Mohon tunggu...
A.A. Sandre
A.A. Sandre Mohon Tunggu... penikmat kata dan kopi

sekata sekopi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Anak Pejuang (Bagian XXII)

27 September 2025   19:24 Diperbarui: 27 September 2025   19:35 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber poto: Instagram @prabowo

Di bawah pohon saman gemuk dan kokoh, aku berdiri bersama Kapten Djoko Santoso yang biasa kusapa Mas Djoko. Setelah aku ditugaskan sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328/Kostrad, Mas Djoko menemaniku sebagai wakil komandan.   

Sudah sekian lama aku memperhatikan pohon saman yang berdiri tegak di lapangan tempat menggelar apel. Pohon yang hidup di iklim tropis. Tumbuh tinggi menjulang ke langit. Biasa dijuluki rain tree karena begitu peka terhadap cahaya. 

Kini aku bernaung di bawahnya sembari menikmati suasana senja. Aku pun sengaja mengajak Mas Djoko berdiri di sini. Meski masih muda, Mas Djoko memiliki pandangan yang luas. Ide-idenya kerap muncul menyegarkan. Wajahnya cerah disangga bahu yang kekar. Tatapannya teduh mewakili kearifan yang dia miliki. Sosok tentara cerdas dan rendah hati. 

“Silakan diminum,” kataku menyodorkan botol kecil berisi ramuan jahe dan kunyit. Aku tahu dia suka minuman tradisional. “Saya bawakan satu botol buat Mas Djoko.” 

“Terima kasih.”  

Bagi Mas Djoko, pangkat adalah satu hal, tetapi pengabdian untuk Merah Putih memiliki tempat paling tinggi. Seorang yang sanggup bekerja keras. Teliti dalam pekerjaan. Sehingga aku menganggap dia sebagai pasangan ideal. 

Batalyon 328 yang kupimpin kian masyhur. Berprestasi di daerah operasi dan daerah basis. Terbilang unggul dalam ilmu kemiliteran. Memiliki disiplin ketat dan jiwa korsa yang kuat. Nyaris tak pernah ada desersi.

Itulah yang membuat Batalyon 328 menjadi sangat andal dan diakui banyak kalangan sebagai salah satu batalyon paling tajam. Sebelum kupimpin, Batalyon 328 yang bertugas di Timor Timur sempat berada dalam kondisi kurang baik. Moral prajurit sedang jatuh. 

“Banyak yang kagum pada batalyon kita," kata Mas Djoko. 

Lantas dia mengatakan sangat terkesan karena Batalyon 328 mampu meraih penghargaan berkali-kali. Bahkan pernah hampir satu kompi mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa dan sekolah berjenjang tanpa tes di Secapa dan Secaba.

 “Hal itu kita peroleh karena Mas Djoko dampingi saya.”

“Saya hanya anak buah. Tidak mungkin bisa berbuat yang terbaik tanpa komandan yang membanggakan,” katanya lekas-lekas membalikkan pujian kepadaku. 

“Saya punya ide baru."

Mas Djoko segera mengangguk.

Aku pun melangkah perlahan, bergeser sedikit dari pohon saman. Memandangi tanah lapang yang dikitari pepohonan nan hijau. Rimbun pohon yang telah memberi alam di sekitarnya kesejukan.

"Barangkali ide ini bisa bantu kita."     

“Tentang apa, Pak?” 

“Saya juga baru terpikir tadi pagi,” kataku seraya menatap wajah Mas Djoko. “Saya berharap tempat ini jitu sebagai alat deteksi.”

“Alat deteksi?”

Aku tersenyum lebar sambil memandang ke selatan. Terpukau oleh tingkah burung-burung kecil yang bersarang di pohon ketapang kencana. Daun-daun pohon itu bergerombol membentuk atap dan melindungi tanaman di bawahnya. Konon, ketapang kencana bisa menyerap polusi yang bertebaran di sekitarnya. 

Tak jauh di sebelahnya, terdapat pohon tanjung berdaun lebat yang tak mudah gugur. Batang dan rantingnya sangat kuat, sehingga tak membuat orang di dekatnya kuatir bila angin datang bertiup kencang. Mampu menyerap unsur pencemar timbal dalam kadar rendah. 

“Saya ingin menguji kejujuran perwira kita,” kataku masih tersenyum lebar. 

Mas Djoko pun manggut-manggut. Hingga menghela napas sejenak. Tampaknya dia sudah memahami keinginanku. “Silakan, Pak." 

"Semoga mereka tidak ABS,” kataku. ABS adalah singkatan 'asal bapak senang'. 

Mas Djoko kembali manggut-manggut. Senyum tipis masih bertahan di wajahnya. Meskipun tak semua ideku akan dia angguki, kali ini dia tampak senang dan bersepakat. 

“ABS itu penyakit yang harus dibasmi,” katanya sambil tersenyum lebar. 

"Harus, sebelum terlambat," sahutku. 

Lalu aku menjelaskan panjang lebar bahwa praktik ABS semakin marak. Menjamur di sana-sini. Tak sedikit pemimpin mengalami sesat moral lantaran ABS dibiarkan terus menjalar. Padahal, sikap ABS sudah terbukti sering menjerumuskan para pemimpin. Begitu banyak bawahan yang sengaja berbohong demi menyenangkan atasannya.

"ABS memang bahaya." 

“Jelas, bisa buat kita celaka,” kataku menegaskan. Aku mendongak memperhatikan dahan-dahan pohon saman. Pohon yang kokoh pikirku. Mampu menurunkan konsentrasi gas secara efektif. Bahkan menyerap C02 lebih banyak. 

“Saya panggil saja mereka kemari?”

“Boleh.”

Mas Djoko pun memanggil para perwira. Beberapa meter dari tempatku berdiri, seorang kopral tampak sedang membersihkan semak yang mulai mengganggu badan jalan. Makin lama, dia makin dekat saja kepadaku. 

Diam-diam, aku kagum pada si kopral yang bekerja tanpa perintah. Dia ikhlas mengerjakan hal-hal baik. Kalau orang seperti si kopral banyak di markas maka tanah lapang ini bisa semakin asri pikirku.

Tak seberapa lama menunggu, para perwira telah berkumpul. Aku pun berkata, “Bagaimana menurut kalian pohon-pohon ini?"  

Para perwira terdiam. Entah apa yang berkecamuk di kepala mereka. Aku perhatikan wajah mereka satu per satu. Tampaknya mereka masih bingung untuk segera memberikan jawaban. Padahal, pertanyaanku sangat sederhana. 

Hingga beberapa saat menunggu, aku belum juga mendengar sepatah kata pun. Aku menoleh ke Mas Djoko yang berdiri di sebelahku sambil sedikit mengangkat pundak.  

“Anu, Pak …” tiba-tiba perwira yang berada di ujung kiri barisan bersuara.

“Anu apa?” kataku menatap wajahnya.  

“Apa yang terbaik bagi bapak, itulah yang terbaik bagi kami,” sambungnya. 

“Kalau menurut saya, pohon-pohon ini kita tebang saja. Kalian sepakat?” kataku melanjutkan. “Menurut pendapat saya, pohon-pohon mengganggu. Biar bersih saja. Jadi saya bisa lihat pasukan dari jauh dengan leluasa.”

“Betul, Pak!” kata seorang perwira.

“Benar, Pak!” kata seorang perwira lagi.

“Sepakat, Pak!” kata seorang perwira yang perutnya agak buncit. Suaranya paling lantang.

Semua perwira telah bersetuju. Mereka enggan melawan pendapatku. Tak ingin berseberangan. Tiba-tiba saja dari balik punggungku terdengar suara, “Kalau bisa jangan ditebang, Pak.” 

Rupanya suara si kopral yang berdiri di belakangku. Aku berpaling. "Kenapa?" 

“Pohon-pohon ini sudah puluhan tahun di sini, Pak. Dulu kami yang menanam. Kami menunggu apel di bawah pohon. Kalau ditebang, nanti banyak debu, Pak.” tutur si kopral bernama Slamet Pujiwarna.

Aku memandang wajahnya lekat-lekat, “Kau benar!” kataku. Lantas saja aku berpaling pada para perwira, “Kalian dengar kopral ini berkata jujur. Kalian kan takut," kataku sambil tertawa.

Rupanya banyak anak buahku terkena ABS pikirku.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun