Insiden pemukulan terhadap dua relawan medis di Solo, Jumat (29/8/2025), adalah bukti nyata bahwa aparat kini bukan lagi berdiri di sisi rakyat, melainkan melawan rakyat. Seolah-olah mereka sedang menjalankan perang, padahal yang dihadapi adalah warga sipil yang sedang menyuarakan aspirasi.
Kronologi peristiwa ini memilukan. Ambulans yang dikemudikan Dika, bersama seorang paramedis bernama Raditya, dihentikan aparat saat hendak mengevakuasi demonstran yang terkena gas air mata di Bundaran Gladak. Alih-alih diberi jalan, mereka justru dipukuli. Raditya mengalami luka di kepala, Dika mengalami memar dan luka lain di tubuh. Keduanya harus dirawat intensif di rumah sakit.
Medis Dijegal, Kemanusiaan Dikhianati
Dalam hukum internasional, aturan perang sekalipun, tenaga medis tidak boleh diganggu apalagi diserang. Ambulans dan tenaga kesehatan adalah simbol universal pertolongan. Namun di negeri ini, simbol itu diinjak-injak.
Pertanyaannya sederhana: kalau medis pun dipukuli, siapa yang akan menyelamatkan korban di lapangan? Jika relawan dijegal, korban bisa sekarat tanpa pertolongan. Situasi ini membuat aksi damai berubah jadi medan pembantaian, karena orang yang mencoba menolong justru ikut jadi korban.
Ini Nyata Bukan Lagi "Oknum", tapi Sistem
Polisi sering berlindung di balik kata "oknum" setiap kali ada kasus kekerasan. Tapi mustahil tindakan brutal seperti ini terjadi tanpa restu dari atasan. Gas air mata tidak ditembakkan sembarangan. Aparat tidak mungkin serentak menutup jalan ambulans jika tidak ada arahan. Artinya, ada pola, ada sistem, ada perintah. Aparat seolah diberi lampu hijau untuk menghadapi rakyat dengan cara paling keras. Rakyat dianggap musuh negara. Padahal, mereka adalah bagian dari negara itu sendiri.
DPR Kabur, Rakyat Ditinggalkan
Yang lebih memuakkan, di saat rakyat dipukul, ditembaki, dan dijegal, para wakil rakyat justru sibuk bepergian ke luar negeri. Mereka absen, bungkam, pura-pura tidak tahu. Padahal merekalah yang seharusnya berdiri paling depan membela kepentingan rakyat.
Ironis. Rakyat menjerit di jalanan, tapi para elit justru bersembunyi di luar negeri dengan dalih kunjungan kerja. Seakan-akan keselamatan rakyat bukan lagi prioritas, sementara keselamatan diri mereka nomor satu.
Negara yang Kehilangan Nurani
Kejadian di Solo ini bukan sekadar "kesalahan prosedur". Ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Negara yang sehat tidak akan pernah memukul tenaga medis. Negara yang waras tidak akan menganggap rakyatnya musuh.
Kini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa aparat yang seharusnya melindungi justru diperintahkan untuk menghantam. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang suara rakyat justru ditutup dengan gas air mata dan pentungan.
Mau Sampai Kapan Seperti ini?
Jika aparat melawan rakyat, jika medis pun jadi korban, jika wakil rakyat kabur, maka jelas kita sedang berada di titik krisis kemanusiaan. Negara tidak hanya gagal melindungi, tapi juga aktif menyakiti.
Pertanyaannya: sampai kapan rakyat harus terus dipukul hanya karena bersuara? Dan sampai kapan kita membiarkan kemanusiaan diinjak-injak oleh mereka yang seharusnya menjaga?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI