Perlawanan tak datang dengan bendera. Ia datang dengan bisik-bisik, tatapan sinis, dan teror yang sembunyi-sembunyi. Suatu malam, Banyu menemukan perahunya hanyut. Tali tambatannya dipotong. Mesin copot. Di dinding rumahnya, coretan merah menyala: "CEPU!"
Namun pagi itu, ia tetap datang ke dermaga. Ia tak melaut, tapi berdiri. Diam, namun kukuh. Seperti karang. Danu datang, napasnya terburu. "Pak, biar kami saja yang patroli. Kami bisa ganti mesin perahu, kami bisa jaga kampung. Jangan sendirian terus."
Banyu menepuk bahu Danu. "Ini bukan tentang aku. Ini tentang kalian. Anak-anak yang akan tinggal di sini nanti. Aku hanya pembuka jalan."
Kelompok mereka mulai mencatat kegiatan ilegal, waktu, lokasi. Mereka belajar cara mengambil dokumentasi, mengenali jenis ikan dilindungi, bahkan pelatihan dari LSM kecil yang datang diam-diam. Tapi mereka tahu, waktunya akan tiba. Waktu di mana pelaku tak hanya mengancam, tapi menyerang.
***
Itu malam bulan mati. Langit seperti tumpahan aspal. Tapi dari balik semak bakau, cahaya-cahaya kecil berkedip di laut.
Tiga perahu. Satu melempar botol-bom ikan. Ledakan merobek malam, membuat air bergetar. Di satu perahu, terlihat Pak Darsi sedang memeriksa hasil tangkapan.
Danu menggenggam kamera dengan tangan gemetar. "Kita harus pergi. Mereka bisa lihat kita."
Banyu mengangguk. "Pergi, sekarang."
Keesokan paginya, video itu diunggah. Judulnya: "Bom ikan, Merusak lingkungan."
Tagar #SelamatkanLautTanjngBiru meledak. Wartawan datang. Dinas turun. Kementerian mengirim tim. Tangkapan mereka jelas. Aktivitas ilegal. Perahu diamankan. Pelaku diperiksa.