Indra tidak segera menjawab. Mungkin ia perlu sebentar menghirup nafas yang panjang, “Ada yang harus aku beli di sana. Dan, aku melihat gaun ini. Seketika aku teringat padamu.”
Lena akhirnya mengerti. Tentu saja ia sangat paham akan itu. Sepanjang pengamatan Lena, Seibu merupakan sebuah toko yang banyak dikunjungi oleh para wanita kelas atas. Dari pakaian dengan desain yang sangat berkelas, parfum-parfum yang harganya selangit dengan keharuman yang tidak biasa, juga kosmetik-kosmetik yang pasti dibutuhkan oleh para wanita berkarir. Atau, paling tidak para wanita itu harus tampil menawan sebagai pendamping dari lelaki terhormat. Adapun counter untuk pria, para wanita lah yang akan mengitarinya. Mereka menemani berbelanja atau hanya seorang diri membelikan barang bagi pasangannya.
Lena mengangguk-angguk.
Indra membuat suasana hening menyelimuti mereka berdua. Kemudian, dengan pelan, ia memberitahukan, “Istriku akan kemari besok,” ia melihat Lena tersenyum tipis. “Oh, Lena, aku sangat,” suara Indra tercekat dan terdengar menggantung. Agak lama, Lena tidak mendengar Indra melanjutkan perkataannya. Ia hanya mendapati dirinya yang sudah berada di pelukan Indra.
Mereka berpelukan dengan diam. Dalam suasana sunyi yang menggayut. Mata Lena terpejam. Ia bertanya-tanya kapan Indra akan melepaskan pelukannya yang hangat itu. Di sisi lain, ia tidak ingin lepas dari pelukannya. Namun, itu harus. Lena memang takkuasa. Dering telepon lah yang membuat Indra merenggangkan pelukannya. Telepon dari bagian helpdesk apartemen yang memberitahukan harga penawaran untuk penggantian lampu di area foyer unit Indra.
* * *
Di kantor Lena memperhatikan Maya yang sedang menerima telepon dari ibunya. Beberapa hari ini Maya sudah tampak sangat sibuk. Setiap jeda, ia menyempatkan diri menelepon beberapa anggota keluarganya. Sejauh ini Lena telah tahu Maya telah menelepon beberapa bibinya yang tinggal di luar kota. Ia memastikan bahwa seragam kebaya yang telah ia paketkan via pos kepada masing-masing dari mereka telah dicoba dan cocok dikenakan di pesta pernikahan adiknya.
Kali ini ia membicarakan mengenai daftar hidangan yang menurut Ibunya perlu dirombak lagi. “Ibu, aku rasa kue pastel dengan isian irisan telu dan wortel itu sudah baik. Tidak usah macam-macam diganti dengan zuppa soup mini.”
Saat Maya tengah berdebat kecil dengan Ibunya lewat telepon, Lena mengamati ponselnya sendiri yang tergeletak dekat booth telepon di mejanya. Ia mulai berharap untuk juga menerima telepon dari seseorang. Ia seperti sedang dirundung sepi. Ada sesuatu yang tiba-tiba tercerabut dari dirinya, yang seakan membuat hatinya menjadi hampa.
Apabial ada yang bertanya kepada Lena, telepon dari siapa yang diharapkan. Mungkin, Lena akan menjawab dari Ibunya. Ia mungkin akan sangat senang mendengar kabar dari ibunya yang tengah menyediakan makan siang kegemaran adik-adik tirinya. Atau, mungkin dari ayahnya yang berhasil mendapatkan laba lebih dari usahanya sebagai pengrajin cindera mata dari mahoni. Akan tetapi, pasti itu tidak akan menghilangkan kekosongannya saat ini.
Lebih dari apapun, ia menginginkan ponselnya bergetar dan layarnya menunjukkan deretan angka, nomor dari Indra. Ia hafal di luar kepala akan nomor Indra, dan ia menantikan dirinya terperanjat dengan jantung berdegup melihat nomor yang telah ia hapus dari ponselnya. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi.