Kolaborasi di Ruang Kelas, Rumah, dan Hati
"Siapa yang sebenarnya membentuk masa depan anak?" Pertanyaan ini kerap terlintas di benak saya. Banyak orang akan menjawab: guru. Jawaban itu tentu tidak salah, sebab guru memang memiliki peran besar dalam mendidik dan membimbing. Namun, semakin lama saya mengamati, semakin jelas bahwa masa depan seorang anak tidak hanya ditentukan oleh guru. Ada begitu banyak tangan yang turut bekerja---orang tua, kakak, bahkan anak itu sendiri.
Saya menyadari hal ini sejak beberapa tahun lalu, ketika di sela kesibukan kuliah saya meluangkan waktu menjadi guru les. Dari Fisika, Matematika, Kimia, hingga mendampingi anak-anak belajar untuk olimpiade sains, saya melihat lebih dekat betapa pendidikan adalah proses yang kompleks. Kadang seorang anak datang dengan wajah letih karena PR yang menumpuk, kadang mereka penuh semangat bercerita tentang cita-cita. Dalam semua pertemuan itu, saya tidak hanya menjadi pengajar yang menjelaskan rumus, tetapi juga seorang pendengar, pemberi semangat, bahkan teman curhat. Saat itulah saya sadar, peran guru jauh melampaui ruang kelas.
Namun, guru tidak pernah sendirian. Di balik seorang anak yang tekun belajar, ada orang tua yang menjadi fondasi. Saya kerap melihat bagaimana kehadiran orang tua membuat perbedaan besar. Ada anak yang meski fasilitas belajarnya sederhana, tetap berprestasi karena orang tuanya selalu memberi dukungan moral. Mereka hadir, meski hanya lewat kalimat singkat, "Belajarlah yang rajin, Nak, Ibu percaya kamu bisa." Kalimat sederhana itu bisa menjadi bahan bakar bagi seorang anak untuk berjuang lebih keras. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan hal yang sama. Di banyak keluarga, terutama di kota besar, orang tua harus sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Tak jarang pendidikan dianggap selesai ketika anak pulang dari sekolah.
Di sinilah saya menemukan makna lain dari kolaborasi. Saya sendiri, sebagai kakak, sering diminta menemani adik-adik saya belajar. Bukan hal yang rutin, karena kuliah juga menyita banyak waktu, tapi di setiap kesempatan saya berusaha hadir. Dan ternyata, belajar bersama kakak memiliki nuansa berbeda. Adik-adik lebih leluasa bertanya, bahkan bisa merengek atau mengulang pertanyaan berkali-kali tanpa merasa malu. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa pendidikan juga tumbuh dari kedekatan. Terkadang seorang kakak bisa menjadi jembatan yang membuat anak lebih berani.
Lalu bagaimana dengan peran siswa itu sendiri? Saya pernah ada di posisi itu. Saya tahu rasanya gelisah menjelang ujian, panik ketika tidak memahami pelajaran, atau bahagia saat nilai bagus akhirnya didapat. Dari pengalaman itu, saya sadar bahwa semua dukungan tidak akan berarti bila siswa sendiri tidak mau berusaha. Pendidikan adalah kerja sama, tapi anak tetap perlu menyalakan api semangat dalam dirinya.
Ketika semua sudut pandang ini disatukan---guru yang membimbing, orang tua yang mendukung, kakak yang menemani, dan siswa yang berjuang---barulah pendidikan bermutu bisa benar-benar terwujud. Namun, realitas di Indonesia masih penuh tantangan. Banyak orang tua yang terpaksa sibuk bekerja hingga larut demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ada pula keluarga dari kalangan bawah yang masih memandang sekolah sebagai satu-satunya sumber pendidikan, seolah-olah tugas selesai begitu anak pulang ke rumah. Padahal, pendidikan tidak bisa dititipkan sepenuhnya pada guru. Anak-anak tetap membutuhkan bimbingan, teladan, dan ruang untuk tumbuh di luar jam sekolah.
Di sinilah pentingnya kesadaran bersama. Pendidikan bermutu lahir ketika setiap orang merasa punya tanggung jawab. Orang tua, meski sibuk, bisa menyisihkan waktu sejenak untuk mendengar cerita anak. Kakak, sepupu, atau anggota keluarga lain bisa ikut mendampingi. Guru, baik di sekolah maupun di ruang les, dapat membuka ruang komunikasi dengan keluarga. Bahkan masyarakat sekitar pun bisa menyediakan wadah, seperti taman baca, kelompok belajar, atau sekadar ruang aman bagi anak-anak bermain sambil belajar.
Tentu, peran siswa tetap utama. Anak-anak harus diajak menyadari bahwa pendidikan bukan untuk menyenangkan guru atau orang tua, melainkan untuk masa depan mereka sendiri. Semangat belajar mandiri ini akan lebih mudah tumbuh jika lingkungan di sekelilingnya ikut mendukung.
Maka jika kembali ditanya, "Siapa yang sebenarnya membentuk masa depan anak?" Jawabannya adalah: kita semua. Guru, orang tua, kakak, teman sebaya, dan masyarakat, semua punya andil. Ketika tangan-tangan ini saling terhubung, anak-anak tidak akan pernah merasa sendirian dalam perjalanan belajarnya.
Saya percaya, pendidikan bermutu bukanlah mimpi yang terlalu jauh. Ia bisa hadir di setiap rumah, di setiap ruang kelas, dan di setiap hati yang peduli. Sebab pada akhirnya, membesarkan anak bukanlah tugas satu orang, melainkan perjalanan bersama sebuah bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI