Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Gagak

20 Desember 2022   05:27 Diperbarui: 20 Desember 2022   06:23 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari pekerjaan saya ini. Beberapa hari yang lalu, saya baru saja dimarahi Tuhan. Saya gagal mencabut nyawa orang. Padahal di keterangannya tertulis bahwa A akan mati dalam tidurnya. Tapi, A tak kunjung tidur. Lantas bagaimana saya mencabut nyawanya? Maka saya naik ke atas melapor ke bos saya, manatau ada sesuatu yang Dia lewatkan.

"Bodoh!" Itu kata-Nya, Tuhan marah. "Kau pikir Aku telah berbuat kesalahan?!"

Saya hanya diam saat bos ngomel-ngomel. Dia merasa terhina dengan perkataan saya. Panjang sekali uraian-Nya. Nada-Nya tinggi, saya sendiri hampir mampus mendengarnya. Setelah itu saya diusir. Badan saya langsung gemetaran. Saya tak boleh pulang ke rumah sampai tugas saya ini selesai. Tapi, laki-laki itu tak kunjung tidur. Padahal saya sudah kangen sekali dengan rumah.

Maka di sini saya sekarang, di emperan jalan, di bawah matahari terik, menyaksikan manusia menyebalkan itu tengah tertawa-tawa dengan temannya di warung rokok. Padahal nyawanya tinggal sedikit, saya hanya butuh ia untuk tertidur barang semenit saja, maka selesai sudah kerja saya.

Ini sudah hari kelima. Apa dia tidak mengantuk sama sekali? Saya heran betul dengan tingkahnya. Memang benar dia pengangguran, tidak ada hal yang melelahkan dikerjakannya, selain tertawa dan luntang-lantung mencari rokok ke pejalan kaki di kaki lima. Tapi lima hari? Bagaimana ini tetap bisa terjadi?

Saya berulang kali membaca keterangan kematiannya. A meninggal dalam tidurnya pada tanggal bla bla bla. Ini sudah kelewat lima hari. Pasti ada sesuatu yang salah. Tuhan juga mengelak bahwa Dia telah melakukan kesalahan. Tak ada kesalahan di dalam keterangan yang sudah dibikin-Nya itu. Lantas kepada siapa lagi saya mengadu tentang perkara ini? Maka sungguh ini adalah tugas terberat dan paling mempertaruhkan eksistensi saya sebagai sang gagak.

Saya terus mengawasi dia. Tapi, selama lima hari ini, saya menjadi bosan sekali. Dia itu tak pernah tidur. Lantas bagaimana saya akan mencabut nyawanya?

Tuhan, tolonglah saya. Setelah saya mengucapkan itu, kau pasti tahu apa yang terjadi. Saya mendapat telepon dari langit. Tuhan lagi-lagi mengomeli saya. Dan kali ini suasananya jadi tambah pusing, mungkin karena matahari yang dibuat-Nya terbakar cukup panas di tanah ini.

"Memalukan! Aku tak mau tahu, lakukanlah tugasmu!" Itu kata terakhir bos sebelum Ia menutup teleponnya. Saya menjadi semakin gila, terlebih melihat senyum menyebalkan pria itu. Sungguh manusia tidak pernah tahu kapan mereka akan mati, dia bisa berbahagia hari ini dan besok mati. Atau mereka boleh bersedih-sedih hari ini dan hidup untuk 1000 tahun lamanya.

Saya sudah kehilangan akal. Saya hampir menyerah. Sampai suatu saat saya melihat seorang anak muda penjual tisu. Sedang berteduh di bawah pohon. Topi yang dipakai sebelumnya kini dijadikan kipas untuk mendinginkan mukanya yang basah oleh keringat. Dia berdoa. Bukan untuk sebuah mobil super atau rumah yang mewah, melainkan hanya untuk sepiring makan siang. Itu saja doanya. Tak ada lain. Saya jadi kaget. Dia pikir bos saya ini pelit dan semiskin itu kah?

Maka saya hampiri dia. Dengan mukjizat bos, saya berubah menjadi pria tua dengan segepok uang. Maka uang itu saya berikan begitu saja untuknya, tanpa berkata apa-apa. Saya hanya ingin dia tahu, bahwa bos saya kaya sekali. Hanya saja Dia pemalas.

Nah, di detik itulah saya jadi ada ide. Saya harus melakukan sesuatu agar manusia bajingan itu dapat tidur dan saya dapat pulang sebelum tahun baru yang kan tiba sebentar lagi. Maka saya terus membuntuti dia.

Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Kami berdua berjalan di rel kereta menuju barat. Matahari yang sebelumnya panas sekali itu membuat saya jatuh cinta. Saya jarang ke negeri ini, seringnya saya ditugaskan di eropa. Ternyata mataharinya tak kalah jauh berbeda, hanya lebih panas.

Tapi saya heran, kata bos, negeri ini sangat kaya sekali. Apanya yang kaya? Bos kita itu senang sekali bercanda, dan memang bahasa-Nya suka membingungkan. Saya susah sekali memahami Dia itu. Contohnya saja apa yang diperintahkan kepada saya, katanya pria yang berjalan di hadapan saya ini akan tidur lima hari yang lalu dan kemudian mati. Malah sampai hari ini, dia dapat berjalan tertawa-tawa di rel kereta bersama maut yang ingin mencabut nyawanya. Lucu sekali.

Maka saya akhirnya memberanikan diri untuk berbincang dengannya. Saya menepuk pundaknya (maklum, saya tidak terlalu pandai berbasa-basi kepada manusia). Dia terkejut sekaligus tertawa.

"Wah, anda datang darimana?"

Saya menjawab, itu bukan suatu hal yang penting. Saya lihat, saudara belum makan seharian ini, apa tidak lapar?

"Wah, anda memang sesuatu yang mengagumkan. Apakah anda memperhatikan saya sepanjang hari ini?"

Saya hanya mengangguk. Kemudian dia menuduh saya adalah seorang intel, dan dia menjelaskan bahwa tak ada hal yang salah dalam perbuatannya, selain tak punya rumah. Apakah itu kesalahan? Saya sendiri bingung mengapa dia mengatakan itu. Saya menyangkal kata-katanya, kemudian barulah dia memuji saya dan berkata bahwa saya mungkin adalah seorang malaikat yang hendak menolongnya.

Ah, andai saja dia tahu berapa banyak nyawa yang ada dalam genggaman tangan saya ini. Malah dia menepuk-nepuk bahu saya bagai seorang sahabat karib. Kemudian dia mengeluh bahu saya panas sekali dan keras. Saya hanya terkekeh. Kemudian saya bilang, mungkin saudara butuh makan, mari saya antar ke warung terdekat.

Responnya cukup membuat saya kaget. Dia menolaknya. Tidak apa-apa, katanya, saya tak lagi punya hasrat untuk hidup berlama-lama. Saya hanya ingin mati dalam damai.

Dari situlah saya tertawa. Terbahak sekali sampai saya tak sengaja sedikit membuka topeng saya, dan dia sedikit kaget. Saya meminta maaf, dan berkata, demikianlah saya kalau tertawa. Lalu kami berdua berdiri dengan canggung. Sangat canggung sampai saya sendiri tak sengaja berkata bahwa mataharinya cukup indah, padahal malam sudah jatuh dan tak ada bintang dan bulan karena berawan, apalagi matahari.

Karena kecanggungan ini sungguh menyebalkan, maka saya langsung berterus terang kepadanya. Dan mengatakan bahwa saya ini sebenarnya adalah sang gagak, bila saudara ingin mati, maka hal yang saudara butuhkan adalah tidur.

Langsung dia tertawa mendengar perkataan saya, kemudian tawa itu langsung terbungkam saat saya bisa mengeluarkan burung gagak dari tangan saya. Dia langsung tercengang.

"Hanya tidur," kata saya. Dia cukup lama terdiam di sana, akhirnya kami pindah ke jalan besar karena suara kereta malam sebentar lagi akan melintas.

"Tidur, ya?" Tanyanya, "itulah masalahnya."

Benar, itulah masalahnya.

"Tubuh saya susah sekali untuk tertidur. Barang semenit pun tak dapat. Saya tak tahu persoalannya kenapa. Tapi, setiap kali saya hampir jatuh tertidur, setiap kali itu pula saya tersentak dan sanggup terjaga sampai pagi."

Ah, memang rumit sekali masalah dia. Dan kami lanjut berjalan.

Lantas tanpa aba-aba dari burung hantu, malam sudah sangat mendengkur di antara kesunyian di pukul dua belas. Kehidupan sudah berjalan kembali dengan damai sebagaimana harusnya. Tanpa hiru-pikuk dan tanpa perang sumpah serapah dan perlombaan lari yang melelahkan. Angin kutub utara bertiup halus menyenandungkan lagu perdamaian. Seluruh manusia sehat jiwa sudah terlelap masing-masing di rumahnya. Kini hanya saya dan dia, manusia sakit itu.

Kami sedang duduk di halte bus yang kosong, tempat dia setiap malam menghabiskan lelah matanya dengan menatap atap dan lampu-lampu jalan. Sebelum sampai di sini, tubuhnya terus-terusan bergemetar. Dan saya tak sempat bertanya. Setelah itu dia menepuk kepala saya, setelah saya menanyakannya. Hampir saya naik pitam, untung dia meminta maaf dan mengatakan bahwa refleknya berkata demikian apabila dia mendengar satu pertanyaan bodoh.

"Tentu saya gemetar. Kedatangan seseorang, yang ditakuti semua orang. Seorang pembunuh."

Lagi-lagi emosi saya hampir terpancing. Untungnya, setelah itu dia menatap saya dengan tatapan yang dalam sembari berkata, "juga yang menghantarkan kami kepada kedamaian." Saya merasa lega mendengarnya. Akhirnya ada seseorang yang menghargai kerja saya.

Setelah itu dia berbagi cerita tentang masa mudanya. Dia sudah banyak berbuat dosa. Sudah berapa banyak goa wanita yang dijelajahinya, juga alkohol serta obat-obatan yang membuatnya kehilangan kendali dan merugikan orang. Dia mengungkapkan seluruh dosa-dosanya kepada saya.

"Dan barangkali di suatu tempat, saya memiliki anak."

Saya hanya diam saja dan berharap-harap dia mengantuk dan tertidur. Tapi, matanya itu tajam sekali. Seakan tak ada sesuatu yang mengatakan bahwa ia akan terebah sebentar lagi. Lalu tiba-tiba, dia bertanya kepada saya, "bagaimana dengan anda?"

Saya heran, ada apa dengan saya. Lantas dia bikang bahwa dia sudah menceritakan tentang hidupnya, lalu bagaimana dengan kehiduoan saya. Di situ saya agak terkaget. Beginikah manusia berhubungan? Sebegitu pentingnya kah mereka untuk mengetahui tentang satu sama lain? Saya dan saya yang lain tak pernah tahu satu sama lain. Kami hanya melakukan tugas kami dan berharap dapat pulang ke rumah dan beribadah. Hanya itu. Maka saya benar-benar tak bisa menjawab pertanyaannya. Selain cerita tentang pembunuhan-pembunuhan yang lain.

Kemudian tiba-tiba dia mengelus punggung saya, "saya yakin, itu hal yang sangat berat bagi anda." Saya tak mengerti ucapannya itu. Bagi saya, ini hanyalah tugas dan tak ada hal yang menyakitkan di dalam sana. Saya tak membunuh dengan ragu, apabila sudah sesuai dengan keterangan, maka habislah sudah. Tapi, manusia ini ternyata berbeda. Mereka seakan dapat merasa sesuatu yang menyakitkan, padahal itu sama sekali tak menyakitkan. Tapi, sentuhan yang diberikan olehnya itu benar-benar membuat saya jadi nyaman. Sedemikian kesepiannya kah saya ini? Beginikah yang dimaksud dengan kebersamaan? Saya tak pernah merasakannya. Apakah ini yang dinamakan kisah kasih?

Kemudian setelah dia melepaskan tangannya dari punggung saya, dia merebahkan kepalanya di paha saya. Dia tersenyum melihat langit-langit halte bis yang sudah kotor, kemudian matanya menatap saya. Dan tersenyum. Saya tak tahu apa maksudnya, lantas dia mengambil tangan saya dan meletakkan di kepalanya. Dia mengajarkan saya cara mengelus. Maka saya melakukannya. Ada sesuatu di dalam saya yang bergetar dan terasa begitu hangat. Inikah namanya kasih sayang? Saya terharu.

Laki-laki itu kini sudah memejamkan matanya. Jauh di dalam, saya berharap dia tak melakukan itu. Tapi, saya tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan dia melakukannya untuk tugas saya yang sebentar lagi akan usai terlaksana. Titik-titik embun jatuh keluar dari mata saya dan rasanya hangat. Saya heran. Tapi, ini begitu menyenangkan rasanya. Dan saat sesuatu bagai suara lonceng terdengar di dalam kepala saya, maka inilah saatnya. Air di mata ini jatuh terburai seperti mata air di dalam tanah yang menyembur keluar sedikit demi sedikit dan menjadi genanangan becek. Saya tak tahu perasaan apa ini, tapi tangan ini sungguh berat untuk melaksanakannya. Maka saya menarik nyawanya dengan sangat halus dan hati-hati. Sebuah kehati-hatian dari seorang ibu yang menggendong anaknya yang sedang tertidur. Saya hantarkan nyawanya serupa angin yang meniup bulu dendalion kepada Tuhan.

Saat saya sudah melaksanakannya. Air mata ini tak berhenti jatuh. Terus keluar dan saya tak tahu bagaimana cara menghentikannya. Sebelum saya meninggalkannya di halte itu, saya mengangkat kepalanya dengan sangat pelan dari paha saya, dan meletakkannya di bangku dengan keberhati-hatian yang memabukkan. Saya cukup lama menyaksikan tubuhnya terbaring di sana, yang tidak mendengkur lagi bersama malam.

Ada sesuatu di dalam dada saya yang terasa sangat menyesakkan. Inikah yang dinamakan pembunuhan?

Apakah saya harus pensiun?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun