Lisa menggenggam tangan Amira. "Tapi hidup nggak berhenti di sini, Mir. Kamu masih punya mimpi, dan kamu masih bisa bahagia. Mungkin bukan dengan Dhika, tapi dengan seseorang yang benar-benar memilihmu tanpa beban masa lalu."
Amira tersenyum pahit. "Aku tahu, Lis. Tapi rasanya seperti kehilangan separuh jiwaku."
***
Senja temaram itu, Amira pulang dengan hati masih remuk. Di kamarnya, ia menyalakan lilin kecil dan membuka jurnal lama. Ia mulai menulis, bukan untuk Dhika, melainkan untuk dirinya sendiri. Tulisan itu bukan lagi tentang cinta yang hilang, melainkan tentang harapan yang perlahan ingin ia bangun kembali.
Beberapa hari kemudian ...
Amira memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Dhika: sebuah bukit kecil di pinggiran kota, tempat mereka biasa menatap bintang sambil berbagi cerita. Kali ini, ia datang sendiri. Ia membawa secarik kertas dan membacakan surat yang ia tulis semalam.
"Dhika, terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku. Aku tidak akan menghapusmu dari ingatan, tapi aku juga tidak akan membiarkan bayanganmu menghalangi langkahku. Aku akan belajar mencintai diriku sendiri, dan suatu hari nanti, aku akan mencintai orang lain tanpa bayang-bayangmu. Semoga kamu bahagia, dan semoga aku juga bisa menemukan bahagiaku sendiri."
Di tempat sarat kenangan itu, Amira menutup jurnalnya. Ia menatap langit yang mulai berwarna ungu keemasan. Di kejauhan, suara gamelan dari desa terdengar samar, seolah mengiringi langkah baru yang mulai dititinya. Ia tahu, cinta tak selalu harus dimiliki. Kadang, cinta cukup dikenang, seperti gending yang mengalun lalu menghilang dalam angin.
Secara  perlahan, senja pun kembali berganti temaram malam. Angin malam berembus pelan, seolah mengamini doa yang terucap dari hati Amira. Ia menatap langit, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih ringan.
"Gending asmorondono yang dulu mengiringi langkahmu di pelaminan, kini hanya gema sunyi di benakku. Tapi senja tetap datang, seperti janji alam bahwa segala luka akan mereda. Bagiku, janur kuning itu bukan hanya lambang pernikahan, melainnkan pertanda bahwa jalan hidup seseorang telah dipilihkan. Mungkin bukan jalan yang aku tempuh bersamamu, tapi jalan yang harus aku terima dengan ikhlas. Semoga lukaku pun cepat dipulihkan, amin."
"Kidung cintaku padamu, kini berubah menjadi doa. Doa agar kita berdua menemukan damai, meski bukan dalam pelukan yang sama," senandikanya menantikan sebutir bintang atau bahkan purnama yang mampu menyinari langkah selanjutnya.