"Hai, kemana perginya ular itu? Tanya Iwan sambil mengedarkan pandangannya ke arah ular," Masa cepat sekali ular itu menghilang."
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Seperti ada sesuatu yang dingin menyentuh badanku. Aku berkomat-kamit membaca doa-doa pengusir makhluk halus.
"Kenapa, Tia?" tanya Andi heran saat melihat mulutku komat-kamit.
"Perasaanku tidak enak, Ndi. Ada apa ya?" tanyaku sambil memegang leherku.
"Ah itu hanya perasaanmu saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan," ajak Andi sambil mendorong tubuhku.
Satu setengah jam kami menyusuri hutan pinus untuk membuat jalur. Kemudian kami tiba di sebuah perkampungan dekat kantor perkebunan. Ada sebuah warung yang dapat kami kunjungi sekadar melepas lelah. Di sebelahnya ada mushola kecil yang dapat kami pakai untuk shalat. Setelah shalat kami duduk-duduk di warung sambil menikmati gorengan dan the manis hangat. Mashudi dan Iwan memesan kopi susu.
"Neng ini dari kota, ya?" tanya pemilik warung. Aku hanya mengangguk karena mulutku penuh dengan gorengan bala-bala hangat dan sebuah cabai rawit.
"Iya, Bu. Sekolah kami berencana akan berkemah di tempat ini minggu depan," jawab Iwan mewakili aku.
"Hati-hati, ya. Kalian harus menjaga perilaku dan ucapan. Di hutan ini tidak boleh melakukan sesuatu yang jelek dan berkata-kata sembarangan," nasehat ibu warung.
"Terima kasih, Bu atas nasehatnya." Kemudian aku membayar makanan dan minuman kami dan mengajak teman-temanku untuk kembali ke mobil.
"Hai, Tia. Lihat apa yang aku bawa!" teriak Jamal dari kejauhan.