Melihatku tak henti gelisah, Ibu pun mengatakan bahwa Jaksa Agung Muda Inteligen Priyatna Abdurrasyid tiba-tiba datang menemui Bapak untuk melaksanakan perintah penangkapan.Â
Beberapa lama terjadi perdebatan. Bapak menolak tuduhan korupsi yang ditimpakan kepada dirinya. Selain menganggap tuduhan itu perkara yang dibuat-buat, Bapak juga meminta agar hukum tak menjadi alat permainan belaka.Â
Priyatna Abdurrasyid berubah pikiran. Dia bersetuju terhadap pendirian Bapak. Rencana penangkapan itu beralih menjadi dukungan. Dia menyarankan agar Bapak segera meninggalkan rumah.Â
"Mereka dipersatukan oleh niat suci," wajah Ibu berangsur tenang.Â
Jauh sebelum hari ini, Ibu memang sudah mendengar kabar tentang tokoh-tokoh PKI yang mengembuskan tuduhan keji terhadap Bapak dan merancang penangkapannya.
"Bapakmu dan orang-orang berhati kotor itu bagai minyak dan air," suara Ibu terdengar datar. Namun, sorot matanya begitu tajam. "Jaga dirimu!" kata Ibu dan bangkit dari kursi.Â
"Ibu juga," kataku lirih.
Ibu mengangguk dengan senyuman, "Bapakmu pejuang politik yang jujur dan berani mempertahankan kebenaran. Jauh dari niat yang tak suci," kata Ibu seraya memegang pundakku dan melangkah pergi.
Aku pun duduk seorang diri. Mencoba memahami apa yang baru saja Ibu katakan. Aku tak ragu untuk membenarkan bahwa memang tidak sulit melihat kejujuran pada diri Bapak.Â
Tak ingin menyerah begitu saja, aku berpikir keras untuk mencari cara agar bisa menghibur Ibu. Berharap bisa membawanya gembira. Hingga malam datang, aku masih saja terus berpikir. Berbaring telentang dan hanya menatap ke langit-langit kamar.Â
Ada seekor cicak di atas sana yang sedang terdiam. Kami sempat saling melirik. Lantas suatu rencana terlintas di benakku. Senyumku merambat cepat. Aku percaya rencana ini akan membawa Ibu ke dalam suasana baru.