Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Gagak

20 Desember 2022   05:27 Diperbarui: 20 Desember 2022   06:23 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena kecanggungan ini sungguh menyebalkan, maka saya langsung berterus terang kepadanya. Dan mengatakan bahwa saya ini sebenarnya adalah sang gagak, bila saudara ingin mati, maka hal yang saudara butuhkan adalah tidur.

Langsung dia tertawa mendengar perkataan saya, kemudian tawa itu langsung terbungkam saat saya bisa mengeluarkan burung gagak dari tangan saya. Dia langsung tercengang.

"Hanya tidur," kata saya. Dia cukup lama terdiam di sana, akhirnya kami pindah ke jalan besar karena suara kereta malam sebentar lagi akan melintas.

"Tidur, ya?" Tanyanya, "itulah masalahnya."

Benar, itulah masalahnya.

"Tubuh saya susah sekali untuk tertidur. Barang semenit pun tak dapat. Saya tak tahu persoalannya kenapa. Tapi, setiap kali saya hampir jatuh tertidur, setiap kali itu pula saya tersentak dan sanggup terjaga sampai pagi."

Ah, memang rumit sekali masalah dia. Dan kami lanjut berjalan.

Lantas tanpa aba-aba dari burung hantu, malam sudah sangat mendengkur di antara kesunyian di pukul dua belas. Kehidupan sudah berjalan kembali dengan damai sebagaimana harusnya. Tanpa hiru-pikuk dan tanpa perang sumpah serapah dan perlombaan lari yang melelahkan. Angin kutub utara bertiup halus menyenandungkan lagu perdamaian. Seluruh manusia sehat jiwa sudah terlelap masing-masing di rumahnya. Kini hanya saya dan dia, manusia sakit itu.

Kami sedang duduk di halte bus yang kosong, tempat dia setiap malam menghabiskan lelah matanya dengan menatap atap dan lampu-lampu jalan. Sebelum sampai di sini, tubuhnya terus-terusan bergemetar. Dan saya tak sempat bertanya. Setelah itu dia menepuk kepala saya, setelah saya menanyakannya. Hampir saya naik pitam, untung dia meminta maaf dan mengatakan bahwa refleknya berkata demikian apabila dia mendengar satu pertanyaan bodoh.

"Tentu saya gemetar. Kedatangan seseorang, yang ditakuti semua orang. Seorang pembunuh."

Lagi-lagi emosi saya hampir terpancing. Untungnya, setelah itu dia menatap saya dengan tatapan yang dalam sembari berkata, "juga yang menghantarkan kami kepada kedamaian." Saya merasa lega mendengarnya. Akhirnya ada seseorang yang menghargai kerja saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun