Mohon tunggu...
MOH NUR NAWAWI
MOH NUR NAWAWI Mohon Tunggu... Founder Surenesia dan Nawanesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / Hubungi saya di lynk.id/nawawi_Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Banyu Biru

20 Juni 2025   07:48 Diperbarui: 20 Juni 2025   14:34 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilstrasi Banyu biru sosok nelayan tua penjaga laut (sumber: wallpaperflare.com/canva via kompas.com)

Di ujung timur Pulau yang sangat terkenal dan ramai dikunjungi wisatawan, tempat laut bersetubuh dengan langit tanpa batas, berdiri sebuah kampung kecil bernama Tanjung Biru. 

Kampung ini dulu terkenal dengan ikan-ikannya yang banyak dan gemuk-gemuk, karangnya yang warna-warni, dan nelayannya yang tertawa lantang. 

Tetapi itu dulu sebelum bom mulai mengoyak dasar laut, sebelum jaring pukat harimau menyeret habis segalanya, dan sebelum orang-orang lupa bahwa laut bukan tempat untuk ditaklukkan, tapi dijaga.

Di tengah kampung itu tinggal Banyu Biru, nama yang aneh bagi sebagian orang, tapi biasa saja bagi warga Tanjung Biru. Ia salah satu nelayan, kulitnya legam dibakar matahari, rambutnya seperti serat kelapa yang dimakan garam. 

Di kampung, ia dikenal bukan karena kekayaannya, bukan karena ilmunya, tapi karena keras kepalanya. Banyu adalah satu-satunya yang masih melaut dengan jaring tradisional dan satu-satunya yang masih menolak menjual hasil tangkapan ke pengepul yang bermain curang.

Suatu pagi, seperti biasa, ia berdiri di dermaga kayu yang hampir lapuk, menatap laut. Di tangannya ada secarik kertas lusuh berisi coretan-coretan kasar: jadwal pasang surut, titik-titik terumbu yang rusak, dan nama-nama perahu yang ia curigai menggunakan bom.

Di belakangnya, suara tawa terdengar.

"Masih saja main coret-coret, Pak Banyu? Laut bukan buku pelajaran!"

Itu suara Pak Darsi, pemilik empat perahu motor dan orang terkaya di kampung itu hasil dari bisnis ikan yang dicampur cara kotor.

Banyu hanya menoleh sebentar. "Laut bisa baca, Darsi. Ia tahu siapa yang mencintainya, dan siapa yang menusuknya dari belakang."

Pak Darsi tertawa keras. "Kalau laut bisa bicara, mungkin dia minta kamu pensiun saja. Sudah tua, jangan sok jadi pahlawan."

Usaha Banyu untuk membentuk kelompok masyarakat pengawas sumber daya kelautan dan perikanan dimulai dari kegelisahan yang ia simpan bertahun-tahun. Ia tahu, cemoohan akan datang. Tapi ia tak mengira secepat itu.

Baru dua hari ia menyebar undangan rapat, sudah ramai obrolan di warung kopi Mak Ijah.

"Cepu aparat tuh, hati-hati aja. Jangan-jangan kita dipantau," bisik seorang lelaki kepada kawannya.

"Aku dengar dia pernah kirim surat ke kabupaten, ngelaporin aktivitas kita di Layaran. Dasar pengkhianat!"

Mak Ijah, pemilik warung, hanya bisa menghela napas. Ia tahu siapa Banyu. Ia tahu bagaimana pria itu pernah menyelamatkan anak-anak yang hampir tenggelam saat banjir. Tapi desas-desus lebih cepat daripada kebenaran.

Hari pertemuan pertama tiba. Bale kosong di pinggir pantai itu hanya diisi enam orang: Lestari, guru SD yang prihatin melihat anak-anak menggambar laut tanpa ikan; Danu, pemuda nelayan yang pernah hampir mati tersedak asap bom ikan; Pak Jatmiko, pria setengah buta yang tetap melaut dengan kano kecil; serta tiga pemuda rantau yang pulang karena kota terlalu kejam.

"Laut ini bukan hanya tempat cari makan. Ini rumah," kata Banyu membuka rapat.

"Kita hanya enam orang, Pak," sahut Danu lirih.

"Laut pun mulanya setetes," jawab Banyu tenang. "Tapi lihat, dia bisa menenggelamkan apa pun."

***

Perlawanan tak datang dengan bendera. Ia datang dengan bisik-bisik, tatapan sinis, dan teror yang sembunyi-sembunyi. Suatu malam, Banyu menemukan perahunya hanyut. Tali tambatannya dipotong. Mesin copot. Di dinding rumahnya, coretan merah menyala: "CEPU!"

Namun pagi itu, ia tetap datang ke dermaga. Ia tak melaut, tapi berdiri. Diam, namun kukuh. Seperti karang. Danu datang, napasnya terburu. "Pak, biar kami saja yang patroli. Kami bisa ganti mesin perahu, kami bisa jaga kampung. Jangan sendirian terus."

Banyu menepuk bahu Danu. "Ini bukan tentang aku. Ini tentang kalian. Anak-anak yang akan tinggal di sini nanti. Aku hanya pembuka jalan."

Kelompok mereka mulai mencatat kegiatan ilegal, waktu, lokasi. Mereka belajar cara mengambil dokumentasi, mengenali jenis ikan dilindungi, bahkan pelatihan dari LSM kecil yang datang diam-diam. Tapi mereka tahu, waktunya akan tiba. Waktu di mana pelaku tak hanya mengancam, tapi menyerang.

***

Itu malam bulan mati. Langit seperti tumpahan aspal. Tapi dari balik semak bakau, cahaya-cahaya kecil berkedip di laut.

Tiga perahu. Satu melempar botol-bom ikan. Ledakan merobek malam, membuat air bergetar. Di satu perahu, terlihat Pak Darsi sedang memeriksa hasil tangkapan.

Danu menggenggam kamera dengan tangan gemetar. "Kita harus pergi. Mereka bisa lihat kita."

Banyu mengangguk. "Pergi, sekarang."

Keesokan paginya, video itu diunggah. Judulnya: "Bom ikan, Merusak lingkungan."

Tagar #SelamatkanLautTanjngBiru meledak. Wartawan datang. Dinas turun. Kementerian mengirim tim. Tangkapan mereka jelas. Aktivitas ilegal. Perahu diamankan. Pelaku diperiksa.

Pak Darsi menghilang.

***

Dua malam setelah video itu viral, Banyu pulang dari mushola. Jalan setapak gelap, hanya suara jangkrik dan desir angin. Lalu datang tiga orang, mukanya ditutup. Mereka memukul tanpa banyak bicara. Tendangan ke perut, pukulan ke kepala, dan suara besi mengenai tulang.

Pagi ditemukan oleh Lestari dan Danu. Darahnya menempel di kerikil, matanya lebam, tapi senyumnya masih ada.

"Pak... kita harus bawa ke kota," ujar Lestari menangis.

Tapi Banyu, dengan suara pelan, hanya berkata, "Lanjutkan. Jangan berhenti. Laut ini butuh lebih dari satu Banyu."

***

Setahun berlalu. Peraturan desa resmi diterbitkan, larangan menangkap dengan bom ikan, dan mengoptimalkan zona konservasi. Kelompok pengawas kini berjumlah 24 orang. Danu jadi ketuanya. Mereka punya kapal patroli kecil, radio komunikasi, dan pelatihan berkala.

Lestari mengajar anak-anak tentang laut. Mereka menggambar karang warna-warni. Sekali seminggu, mereka diajak snorkling ke zona konservasi melihat laut hidup kembali.

Banyu kini lebih banyak duduk di bale. Jalannya pincang, tubuhnya melemah, tapi semangatnya tak luntur.

Orang-orang mulai memanggilnya "Senopati Laut."

Pak Darsi ditangkap. Sindikatnya terbongkar. Beberapa warga yang dulu mencibir, kini bergabung. Bahkan Mak Ijah membuka "Kopi Laut" warung yang jadi tempat diskusi kelompok pengawas dan warga.

***

Kini, jika kau datang ke Tanjung Biru, kau akan mendengar sesuatu yang dulu hilang, nyanyian laut. Ikan meloncat lagi, karang tumbuh. Anak-anak berenang di muara tanpa takut, perahu kecil kembali berani menjala di dekat terumbu.

Di bale kosong yang dulu sunyi, kini tertempel papan kayu

"Yang kita jaga bukan hanya ikan atau karang. Tapi masa depan kita sendiri." -- Banyu Biru

***

Banyu tahu ia tak abadi. Tapi laut akan terus ada, dan selama ada yang menjaganya, harapan tak akan mati. Ia duduk menatap horizon, seperti biasa. Tapi kini ia tak sendiri. Di sekitarnya, anak-anak berlarian, nelayan membersihkan jaring, dan angin membawa suara tawa.

Dan laut? Laut tersenyum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun