Pada hari Sabtu sore Indra menjemputnya. Saat itu Lena sedang sendirian, memoles kuku-kuku jari tangannya dengan kutex berwarna merah muda.
“Ada apa, Indra?” Lena tertegun akan kehadiran Indra. Beberapa tetangganya melirik ke arah mereka seperti seorang mata-mata yang haus informasi akan detail dari sasarannya.
“Aku ingin mengajakmu berkeliling,” Indra mengerling.
Mereka tidak ke Monas. Dengan mengendarai mobil Range Rover warna hitam metalik mereka menuju ke Menara yang biasa Lena lewati setiap kali pulang bekerja. Di puncak Menara itu terdapat sebuah restoran mewah dan sangat berkelas. Skye Bar. Hanya orang-orang yang tidak khawatir akan kehabisan uang saja yang menjadi pelanggan restoran itu.
Dari puncak tertinggi menara mereka memesan makan malam mereka, seporsi cordon bleu, fish n chips, kentang goreng dan sebotol anggur merah. Untuk hidangan penutup Indra memesan es krim dua rasa, coco pandan dan stroberi, dan disajikan dengan sebuah cherry di atasnya. Ia membiarkan Lena menikmati es krim itu sesuap demi sesuap, dan terkadang ia membuka mulutnya, isyarat agar Lena menyuapinya.
Saat itu hati Lena terasa sangat dingin dan sejuk. Ditambah dengan taburan bintang yang tersebar di sepenjuru langit yang kelam. Sepasang pria dan wanita, entah suami istri atau baru sebagai kekasih, berjalan melewatinya. Lena terkesima dengan penampilan wanita itu.
Sesaat perhatian Lena tertuju ke arah mereka tatkala Indra sedang menjauh untuk menerima telepon dari relasinya. Wanita itu berwajah sangat ceria, dengan gaun warna pastel dan kalung mutiara. Pasangannya merupakan pria gagah dan takkalah rupawan, yang menampilkan kesiapan total untuk menjaga wanita yang kini telah duduk di hadapannya. Mereka tampak serasi ketika memilih-milih menu dengan ditemani seorang pramusaji yang sabar.
Seketika Lena tertegun. Baru saja ia tidak memiliki anggapan bahwa pasangan di hadapannya itu bisa saja seperti dirinya dan Indra. Hatinya trenyuh lebih kepada dirinya sendiri ketika ia menyadari bahwa bisa jadi orang-orang yang berada di restoran itu juga menganggapnya dan Indra adalah sepasang kekasih atau suami istri.
“Lena,” Indra kembali ke tempatnya duduk. Ia tampak gagah dan sangat berwibawa dengan tuxedo abu-abu yang menutupi kemeja putihnya. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Lena menggeleng. Sebuah rasa ingin tahu yang besar seakan takterbendung lagi, sehingga ia memberanikan diri bertanya, “Bagaimana kabar istrimu di Perancis?”
Indra tersenyum. Gesture-nya mengesankan, bahwa ia sama sekali tidak keberatan Lena menanyakan kabar tentang istrinya. Ia sangat tenang, “Ia baik-baik saja.”