Sukitman beranjak dari tempat tidurnya. Seperti biasa, Sukitman tidak cepat-cepat bergegas pergi ke sekolah. Semua ia lakukan dengan santai. Mulai dari beranjak dari tempat tidur, mandi, sampai sarapan dilakukannya dengan santai, seolah tidak ada tugas serta beban moral yang mewajibkannya untuk sedikit lebih sigap. Sukitman masuk sekolah pukul delapan. Selama ini ia selalu berangkat sekolah pada detik-detik terakhir bel masuk berbunyi.      

Sukitman melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima. Waktu yang sudah dipercepat Ibu Sukitman lima belas menit. Jarak tempuh dari rumah Sukitman ke sekolah kurang lebih sepuluh menit. Bisa lima belas menit kalau jalanan sedang tidak bersahabat. Sukitman sudah memperkirakan waktunya. Tentu bukan perkiraan waktu yang bijak. Ia menyudahi sarapan santainya.

"Bu ! Sukitman berangkat!"

"Iya.. Hati-hati di jalan"

Sukitman merasakan ada yang aneh sesampainya di sekolah. Jarum jam tangannya sudah hampir menunjuk angka 8, tapi kenapa sekolah belum seramai biasanya. Di rumah, sebuah senyum kemenangan tergurat di wajah ibu Sukitman, diikuti dengan sebuah pertanyaan. Haruskah jam kita dipercepat tanpa sepengetahuan kita agar kita bisa lebih disiplin dan menghargai waktu?

 

T.A.M.A.T

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun