Mohon tunggu...
Naily Syafithri
Naily Syafithri Mohon Tunggu... Mahasiswa Sarjana Akuntansi

-Mahasiswa Sarjana Akuntansi -NIM 43223010046 -Fakultas Ekonomi dan Bisnis -Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB -Dosen : Apollo,Prof. Dr,,M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

12 Oktober 2025   21:43 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:43 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

Menemukan Makna Manusia di Balik Angka

Pendahuluan:

Bagi banyak orang, akuntansi identik dengan angka, tabel, laporan keuangan, dan logika matematis yang kaku. Dunia akuntansi sering dipersepsikan sebagai ranah rasional, objektif, dan bebas nilai. Namun, pandangan ini hanya sebagian dari kenyataan. Di balik setiap angka, sesungguhnya tersimpan kisah manusia: harapan, kecemasan, tanggung jawab, bahkan moralitas.

Dalam dunia akademik modern, semakin banyak pemikir yang mulai mempertanyakan: apakah akuntansi hanya sekadar ilmu tentang pengukuran ekonomi, ataukah ia juga merupakan ekspresi kehidupan manusia yang sarat makna? Pertanyaan ini membawa kita pada pemikiran seorang filsuf besar Jerman, Wilhelm Dilthey (1833--1911), yang menjadi pelopor hermeneutika modern dan membuka jalan bagi pemahaman baru tentang ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk akuntansi.

1. Wilhelm Dilthey dan Hermeneutika Kehidupan

Wilhelm Dilthey adalah penerus pemikiran F.D.E. Schleiermacher, sang perintis hermeneutika klasik. Jika Schleiermacher menafsirkan teks untuk menemukan maksud batin penulisnya, maka Dilthey memperluas horizon itu: baginya, yang perlu ditafsir bukan hanya teks, tetapi kehidupan itu sendiri (das Leben).

Dilthey membedakan secara tajam antara dua jenis ilmu:

  • Ilmu Alam (Naturwissenschaften) yang menjelaskan fenomena melalui hukum sebab-akibat; dan

  • Ilmu Roh atau Humaniora (Geisteswissenschaften) yang memahami makna kehidupan manusia melalui pengalaman batin.

Di sinilah lahir dua istilah penting dalam hermeneutika:

  • Erklren (menjelaskan)  pendekatan ilmiah objektif untuk memahami dunia fisik.

  • Verstehen (memahami) pendekatan interpretatif untuk mengerti dunia batin manusia.

Dalam akuntansi, perbedaan ini menjadi penting. Selama ini, akuntansi kerap diperlakukan seperti ilmu alam sosial: serba kuantitatif, empiris, dan netral. Padahal, menurut semangat hermeneutik Dilthey, akuntansi justru merupakan ilmu manusia karena di dalamnya terdapat nilai, makna, dan ekspresi kehidupan ekonomi yang sarat kemanusiaan.

2. Dua Cara Mengetahui: Fisiologi dan Psikologi sebagai Metafora Akuntansi

Dilthey menggunakan dua metafora epistemologis untuk menjelaskan cara manusia mengetahui dunia: fisiologi dan psikologi.

a. Fisiologi Mengetahui dari Luar

Dalam fisiologi, manusia mempelajari tubuh dari luar. Tubuh dianggap sebagai objek biologis yang dapat diukur, diuji, dan dijelaskan secara mekanis. Ini mirip dengan pendekatan positivistik dalam akuntansi, yang memandang organisasi dan laporan keuangan sebagai objek eksternal. Contohnya: penelitian mengenai pengaruh leverage terhadap profitabilitas, hubungan CSR dengan nilai pasar, atau perbandingan rasio keuangan. Semua fenomena dipandang sebagai gejala empiris yang bisa diukur dan dirumuskan dalam model statistik. Peneliti memosisikan diri sebagai "dokter keuangan" yang mengamati pasien dari luar.

b. Psikologi Memahami dari Dalam

Sebaliknya, psikologi bagi Dilthey bukan hanya ilmu tentang gejala mental, melainkan cara memahami kehidupan batin manusia. Peneliti tidak lagi mengamati dari luar, tetapi menghidupkan kembali pengalaman orang lain (nacherleben) melalui empati dan keterlibatan batin. Dalam konteks akuntansi, ini berarti memahami bagaimana pelaku ekonomi menghayati angka, laba, utang, dan tanggung jawab. Laporan keuangan tidak lagi dilihat sebagai data teknis, tetapi sebagai teks kehidupan yang berisi simbol, nilai moral, bahkan spiritualitas.

Seorang akuntan hermeneutik bukan sekadar pencatat transaksi, melainkan penafsir kehidupan ekonomi yang berusaha menangkap makna di balik angka-angka.

3. Epistemologi Ganda Akuntansi: Ilmu Luar dan Ilmu Dalam

Dilthey menolak klaim positivistik Auguste Comte yang menyatukan semua ilmu di bawah metode eksakta. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang manusia memiliki rasionalitasnya sendiri  bukan dalam bentuk hukum universal, tetapi dalam koherensi makna.

Dari sinilah muncul dua epistemologi akuntansi:

  1. Epistemologi luar (fisiologis): akuntansi sebagai sistem pengukuran, pengendalian, dan pelaporan yang bersifat teknis.

  2. Epistemologi dalam (psikologis hermeneutik): akuntansi sebagai sistem pemaknaan dan komunikasi sosial yang bersifat simbolik, historis, dan spiritual.

Keduanya tidak harus bertentangan. Sebaliknya, pengukuran eksternal hanya bermakna jika disertai pemahaman internal terhadap makna yang dihayati pelaku ekonomi. Dengan begitu, penelitian akuntansi tidak hanya berfokus pada data dan korelasi, tetapi juga pada kisah dan makna di balik angka. Validitas pengetahuan tidak lagi bergantung pada generalisasi statistik, melainkan pada koherensi makna dan kedalaman interpretasi.

4. Ontologi Hermeneutik: Akuntansi sebagai Kehidupan yang Bermakna

Bagi Dilthey, realitas sosial bukan entitas di luar manusia, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri (das Leben). Karena itu, ontologi hermeneutik adalah ontologi kehidupan bukan ontologi benda atau hukum kausalitas.

a. Dunia Hidup (Lebenswelt) dalam Akuntansi

Manusia hidup dalam Lebenswelt, dunia yang sarat pengalaman, nilai, dan makna. Dalam dunia ini, angka tidak pernah netral. Misalnya:

  • Di pasar tradisional, "laba" dihayati sebagai rezeki dan keberkahan.

  • Di korporasi modern, "laba" menjadi indikator performa dan legitimasi.

  • Dalam budaya spiritual Jawa, "laba" bisa dipandang sebagai keseimbangan moral antara usaha dan doa.

Maka, akuntansi hidup dalam berbagai struktur makna yang kontekstual dan historis.

b. Simbol sebagai Jejak Kehidupan

Dilthey menggunakan istilah Ausdruck (ekspresi) dan Symbol (simbol) untuk menjelaskan bagaimana kehidupan menampakkan dirinya.

Dalam akuntansi, angka, neraca, laporan, atau tanda tangan bukan sekadar alat teknis melainkan jejak ekspresi kehidupan batin manusia.

  • Saldo kas mencerminkan rasa aman dan kontrol.

  • Laporan tahunan adalah ekspresi keinginan manusia untuk diakui dan dipertanggungjawabkan.

  • Neraca moral perusahaan sosial menandakan nilai spiritual komunitas.

Dengan demikian, bahasa akuntansi adalah bahasa simbolik kehidupan ekonomi manusia.

5. Ekspresi (Ausdruck) dan Jiwa Sosial

Menurut Dilthey, ekspresi adalah jembatan antara pengalaman batin dan dunia luar. Dalam akuntansi, setiap pencatatan, laporan, dan analisis merupakan manifestasi moral dan spiritual masyarakat. Angka bukan hanya representasi fakta ekonomi, tetapi hasil keputusan moral dan tanggung jawab sosial. Dengan memahami ekspresi ini, peneliti dapat menyingkap "jiwa sosial" yang hidup di balik praktik ekonomi.

Contohnya, laporan keuangan sebuah LSM bukan hanya tentang saldo donasi, tetapi juga kisah solidaritas, kepercayaan, dan pengabdian.

6. Ontologi Historis: Akuntansi sebagai Ekspresi Jiwa Bangsa

Setiap sistem akuntansi merefleksikan jiwa historis masyarakat yang melahirkannya.

  • Akuntansi kolonial Belanda mengekspresikan rasionalitas kontrol dan kekuasaan.

  • Akuntansi koperasi desa mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan.

  • Akuntansi spiritual menampakkan keseimbangan antara dunia materi dan batin.

Oleh karena itu, akuntansi tidak bersifat universal dan ahistoris, melainkan produk interpretasi kolektif manusia sepanjang sejarah.

Akuntansi, dengan demikian, adalah tindakan menulis kehidupan sebuah cara manusia menandai eksistensinya melalui simbol ekonomi dan moral.

7. Aksiologi Hermeneutik: Nilai, Empati, dan Makna Moral

Hermeneutika Dilthey tidak berhenti pada pengetahuan (epistemologi) atau realitas (ontologi), tetapi juga menembus wilayah aksiologi yakni nilai dan makna moral dalam pengetahuan manusia.

a. Akuntansi dan Nilai Kehidupan (Lebenswert)

Nilai bagi Dilthey bukanlah sesuatu di luar ilmu, melainkan inti kehidupan itu sendiri. Dalam konteks akuntansi, setiap praktik mencerminkan nilai tertentu:

  • Kapitalisme menonjolkan efisiensi dan laba.

  • Akuntansi sosial menonjolkan tanggung jawab dan keadilan.

  • Akuntansi religius menonjolkan moralitas dan keseimbangan spiritual.

Dengan demikian, angka tidak pernah netral. Ia membawa suara moral masyarakat yang melahirkannya.

b. Empati (Einfhlung) sebagai Etika Pemahaman

Bagi Dilthey, memahami berarti menghidupkan kembali pengalaman orang lain melalui empati. Dalam akuntansi, empati menjadi dasar moral dalam proses pencatatan, pelaporan, maupun audit.

Akuntan yang berempati tidak hanya melihat angka, tetapi melihat manusia di balik angka. Auditor yang berempati tidak hanya memeriksa kepatuhan, tetapi memahami tekanan moral dan psikologis pelaku ekonomi.

Empati menjadikan akuntansi lebih manusiawi, etis, dan reflektif.

c. Angka sebagai Simbol Moral

Angka dalam akuntansi dapat dibaca sebagai teks moral.

  • Neraca adalah simbol keseimbangan antara hak dan kewajiban.

  • Laba mencerminkan keadilan distributif antara tenaga kerja, modal, dan masyarakat.

  • Pajak adalah ekspresi solidaritas sosial.

Melalui hermeneutika, kita dapat membaca angka bukan sekadar data, melainkan bahasa etika yang menuturkan kehidupan.

8. Akuntansi sebagai Bahasa Etika Kehidupan

Dari nilai, empati, dan moralitas, lahir pemahaman bahwa akuntansi sesungguhnya adalah bahasa etika kehidupan.

Laporan keuangan bukan sekadar dokumen administratif, tetapi narasi eksistensial kisah manusia yang berjuang menata keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab moral.

Dalam kerangka ini, akuntansi hermeneutik berperan untuk:

  1. Menghindari dehumanisasi ekonomi, dengan menegaskan bahwa angka adalah tentang manusia.

  2. Menegakkan kejujuran dan tanggung jawab sosial, karena setiap laporan adalah bentuk pertanggungjawaban eksistensial.

  3. Menemukan kebaikan hidup, bukan hanya efisiensi finansial.

9. Sintesis Filosofis: Akuntansi sebagai Pengetahuan yang Hidup

Hermeneutika Dilthey memadukan epistemologi (cara mengetahui), ontologi (cara mengada), dan aksiologi (cara memberi makna) dalam satu kesatuan.

Dalam konteks teori akuntansi:

  1. Epistemologi: Akuntansi bukan hanya penjelasan (Erklren), tetapi juga pemahaman (Verstehen) atas makna sosial ekonomi.

  2. Ontologi: Realitas akuntansi adalah kehidupan bermakna yang mengekspresikan diri melalui simbol angka.

  3. Aksiologi: Akuntansi mengandung nilai, empati, dan moralitas sebagai wujud tanggung jawab manusia terhadap kehidupan.

Dengan demikian, teori akuntansi hermeneutik memandang bahwa:

"Setiap angka adalah teks kemanusiaan."

Angka tidak hanya menjelaskan dunia ekonomi, tetapi mengisahkan perjuangan manusia memahami dirinya sendiri.

Penutup: Dari Angka ke Makna

Dalam dunia yang semakin terobsesi pada data, angka, dan algoritma, pemikiran Wilhelm Dilthey memberi peringatan lembut: bahwa di balik segala rasionalitas ekonomi, ada kehidupan manusia yang berdenyut.

Akuntansi hermeneutik mengajak kita kembali memandang angka sebagai cermin kehidupan, bukan sekadar objek statistik. Ia menuntut kita untuk memahami, bukan hanya menghitung.

Dengan memadukan pengetahuan, makna, dan nilai, teori akuntansi hermeneutik membuka ruang bagi akuntansi yang lebih manusiawi akuntansi yang tidak hanya mencatat transaksi, tetapi menulis kisah kehidupan.

10. Relevansi Teori Hermeneutik Dilthey dalam Dunia Akuntansi Modern

Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya: apa hubungan antara filsafat abad ke-19 dan praktik akuntansi yang kini sangat digital, serba otomatis, dan berbasis kecerdasan buatan? Apakah pemikiran Dilthey masih relevan di tengah era big data dan blockchain accounting?

Jawabannya: justru semakin relevan.

Dalam dunia yang terobsesi pada otomatisasi dan presisi angka, manusia perlahan kehilangan sentuhan maknanya. Akuntan menjadi "operator algoritma", bukan lagi penafsir tanggung jawab. Perusahaan lebih sibuk memenuhi kepatuhan regulasi daripada menumbuhkan kesadaran moral. Di sinilah hermeneutika Dilthey kembali menjadi penuntun.

Hermeneutika mengingatkan bahwa teknologi tidak pernah netral.
Di balik setiap sistem akuntansi digital, ada nilai-nilai yang dikandung dan diputuskan oleh manusia.
Ketika perusahaan menggunakan sistem Enterprise Resource Planning (ERP) atau AI auditing, mereka sebenarnya sedang menerapkan seperangkat logika moral tertentu tentang efisiensi, kecepatan, dan kontrol. Namun siapa yang menafsirkan "keadilan" dalam algoritma itu? Siapa yang memahami makna keputusan keuangan bagi nasib pekerja, pelanggan, dan lingkungan?

Hermeneutika mengembalikan manusia sebagai pusat pemaknaan.
Meski angka diproses oleh mesin, makna tetap lahir dari pengalaman manusia yang menggunakannya.
Karena itu, dalam dunia digital sekalipun, akuntansi tetap merupakan "ilmu kehidupan" (Lebenswissenschaft) bukan sekadar sistem data.

11. Studi Kasus: Membaca Laporan Keuangan sebagai Teks Kehidupan

Untuk memahami gagasan ini secara konkret, mari kita bayangkan laporan tahunan sebuah perusahaan besar.
Di halaman depan terdapat visi, misi, dan tanggung jawab sosial. Di bagian tengah, kita menemukan laporan laba rugi, neraca, dan arus kas. Bagi akuntansi konvensional, ini adalah data objektif. Namun bagi hermeneutika, laporan ini adalah narasi kehidupan. Misalnya, saat perusahaan mencatat "beban pemutusan hubungan kerja", angka itu menyembunyikan pengalaman ribuan pekerja yang kehilangan sumber nafkah. Ketika manajemen menulis "penurunan nilai aset", itu juga bisa bermakna kehilangan, kegagalan, atau penyesuaian strategi. Bahkan istilah "laba bersih" bisa mengandung rasa bangga, kelegaan, atau mungkin rasa bersalah jika diperoleh dari praktik yang merugikan pihak lain.

Hermeneutika mengajak kita membaca laporan keuangan seperti membaca novel kehidupan.
Setiap angka adalah simbol dari perjuangan manusia dalam dunia ekonomi. Laporan itu menuturkan cerita tentang keberhasilan, kegagalan, etika, dan tanggung jawab.  Dengan demikian, penelitian akuntansi tidak cukup berhenti pada analisis rasio atau model regresi; ia juga harus berani menafsir "makna eksistensial angka" bagaimana manusia menghayati dan memberi arti pada aktivitas ekonominya.

12. Akuntansi dan Moralitas Publik

Dalam masyarakat modern, krisis kepercayaan sering berakar dari krisis moralitas dalam dunia ekonomi.
Skandal akuntansi seperti Enron, WorldCom, hingga kasus Jiwasraya atau Garuda Indonesia menunjukkan bagaimana angka bisa dimanipulasi untuk menutupi keserakahan. Di sinilah teori hermeneutik memberikan kritik tajam: angka kehilangan jiwanya ketika dipisahkan dari nilai.

Menurut Dilthey, kehidupan manusia tidak dapat dipahami tanpa horizon moral. Begitu juga akuntansi: ia kehilangan hakikatnya bila hanya menjadi alat kekuasaan dan bukan wahana tanggung jawab.

Prinsip hermeneutik menuntut agar setiap angka dapat dimengerti, dipertanggungjawabkan, dan dimaknai secara etis.
Audit tidak sekadar memverifikasi kebenaran formal, melainkan mendengar suara moral yang tersirat di balik laporan.
Transparansi bukan sekadar prosedur, tetapi cermin kejujuran eksistensial.

Oleh sebab itu, akuntansi hermeneutik tidak menolak teknologi atau efisiensi, tetapi menuntut etika empatik dalam penggunaannya.
Akuntan, auditor, dan manajer keuangan harus dilatih untuk memahami angka tidak hanya sebagai data, melainkan sebagai tanggung jawab kemanusiaan.

13. Pendidikan Akuntansi dan Krisis Kemanusiaan

Krisis makna dalam dunia akuntansi modern juga berakar dari cara pendidikan akuntansi diajarkan.
Sebagian besar kurikulum menekankan keterampilan teknis: pencatatan, audit, analisis laporan keuangan, dan peraturan.
Namun sedikit yang mengajarkan mahasiswa untuk memahami makna sosial dan etis dari angka-angka itu.

Padahal, sebagaimana dikatakan Dilthey, setiap ilmu tentang manusia harus dimulai dari pengalaman hidup (Erlebnis).
Mahasiswa akuntansi perlu belajar bagaimana keputusan keuangan berdampak pada kehidupan masyarakat, bukan hanya pada neraca perusahaan.

Bayangkan bila mata kuliah "Akuntansi Keuangan" dilengkapi dengan refleksi hermeneutik:

  • Mengapa laba menjadi ukuran keberhasilan?

  • Apa makna tanggung jawab sosial bagi entitas bisnis?

  • Bagaimana seorang akuntan mengalami dilema moral ketika diminta "menyesuaikan angka"?

Dengan demikian, pendidikan akuntansi tidak hanya menghasilkan teknokrat, tetapi manusia reflektif yang memahami angka sebagai bahasa nilai dan moralitas.

14. Hermeneutika sebagai Jalan Spiritual Akuntansi

Jika kita membaca Dilthey lebih dalam, hermeneutika bukan hanya metode ilmiah, tetapi cara eksistensial untuk menghayati kehidupan. Pemahaman (Verstehen) berarti membuka diri terhadap kehidupan orang lain, merasakan empati, dan menemukan nilai universal dalam pengalaman manusia.

Dalam konteks akuntansi, ini bisa dipahami sebagai spiritualitas profesi.
Menjadi akuntan berarti memikul amanah untuk menjaga kejujuran, menegakkan keseimbangan, dan menafsir kehidupan ekonomi agar tetap manusiawi. Ketika seorang akuntan menyusun laporan keuangan dengan niat tulus untuk kebenaran, ia sesungguhnya sedang berdoa dalam bentuk kerja.
Ketika auditor menolak manipulasi data meski berisiko kehilangan klien, ia sedang menegakkan nilai moral yang tak ternilai.

Hermeneutika memberi makna baru pada profesi ini:
Akuntansi bukan hanya pekerjaan teknis, melainkan panggilan kemanusiaan.

15. Akuntansi, Budaya, dan Pluralitas Makna

Salah satu kontribusi besar Dilthey adalah pandangannya bahwa setiap ekspresi kehidupan manusia selalu bersifat historis dan kontekstual. Artinya, makna tidak pernah tunggal. Ia selalu lahir dari interaksi budaya dan sejarah. Karena itu, akuntansi di berbagai masyarakat mencerminkan jiwa kebudayaannya sendiri.
Di Jepang, misalnya, praktik akuntansi sering diwarnai oleh nilai harmoni dan tanggung jawab kolektif (kyosei).
Di Indonesia, sistem akuntansi koperasi dan syariah memuat nilai gotong royong dan keseimbangan antara dunia material dan spiritual.
Sementara di Barat, tradisi akuntansi sering menonjolkan individualitas dan efisiensi. Semua sistem ini valid dalam konteksnya masing-masing. Hermeneutika membantu kita memahami perbedaan ini bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai kekayaan makna.
Tidak ada satu "kebenaran tunggal" tentang akuntansi, karena realitasnya selalu ditenun dari pengalaman dan nilai-nilai manusia yang beragam. Dengan demikian, teori akuntansi hermeneutik bersifat plural dan dialogis: ia membuka ruang bagi dialog antarbudaya dan penafsiran lintas tradisi.

16. Penelitian Hermeneutik dalam Akuntansi

Dalam praktik akademik, penelitian akuntansi hermeneutik berkembang sebagai alternatif dari pendekatan kuantitatif.
Metode ini menggunakan analisis interpretatif, fenomenologis, atau naratif untuk menyingkap makna di balik praktik akuntansi.

Misalnya:

  • Studi tentang bagaimana akuntan memahami etika profesinya dalam situasi dilema moral.

  • Penelitian tentang simbolisme ritual laporan keuangan di organisasi keagamaan atau komunitas lokal.

  • Kajian terhadap narasi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai ekspresi nilai moral.

Peneliti hermeneutik bertindak bukan sebagai pengamat netral, tetapi sebagai penafsir yang terlibat.
Ia berusaha masuk ke dalam horizon makna para pelaku memahami dari dalam (von innen verstehen), bukan menilai dari luar. Validitas penelitian tidak diukur dari reliabilitas statistik, tetapi dari kedalaman makna dan koherensi interpretasi.
Dengan demikian, penelitian hermeneutik tidak menolak sains, tetapi memperluasnya agar lebih manusiawi dan bermakna.

17. Kritik terhadap Akuntansi Positivistik

Pendekatan hermeneutik Dilthey juga berfungsi sebagai kritik terhadap dominasi paradigma positivistik dalam akuntansi modern.
Paradigma ini menekankan objektivitas, kuantifikasi, dan hukum sebab-akibat yang seragam.
Namun, ia sering mengabaikan konteks sosial, nilai, dan pengalaman manusia.

Akibatnya, muncul berbagai "anomali moral" dalam dunia bisnis:

  • Manipulasi angka demi kepentingan jangka pendek.

  • Praktik akuntansi kreatif yang menutupi risiko sosial.

  • Pengabaian aspek lingkungan dan kemanusiaan demi laba semata.

Hermeneutika menawarkan jalan lain:
ia tidak menolak objektivitas, tetapi mengubah maknanya dari objektivitas mekanis menjadi objektivitas empatik, yakni keterbukaan terhadap pengalaman manusia yang beragam. Dengan kata lain, hermeneutika bukan anti ilmu, melainkan anti dehumanisasi ilmu.

18. Menuju Akuntansi Kemanusiaan

Dari seluruh uraian di atas, kita sampai pada kesimpulan penting:
Akuntansi hermeneutik bukan hanya teori alternatif, tetapi gerakan etis dan kultural untuk mengembalikan akuntansi pada akarnya yakni manusia.

Dalam masyarakat yang diukur segalanya dengan angka, kita membutuhkan keberanian untuk kembali bertanya:

  • Apakah semua yang dapat dihitung pasti bermakna?

  • Dan apakah yang bermakna selalu dapat dihitung?

Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita ke arah akuntansi kemanusiaan (humanistic accounting), di mana:

  • Kejujuran lebih utama daripada efisiensi.

  • Empati lebih penting daripada rasionalitas dingin.

  • Nilai hidup lebih berharga daripada nilai pasar.

Inilah roh hermeneutik Dilthey: memulihkan hubungan antara pengetahuan dan kehidupan, antara angka dan makna, antara ekonomi dan kemanusiaan.

Penutup Akhir: Dari Hermeneutika ke Harapan

Jika Schleiermacher menafsir teks, Dilthey menafsir kehidupan; Heidegger menafsir keberadaan; dan Gadamer menafsir tradisi bahasa. Maka kini, tugas kita adalah menafsir akuntansi sebagai kehidupan itu sendiri. Teori akuntansi hermeneutik bukan sekadar kerangka filsafat; ia adalah seruan moral agar ilmu ekonomi tidak kehilangan jiwanya.
Ia mengingatkan bahwa di balik setiap angka selalu ada manusia dengan cerita, nilai, dan tanggung jawabnya.

Ketika akuntansi kembali dipahami sebagai bahasa kehidupan, ia tidak lagi menjadi sekadar alat kontrol, melainkan sarana memahami diri dan dunia.
Dan mungkin di sanalah, untuk pertama kalinya, kita benar-benar memahami:

"Angka bukan hanya tentang uang, tetapi tentang makna menjadi manusia."

19. Simpulan dan Saran: Menuju Akuntansi yang Memahami Kehidupan

A. Simpulan: Mengembalikan Jiwa dalam Angka

Setelah menelusuri pemikiran Wilhelm Dilthey dan mengaitkannya dengan dunia akuntansi, kita dapat menarik satu simpulan besar: akuntansi pada hakikatnya adalah ilmu tentang kehidupan, bukan sekadar ilmu tentang angka. Filsafat hermeneutik Dilthey menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tidak pernah tunggal. Ada dua cara memahami dunia menjelaskan (erklren) dan memahami (verstehen). Selama ini, akuntansi lebih dekat dengan cara pertama: menjelaskan fenomena ekonomi secara empiris, kuantitatif, dan kausal. Namun, pendekatan itu hanya menangkap "kulit" realitas ekonomi. Di balik angka-angka dan laporan, ada dunia makna, nilai, dan pengalaman batin manusia dunia yang hanya bisa dijangkau melalui pemahaman hermeneutik.

Dari sudut pandang ini, akuntansi bukan lagi instrumen netral yang berdiri di luar kehidupan, melainkan bagian dari cara manusia mengekspresikan dirinya dalam dunia ekonomi. Laporan keuangan, jurnal, neraca, bahkan tanda tangan auditor adalah ekspresi (Ausdruck) dari kesadaran moral dan sosial manusia. Semua simbol itu menyimpan jejak kehidupan rasa takut, harapan, tanggung jawab, dan solidaritas. Dengan menempatkan akuntansi dalam horizon hermeneutik, kita memahami bahwa angka-angka tidak lahir dari ruang kosong. Mereka selalu berakar pada Lebenswelt dunia hidup manusia yang historis dan intersubjektif. Makna laba di perusahaan multinasional berbeda dengan makna laba di koperasi desa. Angka utang di laporan pemerintah berbeda dengan utang moral di hati warga. Semua perbedaan ini menunjukkan bahwa realitas akuntansi bersifat plural, dinamis, dan manusiawi.

Dari sisi epistemologis, teori akuntansi hermeneutik menegaskan bahwa pengetahuan tentang manusia tetap rasional, meski tidak bersifat universal. Rasionalitasnya terletak bukan pada hukum umum, melainkan pada koherensi makna yang lahir dari pengalaman hidup. Dengan demikian, penelitian akuntansi tidak harus selalu mencari korelasi statistik, tetapi dapat pula mencari kedalaman interpretasi: bagaimana pelaku ekonomi memaknai tanggung jawab, laba, dan keadilan.

Secara ontologis, akuntansi hermeneutik melihat realitas ekonomi sebagai ekspresi kehidupan (Ausdruck des Lebens).
Angka-angka bukan benda mati, tetapi bahasa simbolik yang menuturkan kisah manusia. Dalam simbol-simbol itu, kehidupan berusaha dimengerti dan diatur agar tetap seimbang antara kebutuhan material dan nilai moral.

Sementara secara aksiologis, teori ini menegaskan bahwa nilai, empati, dan moralitas adalah inti dari setiap tindakan akuntansi.
Nilai memberi arah, empati memberi jiwa, dan moralitas memberi legitimasi pada praktik akuntansi.
Tanpa ketiganya, akuntansi hanyalah mesin angka tanpa nurani.

Maka, simpulan besar dari seluruh pembahasan ini adalah:

Akuntansi hermeneutik mengembalikan manusia ke pusat ilmu akuntansi.
Ia mengubah akuntansi dari sistem pengukuran menjadi sistem pemahaman,
dari alat kontrol menjadi bahasa kehidupan,
dari logika finansial menjadi logika moral.

Pendekatan ini tidak bertentangan dengan akuntansi positif, tetapi melengkapinya.
Jika positivisme melihat dunia dari luar, maka hermeneutika mengajaknya menengok dari dalam.
Keduanya diperlukan: pengukuran memberi ketertiban, pemahaman memberi makna.
Ketika keduanya berpadu, barulah akuntansi menjadi ilmu yang utuh ilmu yang menghitung dengan kepala dan memahami dengan hati.

B. Saran: Membangun Akuntansi yang Lebih Manusiawi
Berikut beberapa saran reflektif dan praktis yang bisa menjadi arah pengembangan akuntansi ke depan baik di ranah akademik, profesi, maupun sosial.

1. Reformasi Pendidikan Akuntansi

Kurikulum akuntansi perlu menempatkan filsafat, etika, dan kemanusiaan sebagai fondasi, bukan sekadar pelengkap.
Mahasiswa harus dilatih tidak hanya menguasai standar pencatatan, tetapi juga memahami dampak kemanusiaan dari setiap keputusan keuangan.

Beberapa langkah konkret:

  • Menambahkan mata kuliah seperti Filsafat Akuntansi, Hermeneutika Sosial, atau Etika Profesi Empatik.

  • Menggunakan pendekatan studi kasus yang menyoroti dilema moral nyata dalam bisnis.

  • Mengintegrasikan literatur sosial, seni, dan budaya agar mahasiswa memahami bahwa angka tidak pernah berdiri di ruang hampa.

Dengan cara ini, pendidikan akuntansi akan melahirkan bukan hanya accountant by skill, tetapi juga accountant by soul --- profesional yang terampil sekaligus memiliki kepekaan moral.

2. Penelitian Akuntansi yang Menyelami Makna

Penelitian akuntansi di Indonesia perlu berani keluar dari dominasi paradigma kuantitatif yang sempit.
Pendekatan hermeneutik, fenomenologis, dan naratif harus dikembangkan untuk menyingkap sisi batin dunia akuntansi.

Peneliti perlu menelusuri pertanyaan seperti:

  • Bagaimana akuntan mengalami konflik antara kebenaran dan tekanan kepentingan?

