Pak Darsi tertawa keras. "Kalau laut bisa bicara, mungkin dia minta kamu pensiun saja. Sudah tua, jangan sok jadi pahlawan."
Usaha Banyu untuk membentuk kelompok masyarakat pengawas sumber daya kelautan dan perikanan dimulai dari kegelisahan yang ia simpan bertahun-tahun. Ia tahu, cemoohan akan datang. Tapi ia tak mengira secepat itu.
Baru dua hari ia menyebar undangan rapat, sudah ramai obrolan di warung kopi Mak Ijah.
"Cepu aparat tuh, hati-hati aja. Jangan-jangan kita dipantau," bisik seorang lelaki kepada kawannya.
"Aku dengar dia pernah kirim surat ke kabupaten, ngelaporin aktivitas kita di Layaran. Dasar pengkhianat!"
Mak Ijah, pemilik warung, hanya bisa menghela napas. Ia tahu siapa Banyu. Ia tahu bagaimana pria itu pernah menyelamatkan anak-anak yang hampir tenggelam saat banjir. Tapi desas-desus lebih cepat daripada kebenaran.
Hari pertemuan pertama tiba. Bale kosong di pinggir pantai itu hanya diisi enam orang: Lestari, guru SD yang prihatin melihat anak-anak menggambar laut tanpa ikan; Danu, pemuda nelayan yang pernah hampir mati tersedak asap bom ikan; Pak Jatmiko, pria setengah buta yang tetap melaut dengan kano kecil; serta tiga pemuda rantau yang pulang karena kota terlalu kejam.
"Laut ini bukan hanya tempat cari makan. Ini rumah," kata Banyu membuka rapat.
"Kita hanya enam orang, Pak," sahut Danu lirih.
"Laut pun mulanya setetes," jawab Banyu tenang. "Tapi lihat, dia bisa menenggelamkan apa pun."
***