Diam-diam, aku kagum pada si kopral yang bekerja tanpa perintah. Dia ikhlas mengerjakan hal-hal baik. Kalau orang seperti si kopral banyak di markas maka tanah lapang ini bisa semakin asri pikirku.
Tak seberapa lama menunggu, para perwira telah berkumpul. Aku pun berkata, “Bagaimana menurut kalian pohon-pohon ini?"
Para perwira terdiam. Entah apa yang berkecamuk di kepala mereka. Aku perhatikan wajah mereka satu per satu. Tampaknya mereka masih bingung untuk segera memberikan jawaban. Padahal, pertanyaanku sangat sederhana.
Hingga beberapa saat menunggu, aku belum juga mendengar sepatah kata pun. Aku menoleh ke Mas Djoko yang berdiri di sebelahku sambil sedikit mengangkat pundak.
“Anu, Pak …” tiba-tiba perwira yang berada di ujung kiri barisan bersuara.
“Anu apa?” kataku menatap wajahnya.
“Apa yang terbaik bagi bapak, itulah yang terbaik bagi kami,” sambungnya.
“Kalau menurut saya, pohon-pohon ini kita tebang saja. Kalian sepakat?” kataku melanjutkan. “Menurut pendapat saya, pohon-pohon mengganggu. Biar bersih saja. Jadi saya bisa lihat pasukan dari jauh dengan leluasa.”
“Betul, Pak!” kata seorang perwira.
“Benar, Pak!” kata seorang perwira lagi.
“Sepakat, Pak!” kata seorang perwira yang perutnya agak buncit. Suaranya paling lantang.