  • Bagaimana makna spiritual, budaya, dan sejarah membentuk praktik pelaporan keuangan di komunitas lokal?

  • Bagaimana organisasi memahami tanggung jawab sosial bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi sebagai nilai moral?

Pendekatan hermeneutik membuka ruang bagi penelitian yang lebih dalam, jujur, dan menyentuh sisi manusia.
Ia mengajarkan bahwa kebenaran ilmiah tidak hanya diukur dari angka, tetapi juga dari kejujuran dalam menafsir kehidupan.

3. Praktik Akuntansi yang Berempati dan Etis

Bagi para praktisi, teori hermeneutik mengingatkan bahwa setiap laporan keuangan adalah dokumen moral.
Laba, rugi, dan aset bukan sekadar posisi angka, tetapi representasi dari nilai-nilai manusia.

Perusahaan dan kantor akuntan publik perlu membangun budaya organisasi yang menekankan empati, transparansi, dan tanggung jawab sosial.
Misalnya:

  • Menyusun laporan keberlanjutan (sustainability report) dengan pendekatan naratif yang jujur, bukan hanya formalitas.

  • Mengembangkan standar etika internal yang menekankan dialog dan refleksi moral, bukan sekadar kepatuhan administratif.

  • Mengapresiasi keputusan akuntan yang mempertahankan integritas meskipun tidak menguntungkan secara finansial.

Dalam dunia yang penuh tekanan ekonomi, empati menjadi bentuk keberanian moral.
Hermeneutika mengajarkan bahwa pemahaman sejati lahir dari partisipasi batin terhadap kehidupan orang lain.

4. Akuntansi sebagai Sarana Pemberdayaan Sosial

Pendekatan hermeneutik juga membuka peluang besar untuk membangun akuntansi yang berpihak pada kemanusiaan.
Di masyarakat desa, komunitas adat, atau lembaga sosial, akuntansi dapat digunakan sebagai bahasa solidaritas, bukan sekadar alat kontrol.

Contohnya:

  • Mengembangkan sistem akuntansi partisipatif untuk koperasi dan UMKM yang menekankan keadilan dan kebersamaan.

  • Mendorong praktik akuntansi sosial dan lingkungan sebagai wujud empati terhadap generasi mendatang.

  • Memanfaatkan akuntansi untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan, yayasan, dan komunitas lokal.

Dengan cara ini, akuntansi menjadi bagian dari gerakan moral masyarakat, bukan hanya perangkat administratif.

5. Revitalisasi Etos Profesi Akuntan

Akhirnya, teori hermeneutik mengajak setiap akuntan untuk menemukan kembali panggilan jiwanya.
Akuntansi bukan hanya karier, tetapi amanah moral.
Setiap angka yang ditulis adalah kesaksian integritas, dan setiap laporan yang disusun adalah wujud tanggung jawab kepada kehidupan.

Etos profesi akuntan masa depan harus berlandaskan pada tiga nilai:

  1. Kejujuran eksistensial: keberanian mengatakan kebenaran meski sulit.

  2. Empati sosial: kemampuan memahami dampak ekonomi terhadap manusia lain.

  3. Refleksi moral: kesadaran bahwa akuntansi adalah dialog terus-menerus antara fakta dan nilai.

Dalam bahasa hermeneutik, akuntan sejati bukan sekadar "penghitung laba," tetapi penafsir kehidupan.

C. Penutup Akhir: Menghidupkan Akuntansi, Menghidupkan Manusia

Wilhelm Dilthey tidak pernah menulis tentang akuntansi secara langsung. Namun semangat filsafatnya bahwa pengetahuan harus memahami kehidupan dari dalam memberikan arah baru bagi dunia ekonomi modern yang sering kehilangan nurani.

Teori akuntansi hermeneutik bukan utopia akademik. Ia adalah panggilan untuk menghidupkan kembali jiwa ilmu ini.
Di tengah ketidakpastian global, krisis etika, dan hegemoni angka, kita membutuhkan akuntansi yang dapat memahami manusia sebagaimana adanya: makhluk yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab.

Maka, marilah kita renungkan: setiap kali kita melihat angka laba, neraca, atau laporan keuangan, jangan hanya bertanya "berapa nilainya?"
Tanyakan juga, "apa maknanya bagi kehidupan?"

Sebab di situlah, sebagaimana diajarkan Dilthey, pengetahuan bertemu dengan kemanusiaan.
Dan mungkin, hanya di situlah, akuntansi benar-benar menjadi ilmu yang hidup ilmu yang memahami manusia sebelum menghitungnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun