Nah, di detik itulah saya jadi ada ide. Saya harus melakukan sesuatu agar manusia bajingan itu dapat tidur dan saya dapat pulang sebelum tahun baru yang kan tiba sebentar lagi. Maka saya terus membuntuti dia.
Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Kami berdua berjalan di rel kereta menuju barat. Matahari yang sebelumnya panas sekali itu membuat saya jatuh cinta. Saya jarang ke negeri ini, seringnya saya ditugaskan di eropa. Ternyata mataharinya tak kalah jauh berbeda, hanya lebih panas.
Tapi saya heran, kata bos, negeri ini sangat kaya sekali. Apanya yang kaya? Bos kita itu senang sekali bercanda, dan memang bahasa-Nya suka membingungkan. Saya susah sekali memahami Dia itu. Contohnya saja apa yang diperintahkan kepada saya, katanya pria yang berjalan di hadapan saya ini akan tidur lima hari yang lalu dan kemudian mati. Malah sampai hari ini, dia dapat berjalan tertawa-tawa di rel kereta bersama maut yang ingin mencabut nyawanya. Lucu sekali.
Maka saya akhirnya memberanikan diri untuk berbincang dengannya. Saya menepuk pundaknya (maklum, saya tidak terlalu pandai berbasa-basi kepada manusia). Dia terkejut sekaligus tertawa.
"Wah, anda datang darimana?"
Saya menjawab, itu bukan suatu hal yang penting. Saya lihat, saudara belum makan seharian ini, apa tidak lapar?
"Wah, anda memang sesuatu yang mengagumkan. Apakah anda memperhatikan saya sepanjang hari ini?"
Saya hanya mengangguk. Kemudian dia menuduh saya adalah seorang intel, dan dia menjelaskan bahwa tak ada hal yang salah dalam perbuatannya, selain tak punya rumah. Apakah itu kesalahan? Saya sendiri bingung mengapa dia mengatakan itu. Saya menyangkal kata-katanya, kemudian barulah dia memuji saya dan berkata bahwa saya mungkin adalah seorang malaikat yang hendak menolongnya.
Ah, andai saja dia tahu berapa banyak nyawa yang ada dalam genggaman tangan saya ini. Malah dia menepuk-nepuk bahu saya bagai seorang sahabat karib. Kemudian dia mengeluh bahu saya panas sekali dan keras. Saya hanya terkekeh. Kemudian saya bilang, mungkin saudara butuh makan, mari saya antar ke warung terdekat.
Responnya cukup membuat saya kaget. Dia menolaknya. Tidak apa-apa, katanya, saya tak lagi punya hasrat untuk hidup berlama-lama. Saya hanya ingin mati dalam damai.
Dari situlah saya tertawa. Terbahak sekali sampai saya tak sengaja sedikit membuka topeng saya, dan dia sedikit kaget. Saya meminta maaf, dan berkata, demikianlah saya kalau tertawa. Lalu kami berdua berdiri dengan canggung. Sangat canggung sampai saya sendiri tak sengaja berkata bahwa mataharinya cukup indah, padahal malam sudah jatuh dan tak ada bintang dan bulan karena berawan, apalagi matahari.