Amira berusaha meronta melepas pelukan, tapi tangan kokoh lelaki itu mendekapnya erat hingga ia tak bisa melepas. Hanya tatapan mata yang bisa berbicara dengan banyak pertanyaan yang membuncah di dada.
"Nayla adalah putri sahabat ayahku. Sejak  kecelakaan tragis yang menewaskan tunangannya  empat tahun lalu, dia berubah drastis. Tunangannya tewas di depan mata. Walau ia sendiri bisa selamat, hal itu membuatnya trauma berat. Selalu murung seperti tanpa harapan."
"Jadi, sekarang kamu yang menyelamatkan hidupnya?" tanya Mira penuh kecemburuan.
"Bukan begitu Mira ... ini adalah keadaan yang aku sendiri tak bisa menghindarinya."
"Lalu kenapa kau mencintaiku selama ini?" air mata Mira makin tak terbendung lagi.
"Berpaling pun aku tak mampu hilangkan cintaku ini padamu Mira," Dhika mulai meluruhkan  amarahku.
"Di sisi yang lain, aku harus memberikan balas kebaikan. Kami berutang budi pada keluarga Nayla, sebelum aku mengenalmu, Mir! Mereka  telah menyelamatkan perekonomian keluarga kami dari tekanan utang-piutang. Termasuk  biaya kuliahku. Bahkan, berkat kebaikannya itu membuat usaha furniture keluargaku bangkit sampai sekarang."
"Melihat Nayla bisa bangkit lagi adalah kebahagiaan tak terkira bagi keluarganya. Dia  sangat bergantung padaku, Mira. Dia  sangat rapuh," jelas Dhika dengan mata  berkaca-kaca.
"Selama ini keluarga Nayla telah memercayakan seluruh usahanya untuk aku kelola. Â Aku tak bisa menolaknya."
"Cukup Dhika ... cukup! Pulanglah ... siapkan pernikahanmu," Amira sudah tak mampu berkata-kata lagi. Perih menyesakkan jiwa.
"Mira ... maafkan keadaan ini. Begitu  picik diriku membiarkan dirimu tanpa kepastian. Bencilah  diriku, Mira," peluk Dhika untuk yang terakhir kalinya.