Mohon tunggu...
Nabila Ramadani Susanto
Nabila Ramadani Susanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya Mahasiswa psikologi dari Universitas Muhammadiyah Malang. Pengalaman berharga saya dimulai ketika bekerja di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Palopo, di mana saya mendapatkan wawasan yang mendalam tentang pendidikan inklusif. Saat ini, saya aktif sebagai asisten di Poli Jiwa Psikolog RSUD Sawerigading. Selain itu, saya juga memiliki keinginan dalam berbagi pengetahuan. Saya sering menghasilkan konten edukatif melalui tulisan dan video, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai psikologi dan topik terkait. Saya percaya bahwa pembelajaran adalah investasi terbaik, dan saya berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam bidang ini. Terima kasih sudah membaca tulisan saya dan sehat selalu

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Meningkatkan Kepedulian terhadap Mental Health dengan Tidak Melakukan Self Diagnose

20 September 2022   15:42 Diperbarui: 10 Januari 2023   16:51 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

C. Self-Diagnose

Tindakan Self-Diagnose adalah hal yang sangat berbahaya, hal itu dikarenakan adanya pengetahuan yang terbatas. Namun, melakukan pengobatan kepada penyakit yang masyarakat percayai dengan pengetahuan seadanya. Self-Diagnose ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Psikologi dan Kesehatan. Sudah ada banyak jurnal, artikel, dan buku yang membahas betapa bahayanya melakukan tindakan Self-Diagnose. Ada dua poin yang akan menggambarkan atau hubungan dari tindakan Self-Diagnose, yaitu:

1. Development of mass media

Perkembangan media massa saat ini, sangat mempengaruhi potensi naiknya tindakan Self-Diagnose, dikarenakan masih ada beberapa oknum yang menyebarluaskan berita atau informasi yang tidak sesuai dengan fakta mengenai kondisi kejiwaan. Jika hal ini terus-terusan terjadi, maka akan bisa memperburuk keadaan masyarakat. Contoh gangguan mental yang sering disebarluaskan informasinya dan membuat orang sering kali melakukan tindakan Self-Diagnose adalah gangguan Attention Deficit Disorder atau ADHD. 

Menurut (’Cardone et al., 2008) gejala yang sangat sering terjadi pada pasien yang mengidap ADHD adalah kesulitan berfokus pada kegiatan yang dilakukan, sering lupa, impulsive dan/atau aktivitas motorik berlebihan, tidur dengan gelisah, dan intraktabilitas. Saat dijadikan konten bahwa penyakit ADHD gejalanya sering lupa, maka orang yang menyaksikan konten tersebut akan berpikir bahwa, apakah saya ini mengidap ADHD? Padahal lupa adalah hal yang wajar terjadi pada manusia, namun pada gangguan Attention Deficit Disorder pastinya jauh berbeda.

Dari komentar yang saya baca dari konten mengenai informasi ADHD, ada banyak orang berkomentar bertanya mengenai kondisi kejiwaannya, ada yang merasa bingung, takut, dan bahkan ada yang sudah mendiagnosa dirinya sendiri. Ada yang berkata, “Ternyata saya selama ini ADHD”, “Jangan-jangan saya mengidap ADHD”, dan masih banyak lagi komentar-komentar yang membuat orang melakukan tindakan Self-Diagnose, baik secara sadar atau tidak.

Saya tidak mempermasahkan mengenai konten edukasi Attention Deficit Disorder atau segala konten edukasi kesehatan, jika memang konten tersebut sudah sesuai atau dapat dibuktikan secara ilmiah. Justru, dengan adanya konten edukasi, dapat membuat orang-orang menjadi lebih peduli terhadap kesehatan. Tetapi, masyarakat harus memperhatikan dan mempertimbangkan terkait apa yang masyarakat unggah, “Apakah konten yang akan saya unggah ini, tidak menimbulkan dampak negatif? Jika ada, apakah ada cara untuk mengurangi atau menghilangkan dampaknya?”. Jika pertanyaan itu muncul di benak masyarakat, jawabannya ya, ada. Dengan cara memberikan peringatan, seperti “dilarang melakukan tindakan Self-Diagnose sebelum menonton konten ini”, atau memberikan segala bentuk peringatan yang mengarah ke larangan terhadap tindakan Self-Diagnose.

Menurut (’Elfiky, 2009) Sebuah pusat kajian psikologi dan fisiologi di New Zealand memaparkan bahwa lebih dari 60% kondisi menyedihkan disebabkan oleh media massa yang menyebabkan hal-hal negatif. Pengaruh bahaya ini ikut memperkaya proses pembentukan pikiran setiap orang sehingga menjadi semakin kuat dan mendalam dibanding sebelumnya. Apalagi, di zaman sekarang, orang-orang sangat bergantung pada media massa, inilah pentingnya menumbuhkan rasa waspada dan memproses baik-baik informasi yang ada di media massa sebelum masyarakat menerimanya.

2. Mindset

Self-Diagnose sangat berhubungan terhadap pola pikir manusia, maka dari itu pada bagian ini akan dibahas terkait hal tersebut. Menurut Victor Hugo di dalam buku ‘Terapi Berpikir Positif’, Pikiiran adalah kekuatan yang sangat efektif. Tanpanya, setiap kekuatan hanya besar saja (Elfiky, 2009). Dari sini dapat masyarakat lihat bahwa pengaruh dari pikiran sangat berdampak besar bagi manusia. Diperkuat juga oleh Pascal, bahwa kemuliaan manusia terletak pada pikirannya (Elfiky, Terapi Berpikir Positif, 2009).

Apakah masyarakat sadar bahwa pikiran dapat melahirkan mindset? Jika masyarakat masih sering menggunakan kalimat negatif seperti, “Ketika bangun pagi, aku merasa sangat lelah. Agar bisa segar, aku harus minum secangkir kopi.”, atau “Di bulan Juli hidung dan tenggorokanku selalu sensitif dan berlangsung sepanjang musim panas.”, maka masyarakat telah membentuk mindset atau pola pikir negatif. Setelah terbentuk, mindset ini tersimpan dalam akal bawah sadar serta menumbuhkan perasaan dan persepsi negative.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun