Mohon tunggu...
A.A. Sandre
A.A. Sandre Mohon Tunggu... penikmat kata dan kopi

sekata sekopi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Anak Pejuang (Bagian XVIII)

27 Juli 2025   05:19 Diperbarui: 16 Agustus 2025   13:53 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber poto: Instagram@prabowo

Pulang dari Jerman, aku makin sering ditemani kopi dan buku. Kini keduanya menjadi senjata rahasiaku. Aku pun sudah mahir berbahasa Jerman, Inggris, Prancis, dan Belanda. 

Membaca membuatku tenang. Aku telah mengoleksi buku tentang ekonomi, patriotisme, dan heroisme. Buku tak hanya memberiku napas, melainkan juga memberiku gelora untuk berlari menggapai impian.      

Betapa lekas hari-hari berlalu. Tiba-tiba Bapak dan Ibu Tien bertemu secara tak terduga di sebuah ruangan Istana Merdeka. Ibu Tien bergegas mendekati Bapak dan setengah berbisik. "Eh, Pak Mitro, bagaimana?"

"Baik-baik saja, Bu." kata Bapak menyahut enteng, tak menyangka kalau Ibu Tien tak meminta jawaban itu. Karena belum mengerti, Bapak bersikap tenang-tenang saja. Seolah tak ada hal serius yang membutuhkan waktu untuk segera diperbincangkan. 

Lantas saja Ibu Tien mengernyitkan kening, tetapi Bapak merasa tak ada hal aneh dari jawabannya. Sambil menaikkan suara, Ibu Tien menatap Bapak, "Bagaimana anak-anak kita?" Sorot mata Ibu Tien menajam. 

Bapak pun menyadari perihal yang cukup serius. Bapak menjadi salah tingkah namun tetap tersenyum. "Bagaimana ya, Bu. Kita serahkan saja pada anak-anak kita." 

Ibu Tien menyambut dengan wajah yang tak lagi mengerutkan dahi. Dia juga sudah bisa tersenyum tipis. "Kita diam-diam saja. Jangan diumumkan dulu." 

Rupanya Ibu Tien sedang mengisyaratkan sebuah rencana, dan Bapak sudah memahaminya. Bapak pun melangkah untuk membaur dengan orang-orang di Istana Merdeka, persis setelah Ibu Tien berlalu dari hadapannya. 

Kesibukan terus menghampiri Bapak. Tugas-tugas negara yang Bapak pikul nyaris menyerap semua waktu luangnya. Kami makin jarang bertemu di rumah pada sore hari, karena kebiasaan Bapak pulang selepas waktu makan malam. 

Itulah risiko menteri yang bekerja sepenuh hati pikirku. Keindahan bercengkerama dengan anak dan istri sering hanya berlaku sebagai angan-angan belaka. Meskipun, Ibu sendiri tak pernah menggerutu.  

Aku kian menyadari hidup adalah perjalanan penuh pengalaman mengejutkan. Dan hidup yang diajarkan kepadaku bukan tentang seberapa banyak menghabiskan waktu, tetapi seberapa banyak waktu yang diberi makna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun