Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Syukur Pada yang Tak Kupahami

18 September 2025   23:26 Diperbarui: 18 September 2025   23:26 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tepian yang tak bernama, kaulah angin yang menaruh peta
peta tanpa garis, hanya lipatan-lipatan rasa.
Aku membaca bekasnya seperti orang yang mengira hujan;
tak pernah tepat, tapi selalu basah sampai ke tulang.

Kau menyerahkan sebuah batu kecil yang berbisik,
batu yang menolak jadi meja, menolak jadi kalung;
di telapak tanganku ia menumbuhkan bayang-bayang panjang,
seolah menanamkan musim yang tak pernah lewat.

Ada kunci tanpa lubang yang kauberikan kepadaku,
terbuat dari bunyi yang tak kuucap, dari kata yang tak kupunya.
Saat kugenggam, pintu yang kupandangi menutup sendiri,
lalu sebuah lorong tanpa nama mula-mula menyala pelan.

Kau memberiku malam yang tak mau kembali pagi,
malam yang menyulam rahasia ke garis-garis wajahku,
dan aku belajar membaca jarak-jarak di antara detak,
menemukan rumah pada hal-hal yang biasa kehilangan.

HadiahMu bukan untuk dimengerti, itu laguku yang patah,
itu cermin yang menolak meniru; namun ketika kuterima,
dada ini mengerti bagaimana caranya menampung hilang,
mengerti caranya menumbuhkan syukur dari sisa-ruang.

Di antara kata-kata yang kau titipkan seperti biji-biji,
ada satu yang membuka mulutnya menjadi pohon:
akan tumbuh daun yang tak tahu nama daun,
akan gugur rintik yang tak perlu disebut hujan.

Ajari aku, bila belum sempat, cara memeluk hal yang tak masuk akal,
ajari aku menyayang hal yang tidak bisa kubawa pulang,
supaya setiap pagi aku tidak lagi bertanya pada benda-benda,
tetapi menyapa mereka, mengangguk, lalu menaruh bibir pada keheningan.

Kau memberi anugerah dalam wujud yang tak terduga:
sebuah meja yang menua menjadi pelabuhan, sebuah luka yang jadi pelita.
Di situ aku menemukan, bukan jawaban, bukan alasan,
melainkan sebuah cara untuk tetap percaya pada hal-hal yang tak kumengerti.

Jadi biarkan aku tetap memeluk batu, kunci, malam, dan peta:
biarkan aku menanam syukur pada tanah yang tidak bernama.
Karena di dalam kegelapan yang kau titipkan pelan,
ada sebuah pagi yang berharap:
bahwa semua yang tak kumengerti adalah caramu merawatku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun