Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Peringatan Sang Penunggu

11 November 2021   13:50 Diperbarui: 11 November 2021   14:02 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://beritabaik.id/

Cuaca siang ini sangat cerah. Aku bergegas ke ruang sanggar. Pak Nana sudah menunggu di sana bersama para pengurus ambalan. Kami akan mendiskusikan pelaksanaan pelantikan penegak di ambalan kami.

"Maaf saya tadi dipanggil bu Iroh dulu," ujarku saat tiba di ruang sanggar. Di sana sudah ada Andi, Jamal, Ria, Iwan, Mashudi, Yana, Ina, Bunga, Lisna dan pak Nana.

"Iya, tidak apa-apa, Tia. Kita mulai saja ya pertemuan kita hari ini. Pak Nana mengawali pembicaraan. "Kalian yang dipanggil hari ini akan ditugaskan untuk melakukan survei lapangan dan menyampaikan surat izin kepada pihak perkebunan."

"Siap, Pak! Kapan kami harus berangkat?" tanyaku sambil memandang pak Nana.

"Besok pagi. Jamal yang akan mengemudikan mobil. Kalian yang akan membantu Tia menyiapkan segala perizinan dan lokasi perkemahannya." Pak Nana memandang kepada teman-temanku yang lain.

Serentak mereka berkata," Siap, Pak!". Aku tersenyum melihat kelakuan mereka

"Tia, ini surat izin yang harus diberikan kepada pegawai PTP Perkebunan ya. Terus langsung minta surat persetujuan mereka agar tidak bolak-balik ke sana," ungkap pak Nana sambil memberikan sepucuk surat berkop sekolah.," Ini dana untuk surveinya. Atur ya sesuai kebutuhan."

Kemudian pak Nana keluar dari sanggar. Aku mengondisikan teman-teman yang akan berangkat besok.

Keesokan harinya pukul 6, kami sudah berkumpul di sekolah. Jarak sekolah ke tempat survei lumayan jauh, membutuhkan waktu dua jam perjalanan. Kami dinasehati oleh pak Nana dan bapak kepala sekolah agar berhati-hati.

Sepanjang perjalanan kami bersenda gurau. Aku duduk di bangku tengah bersama Ina dan Bunga. Iwan, Yana dan Mashudi duduk di bangku belakang sedangkan Ria menemani Jamal yang mengemudikan mobil Zebra.

Ria dan Jamal memang berpacaran sejak kelas satu. Mereka sering bepergian bersama. Kali ini Jamal diberi tanggung jawab untuk menemani survei karena dia yang memiliki kendaraan dan bisa mengemudikannya di antara panitia yang ada.

"Mal, hati-hati ya. Jangan pacaran melulu," ujarku mengingatkan mereka.

"Siap, Bos!" timpal Jamal diiringi suara tawa Ria.

"Tenang, Tia. Kami akan menjaga mereka kok,' ujar Ina sambil menepuk bahuku.

Pukul 8 kami sudah tiba di lokasi perkebunan. Aku dan Andi menuju ruang kantor staf perkebunan. Kami berniat untuk menjumpai Kepala Bagian Humas di kantor tersebut.

Pak Ardian menerima kami dengan ramah. Dia senang jika ada para pelajar yang akan menggunakan perkebunan pinus sebagai lokasi perkemahan.

"Bapak senang kalian mau berkemahdi sini. Artinya kalian akan belajar mencintai lingkungan alam. Hanya Bapak mengingatkan agar kalian tidak merusak hutan ini dengan mencoret=coret pepohonan di sini." Pak Ardian membekali kami dengan berbagai wejangan tentang aturan berkemah di sini.

"Siap, Pak. Kami akan menyampaikan apa yang disampaikan kepada pembina. Kami akan membuat aturan bagi para peserta sesuai dengan apa yang Bapak sampaikan," ujar Andi saat mengakhiri pembicaraan dengan pak Ardian.

jurit malam.

"Kami tidak mau ikut ah. Kami menunggu di sini saja ya Tia," ujar Jamal diikuti oleh Ria, Bunga, dan Ina.

"Siapa yang mau ikut, nih?" ujarku memandang teman-teman yang lain. Aku melihat Andi, iwan dan Mashudi mengangkat tangannya.

"Masa aku tega membiarkan kamu bekerja sendiri, Tia," ucap Andi sambil memberi kode kepadateman-temannya.

"Ayolah! Kita berangkat. Mumpung belum terlalu siang," ajak Iwan dengan semangat.

"Okelah, kita berempat saja yang mencari jalur. Kalian tunggu di sini dan jangan berbuat aneh-aneh ya. Ina jaga tuh dua sejoli agar tidak mojok." Aku berkata sambil menunjuk ke arah Ria dan Jamal yang sedang ngobrol di bawah pohon.

"Iya, Bu Guru," olok Ina dan Bunga sambil tertawa.

"Jamal, Ria jaga sikap kalian, ya," teriakku dari kejauhan. Jamal melambaikan tangannya ke arahku.

Akhirnya aku, Iwan, Andi dan Mashudi berjalan. Dengan berbekal kompas kami mencoba mencari rute yang tidak terlalu jauh.

Kami berempat berjalan melalui hutan pinus. Di perkebunan ini memang tidak ada rumah-rumah penduduk sehingga kami harus hati-hati untuk membuat rute agar tingkat keamanan para peserta terjamin.

Memang ada beberapa bedeng yang ada untuk mess para pekerja, itu pun banyak yang kosong.

Tanpa terasakami tiba di sebuah kawasan hutan yang dipenuhi dengan pohon perdu. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesuatu yang melata tepat di depanku. Ular yang berwarna sangat hitam sebesar bahuku dan panjangnya kurang lebih satu setengah meter.

"Stop! Berhenti teman-teman!" ucapku setengah berbisik sambil menutup mulutku dengan ujung jari.

"Ada apa?" tanya Mashudi ikut berbisik di belakangku. Kami semua berhenti berjalan. Aku menunjuk ke arah ular yang sedang melata.

Untunglah kami sudah terlatih untuk menghadapi gangguan ular saat mengikuti kegiatan saka Bhayangkara. Kami membiarkan ular itu, namun tiba-tiba ular itu menghilang.

"Hai, kemana perginya ular itu? Tanya Iwan sambil mengedarkan pandangannya ke arah ular," Masa cepat sekali ular itu menghilang."

Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Seperti ada sesuatu yang dingin menyentuh badanku. Aku berkomat-kamit membaca doa-doa pengusir makhluk halus.

"Kenapa, Tia?" tanya Andi heran saat melihat mulutku komat-kamit.

"Perasaanku tidak enak, Ndi. Ada apa ya?" tanyaku sambil memegang leherku.

"Ah itu hanya perasaanmu saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan," ajak Andi sambil mendorong tubuhku.

Satu setengah jam kami menyusuri hutan pinus untuk membuat jalur. Kemudian kami tiba di sebuah perkampungan dekat kantor perkebunan. Ada sebuah warung yang dapat kami kunjungi sekadar melepas lelah. Di sebelahnya ada mushola kecil yang dapat kami pakai untuk shalat. Setelah shalat kami duduk-duduk di warung sambil menikmati gorengan dan the manis hangat. Mashudi dan Iwan memesan kopi susu.

"Neng ini dari kota, ya?" tanya pemilik warung. Aku hanya mengangguk karena mulutku penuh dengan gorengan bala-bala hangat dan sebuah cabai rawit.

"Iya, Bu. Sekolah kami berencana akan berkemah di tempat ini minggu depan," jawab Iwan mewakili aku.

"Hati-hati, ya. Kalian harus menjaga perilaku dan ucapan. Di hutan ini tidak boleh melakukan sesuatu yang jelek dan berkata-kata sembarangan," nasehat ibu warung.

"Terima kasih, Bu atas nasehatnya." Kemudian aku membayar makanan dan minuman kami dan mengajak teman-temanku untuk kembali ke mobil.

"Hai, Tia. Lihat apa yang aku bawa!" teriak Jamal dari kejauhan.

Aku melihat ada beberapa tangkai bunga anggrek liar yang sangat indah di tangan Ria.

"Dapat dari mana bunga itu?" Aku mulai khawatir. Perasaan tidak enak di hatiku muncul lagi.

"Kami tadi ke hutan sebelah utara. Di sana banyak anggrek liar yang indah-indah. Aku meminta Jamal untuk memetiknya," ujar Ria sambil tersenyum," Indah kan bunganya."

"Aku kan sudah bilang kalian harus menjaga sikap. Bunga itu memang sengaja dibiarkan tumbuh, eh...kalian malah merusaknya," gerutuku sambil memandang mereka.

"Aku sudah mengingatkan mereka, Tia. Tapi Ria susah diatur," lapor Ina.

"Kamu ini kok marah-marah, Tia. Lagi pula aku hanya mengambil beberapa tangkai saja. Di hutan sana masih banyak, kok,' elak Ria.

"Terserah kalian sajalah. Semoga tidak akan dimarahi oleh para karyawan perkebunan," ujarku sambil terus berdoa. Perasaan tidak nyaman kembali muncul dalam hatiku.

Ada apa ini? Kok perasaan itu bertambah kuat muncul di hatiku.

"Andi, kok perasaan tdak enak itu datang lagi. Aku mersakan dingin di buku kudukku," ujarku pada Andi sambil berbisik.

"Sudahlah Tia. Semoga tidak ada apa-apa. Kita berdoa saja." Andi berbicara pelan," Ayo kita pulang sekarang. Nanti kita pulang kemalaman.

Aku mengajak teman-temanku untuk pulang sambil terus berdoa dalam hati. Setelah berpamitan pada para karyawan perkebunan kami pulang.

Jamal mengendarai mobil dengan kecepatan hanya 30km/jam saja. Dia tidak mau mengganggu pengguna jalan lain karena jalan yang kami lalui memang tidak terlalu lebar.

Entah kenapa tiba-tiba mobil oleng ke kiri. Ria berteriak keras.

"Ada apa Jamal?" tanyaku keras sambil berpegangan ke kursi.

"Entah, Tia. Aku tba-tiba tidak bisa mengendalikan setirku," ujar Jamal sambil terus mengendalikan setirnya ke arah kanan. Aku merasakan arah jalan mobil ini selalu oleng ke sebelah kiri.

"Hati-hati, Mal. Hentikan saja dulu mobilnya," ujar Andi dari bangku belakang.

"Mobil tidak bisa di rem! Awas!" teriak Jamal sambil menginjak rem, "Pegangan!"

Kemudian mobil oleng ke kiri dan jatuh ke dalam parit. Bagian kiri menimpa bebatuan parit dan kacanya berhamburan. Tubuh kami basah semua.

"Laillaha illallah!" Aku berteriak menyebut nama Allah. Teman-temanku saling bertindihan. Aku sendiri yang berada di sebelah kiri tertimpa tubuh Ina dan Bunga.

Beberapa penduduk yang berada tak jauh dari lokasi membantu kami. Kami keluar pelan-pelan dari depan mobil yang kacanya pecah berserakan. Ina, Ria, Bunga tampak menangis. Sedangkan Jamal dan yang lainnya berusaha membersihkan tubuh mereka dari pecahan kaca.

"Kalian tidak apa-apa?" tanyaku kepada teman-teman. Tubuhku masih gemetar dan shock dengan kejadian yang tiba-tiba itu.

"Subhanallah, Engkau Maha Penyayang ya Allah," lirihku saat melihat teman-temanku tak ada yang terluka. Hanya Ria yang tergores sedikit di bagian tangan terkena pecahan kaca.

Ini sebuah keajaiban yang Allah tunjukkan kepada kami. Secara logika, kecelakaan itu pasti akan menimbulkan luka-luka yang cukup serius bagi kami. Namun kehendak Allah SWT berbeda. Kami tetap diselamatkan. Hanya kendaraan kami yang bagian kiri dan depannya rusak dan kacanya pecah.

Kami dievakuasi ke rumah kepala desa. Kami diberi makan dan minuman agar hati kami tenang. Kemudian pak Yana, kepala desa di situ menanyakan hal-hal aneh yang kami rasakan saat di perkebunan.

Aku menceritakan tentang pertemuan kami dengan seekor ular yang sangat hitam namun tidak mengganggu kami. Aku juga menceritakan tentang teman-teman yang mengambil bunga anggrek hutan.

"Di dekat kalian melihat ular ada sebuah makam keramat. Konon makam itu ditunggui oleh seekor ular siluman yang kerap memberitahukan kepada manusia bila akan terjadi sesuatu hal yang buruk," jelas pak Yana," Kalian juga harusnya tidak mengambil bunga-bunga itu."

Aku memandang Ria yang tertunduk dan masih shock. Ini sebuah pembelajaran buat kami agar tidak melakukan hal-hal yang buruk di tempat yang baru. Perasaan tidak enak yang aku rasakan sejak tadi bisa jadi sebuah firasat.

Hanya Allah yang memiliki kehendak atas apa yang teradi di muka bumi ini

Kisah ini diambil dari pengalaman nyata penulis pada tahun 1986, saat masih duduk di bangku SMA

Cibadak, 11 November 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun