Mohon tunggu...
Nabila Ramadani Susanto
Nabila Ramadani Susanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya Mahasiswa psikologi dari Universitas Muhammadiyah Malang. Pengalaman berharga saya dimulai ketika bekerja di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Palopo, di mana saya mendapatkan wawasan yang mendalam tentang pendidikan inklusif. Saat ini, saya aktif sebagai asisten di Poli Jiwa Psikolog RSUD Sawerigading. Selain itu, saya juga memiliki keinginan dalam berbagi pengetahuan. Saya sering menghasilkan konten edukatif melalui tulisan dan video, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai psikologi dan topik terkait. Saya percaya bahwa pembelajaran adalah investasi terbaik, dan saya berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam bidang ini. Terima kasih sudah membaca tulisan saya dan sehat selalu

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Meningkatkan Kepedulian terhadap Mental Health dengan Tidak Melakukan Self Diagnose

20 September 2022   15:42 Diperbarui: 10 Januari 2023   16:51 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Nabila Ramadani Susanto

202210230311037

Program Studi Psikologi

 Fakultas Psikologi,

Universitas Muhammadiyah Malang

e-mail : nabilaramadanisusanto@gmail.com


Abstrak

Kesehatan mental merupakan sebuah hal penting bagi manusia dan kesehatan mental juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain. Seseorang yang sehat secara fisik, belum tentu juga sehat secara mental, begitu pula sebaliknya. Namun, dengan kepedulian masyarakat terhadap kedua kesehatan ini, pastinya ada hal-hal ataupun batasan masyarakat dalam menangani hal tersebut. Saat seseorang merasa telah mengalami gangguan mental, kebanyakan masyarakat akan mencari tahu sendiri dengan ilmu yang terbatas dan sumber yang tidak relevan. Hal itu pastinya akan sangat berdampak negatif ke masyarakat tersebut, mereka akan mensugesti dirinya mengidap suatu penyakit mental yang padahal bisa saja mereka tidak mengalami penyakit tersebut. Kurangnya edukasi ataupun pengetahuan terhadap kesehatan mental ini yang membuat masyarakat sering melakukan Self Diagnose. Maka dari itu, diperlukan kepedulian antar sesama untuk mengedukasi, bahwa penyakit mental tidak bisa masyarakat diagnose sendiri dan memerlukan penanganan yang tepat oleh ahlinya, yaitu seorang Psikolog atau Psikiater.

Kata Kunci    : Edukasi penyakit mental; Kepedulian kesehatan mental; Self-Diagnose.

 

 

 

Abstract

Mental health is an important thing for humans and Mental Health is as important as physical health, these things are related to each other. A person who is physically healthy is not necessarily mentally healthy, and vice versa. However, with our attention to these two health, are there any things or our limits in dealing with these things. When someone feels they have experienced a mental disorder, most people will find out on their own with limited knowledge and irrelevant sources. This will have a very negative impact on the individual, he will suggest himself suffering from a mental illness, even though he may not have the disease. Lack of education or knowledge about Mental Health that makes people often do Self-Diagnose. Therefore, it is necessary to care for each other to educate, that mental illness can be Self-Diagnosed and proper treatment is only diagnosed by experts, namely a psychologist and psychiatrist.

Keywords       : Mental Health Awareness; Mental Illness Education; Self-Diagnose

Pendahuluan

Menurut (Avramova, 2022), dalam sebagian tahun terakhir, perkembangan penyakit mental di antara populasi sudah bertambah secara dramatis, yang merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang sungguh-sungguh. Bisa menimbulkan perubahan patologis dalam badan, serta rongga mulut tidak terkecuali. Ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan emosional manusia, tercantum perilaku sosialnya. Perihal ini diyakini kalau rongga mulut direpresentasikan selaku intens dalam sistem saraf pusat, sebab tidak terdapat wilayah lain dalam badan manusia. Karena mukosa mulut sudah sangat responsif terhadap pengaruh emosional semacam stres, kecemasan, serta depresi. Penyakit mulut bisa bertambah, ketika ekspresi langsung emosi ataupun secara tidak langsung, sebagai akibat dari berbagai kendala psikologis

Dengan adanya tindakan Self-Diagnose, bisa berujung pada kecemasan, sedangkan terdapat banyak penyakit mental yang penyebabnya berawal dari rasa cemas yang berlebih, serta telah banyak riset-riset yang mangulas terpaut kecemasan, terlebih pada remaja. Salah satunya penelitian (Yusfarani, 2021), Anxiety dialami oleh para remaja, sebab umur remaja bisa dikatakan umur yang masih labil dalam mengalami kondisi- kondisi yang tidak terduga.

Metode yang digunakan merupakan kuantitatif deskriptif dengan jumlah responden sebanyak 245 remaja dengan memakai metode Purposive Random Sampling. Pengumpulan informasi memakai Instrument Depression Anxiety Stress Scales (DASS 42) yang disebarkan secara online. Hasil riset diketahui remaja kelompok usia 15–19 tahun sebanyak 50,20% lebih banyak dibanding kelompok usia 20–24 tahun sebanyak 49,80%, berjenis kelamin wanita sebanyak 51,43% lebih banyak dibanding pria sebanyak 33,87%, remaja tidak pernah cemas sebanyak 124 (50,61%) lebih banyak dibanding dengan remaja cemas kadang–kadang sebanyak 84 (34,29%), selalu cemas sebanyak 29 (11, 84%), serta sangat sering cemas sebanyak 8 (3,26%), kecenderungan Psikosomatis sebanyak 142 (57,96%) lebih banyak dibanding tidak kecenderungan Psikosomatis sebanyak 103 (42,04%).

Salah satu contoh data diatas sangat disayangkan jika angkanya terus bertambah. Kecemasan dengan kecenderungan Psychosomatic Mental Health, memiliki keterkaitan yang erat dengan kesehatan fisik, maka dari itu, keduanya harus saling berjalan seimbang. Tetapi, masalah yang terjadi sekarang ini, masih begitu banyak masyarakat belum terbiasa dan belum mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kondisi mental. Pengetahuan yang terbatas biasanya membuat masyarakat percaya bahwa, seseorang yang boleh pergi ke ahli jiwa hanya orang gila, pola pikir dan kepercayaan ini yang membuat manusia lebih tergiur saat melihat berita-berita atau sebuah website yang menampilkan informasi mengenai kondisi kejiwaan, disini awal mula terjadi Self-Diagnose.

Saat masyarakat mengetahui bahwa informasi mengenai kondisi mental dapat mereka akses melalui informasi yang beredar di sosial media, masyarakat pastinya lebih memilih untuk mengecek sendiri kondisi mentalnya dibanding memercayakan ke ahlinya. Padahal, hal itu sangat disayangkan jika terjadi, akan ada begitu banyak kemungkin buruk yang akan terjadi kepada individu jika melakukan Self-Diagnose. Dengan melakukan tindakan Self-Diagnose, masyarakat bisa memperburuk keadaannya, penyembuhannya menjadi tidak terarah, membuat dirinya mengidap penyakit mental yang bisa saja awalnnya masyarakat tidak mengalami penyakit tersebut. Sedangkan, penyakit mental ada begitu banyak jenisnya, ada penyakit mental yang gejalanya sama namun penyakitnya beda dan ada penyakit mental yang gejalanya sama namun periodenya berbeda. dari perbedaan ini, pastinya membutuhkan penanganan yang berbeda pula.

Menurut buku Kapita Selekta Kedokteran Klinik (’Cardone et al., 2008) penyakit Attention Deficit Disorder (gangguan kekurangan perhatian) dan Insomnia, kedua penyakit ini memiliki beberapa gejala yang sama, yaitu kesulitan tidur ataupun tidur dengan gelisah, bahkan dari segi diagnosis banding, keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan, Attention Deficit Disorder memiliki banyak diagnosis banding, salah satunya skizofrenia dan sedangkan pada penyakit insomnia, tidak memiliki diagnosis banding, saat tindakan Self-Diagnose ini dilakukan, apakah mungkin masyarakat dengan keterbatasan ilmunya bisa mengetahui penyakit mana yang dia derita.

Menurut World Health Organization (WHO), (WHO, 2001) Mental Health adalah suatu keadaan atau kondisi sejahtera yang disadari manusia. Keadaan sejahtera tersebut meliputi sebuah kemampuan manusia dalam mengelola stress, tidak terhambat ataupun tetap produktif dalam beraktivitas, dan ikut serta berperan di komunitasnya. Mental Health ini sifatnya tidak bertahan di kondisi yang tetap, dengan kata lain ada begitu banyak pengaruh yang memungkinkan Mental Health seseorang dapat terganggu. Saat seseorang mendapat begitu banyak tuntutan lebih dari lingkungannya dan individu tersebut tidak dapat memenuhi hal itu, biasanya akan timbul emosi negative. Perasaan emosi negatif adalah perasaan yang wajar dialami seluruh manusia, namun hal itu tidak akan menjadi wajar jika berjalan dalam periode yang lama dan mengganggu aktivitas.

Bukan hanya itu, individu tersebut juga dapat mengalami depresi dan bisa menimbulkan penyakit mental yang lebih parah. Tindakan melakukan pemeriksaan secara mandiri dengan pengetahuan seadanya dan sumber informasi yang belum tentu relevan, lalu mendiagnosis dirinya mengidap suatu penyakit merupakan sebuah tindakan yang dinamakan Self-Diagnose. Orang yang berobat atau melakukan konsultasi di ahli jiwa dianggap gila, dan masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang perlu diperbaiki. Saat seseorang memiliki sakit fisik, awalnya masyarakat akan berusaha menanganinya sendiri, jika kondisinya masih terbilang wajar, seperti saat masyarakat merasa hanya butuh istirahat, namun saat istirahat tersebut ternyata tidak mempan, pastinya masyarakat akan menindak lanjuti dengan memercayakan kepada ahlinya, yaitu seseorang yang ahli di bidang kesehatan, baik itu seorang dokter ataupun perawat. Sama halnya dengan penyakit mental. Namun sayangnya, di kondisi mental, masih ada begitu banyak orang yang melakukan Self-Diagnose.

Artikel ini dapat membantu untuk mengedukasi masyarakat mengenai betapa pentingnya sebuah kepedulian terhadap Mental Health dan kesehatan fisik, dapat membantu menjawab keresahan yang terjadi di masyarakat, dan segala hal positif dapat terjadi. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi menganggap penyakit mental adalah sebuah hal yang tabu dan masyarakat satu sama lain dapat saling mengedukasi. Ada begitu banyak alasan untuk membahas pembahasan kali ini, mulai dari sebuah keterbatasan ilmu yang dimiliki masyarakat, kondisi mental yang penting dianggap tabu, dan masih banyak lagi. dan dengan hadirnya penelitian ini, pembaca akan mengetahui seberapa pentingnya kondisi mental yang baik tanpa melakukan tindakan Self-Diagnose.

Kajian Pustaka

A. Pengertian Mental Health

Di dalam buku Mental Health (Fakhriyani, 2019), Mental Health berkaitan dengan sebagian perihal. Awal, bagaimana seorang memikirkan, merasakan serta menempuh keseharian dalam kehidupan: Kedua, bagaimana seorang memandang diri sendiri serta orang lain; serta Ketiga, bagimana seorang mengevaluasi bermacam alternatif pemecahan serta bagaimana mengambil keputusan terhadap kondisi yang dialami (Yusuf, 2011). Mental Health merujuk pada kesehatan segala aspek pertumbuhan seorang, baik raga ataupun psikis. Mental Health pula meliputi upaya upaya dalam menanggulangi stress, ketidakmampuan dalam membiasakan diri, gimana berhubungan dengan orang lain, dan berkaitan dengan pengambilan keputusan.

Mental Health masing-masing orang berbeda serta hadapi dinamisasi dalam perkembangannya. Sebab pada hakitkatnya manusia dihadapkan pada keadaan dimana masyarakat wajib menyelesaikannya dengan bermacam- macam alternatif pemecahannya. Adakalanya, tidak sedikit orang yang pada waktu tertentu hadapi masalah- masalah Mental Health dalam kehidupannya. Bagi Daradjat, Mental Health ialah keharmonisan dalam kehidupan yang terwujud antara fungsi guna jiwa, keahlian mengalami problematika yang dialami, dan sanggup merasakan kebahagiaan serta keahlian dirinya secara positif (Daradjat, 1988).

Berikutnya dia menekankan kalau Mental Health merupakan keadaan dimana orang bebas dari indikasi indikasi kendala jiwa (neurose) serta dari indikasi penyakit jiwa (psychose). Bagi H.C.Witherington, kasus Mental Health menyangkut pengetahuan dan prinsip- prinsip yang ada lapangan psikologi, medis, psikiatri, hayati, sosoilogi, serta agama. Mental Health merupakan ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip prinsip, peraturan peraturan dan prosedur- prosedur buat mempertinggi kesehatan ruhani.

Orang yang sehat mentalnya yakni orang yang dalam ruhani tau dalam hatinya senantiasa merasa tenang, nyaman, tenteram (Jalaluddin, 2015). Penafsiran yang lain tentang Mental Health, ialah terwujudnya keserasian yang sesungguh-sungguh antara fungi fungi kejiwaan serta terciptanya penyesuain diri antara manusia dengan dirinya sendiri serta lingkungannya berlandaskan keimanan serta ketaqwaan dan bertujuan buat menggapai hidup yang bermakna serta senang dunia serta akhirat  (Hasneli, 2014).

Dengan demikian, bisa disimpulkan kalau Mental Health merupakan sesuatu keadaan seorang yang membolehkan berkembangnya seluruh aspek pertumbuhan, baik raga, intelektual, serta emosional yang maksimal dan selaras dengan pertumbuhan orang lain, sehingga berikutnya sanggup berhubungan dengan area sekitarnya. Indikasi jiwa ataupun guna jiwa semacam benak, perasaan, keinginan, perilaku, anggapan, pemikiran serta kepercayaan hidup wajib silih berkoordinasi satu sama lain, sehingga timbul keharmonisan yang bebas dari seluruh perasaan ragu, gundah, risau serta konflik batin (pertentangan pada diri orang itu sendiri).

B. Karakteristik Mental Health

Ciri Mental Health bisa dilihat dari karakteristik karakteristik mental yang sehat. Berikut ini ialah karakteristik karakteristik mental yang sehat (Yusuf, 2011), ialah:

1. Bebas dari kendala jiwa.

Ada 2 Keadaan kejiwaan yang tersendat yang berbeda satu sama lain, bagi Darajat (Daradjat, 1988) ialah kendala jiwa (neurose) serta penyakit jiwa (psikose). Terdapat perbedaandiantara 2 sebutan tersebut. Pertama, neurose masih mengenali serta merasakan kesukarannya, sedangkan psikose tidak, orang dengan psikose tidak mengenali permasalahan/ kesusahan yang tengah dihadapinya.

Kedua, karakter neurose tidak jauh dari kenyataan serta masih sanggup hidup dalam kenyataan serta alam nyata pada biasanya, sebaliknya karakter psikose tersendat baik dari segi asumsi, perasaan/emosi, dan dorongan dorongannya, sehingga orang dengan psikose ini tidak mempunyai integritas sedikitpun serta hidup jauh dari alam nyata.

Mental yang sehat ialah mental yang bebas baik dari kendala mental, ataupun penyakit mental. Dalam perihal ini, orang dengan mental yang sehat, sanggup hidup di alam nyata serta sanggup menanggulangi permasalahan yang dihadapinya.

2. Sanggup membiasakan diri.

Penyesuain diri (self adjustment) merupakan proses dalam mendapatkan/pemenuhan kebutuhan (needs satisfaction), sehingga orang sanggup menanggulangi tekanan pikiran, konflik, frustasi, dan masalah-masalah tertentu lewat alternatif cara-cara tertentu. Seorang bisa dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila sanggup menanggulangi kesusahan serta kasus yang dihadapinya, secara normal, tidak merugikan diri sendiri serta lingkungannya, serta cocok dengan norma sosial serta agama.

3. Sanggup menggunakan kemampuan secara maksimal

Tidak hanya sanggup mengalami kasus yang dialami dengan bermacam alternatif pemecahan-pemecahannya, perihal berarti yang lain yang ialah gejala sehat secara mental merupakan secara aktif orang sanggup menggunakan kelebihannya. Ialah dengan metode mengeksplor kemampuan semaksimal bisa jadi. Menggunakan kemampuan secara optimal bisa dicoba dengan keikutsertaan secara aktif oleh orang, dalam bermacam aktivitas yang positif dan konstruktif untuk pengembangan mutu dirinya. Misalnya dengan aktivitas belajar (di rumah, sekolah, ataupun area warga), bekerja, berorganisasi, berolahraga, pengembangan hobi dan aktivitas aktivitas positif yang lain yang sanggup merangsang eksplorasi kemampuan tiap-tiap orang.

4. Sanggup menggapai kebahagiaan individu serta orang lain

Poin ini dimaksudkan pada seluruh kegiatan orang yang mencerminkan buat menggapai kebahagiaan bersama. Orang dengan mental yang sehat, menampilkan sikap ataupun reaksi terhadap suasana dalam memenuhi kebutuhannya, dengan perilaku atau reaksi positif. Reaksi positif tersebut berakibat positif pula baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Tidak mempertaruhkan hak orang lain demi kepentingan diri sendiri, dan tidak mencari peluang atau keuntungan diatas kerugian orang lain, ialah bagian dari pencapaian kebahagiaan individu serta orang lain. Orang dengan cerminan diatas senantiasa berupaya buat menggapai kebahagiaan bersama tapa merugikan diri sendiri serta orang lain.

C. Self-Diagnose

Tindakan Self-Diagnose adalah hal yang sangat berbahaya, hal itu dikarenakan adanya pengetahuan yang terbatas. Namun, melakukan pengobatan kepada penyakit yang masyarakat percayai dengan pengetahuan seadanya. Self-Diagnose ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Psikologi dan Kesehatan. Sudah ada banyak jurnal, artikel, dan buku yang membahas betapa bahayanya melakukan tindakan Self-Diagnose. Ada dua poin yang akan menggambarkan atau hubungan dari tindakan Self-Diagnose, yaitu:

1. Development of mass media

Perkembangan media massa saat ini, sangat mempengaruhi potensi naiknya tindakan Self-Diagnose, dikarenakan masih ada beberapa oknum yang menyebarluaskan berita atau informasi yang tidak sesuai dengan fakta mengenai kondisi kejiwaan. Jika hal ini terus-terusan terjadi, maka akan bisa memperburuk keadaan masyarakat. Contoh gangguan mental yang sering disebarluaskan informasinya dan membuat orang sering kali melakukan tindakan Self-Diagnose adalah gangguan Attention Deficit Disorder atau ADHD. 

Menurut (’Cardone et al., 2008) gejala yang sangat sering terjadi pada pasien yang mengidap ADHD adalah kesulitan berfokus pada kegiatan yang dilakukan, sering lupa, impulsive dan/atau aktivitas motorik berlebihan, tidur dengan gelisah, dan intraktabilitas. Saat dijadikan konten bahwa penyakit ADHD gejalanya sering lupa, maka orang yang menyaksikan konten tersebut akan berpikir bahwa, apakah saya ini mengidap ADHD? Padahal lupa adalah hal yang wajar terjadi pada manusia, namun pada gangguan Attention Deficit Disorder pastinya jauh berbeda.

Dari komentar yang saya baca dari konten mengenai informasi ADHD, ada banyak orang berkomentar bertanya mengenai kondisi kejiwaannya, ada yang merasa bingung, takut, dan bahkan ada yang sudah mendiagnosa dirinya sendiri. Ada yang berkata, “Ternyata saya selama ini ADHD”, “Jangan-jangan saya mengidap ADHD”, dan masih banyak lagi komentar-komentar yang membuat orang melakukan tindakan Self-Diagnose, baik secara sadar atau tidak.

Saya tidak mempermasahkan mengenai konten edukasi Attention Deficit Disorder atau segala konten edukasi kesehatan, jika memang konten tersebut sudah sesuai atau dapat dibuktikan secara ilmiah. Justru, dengan adanya konten edukasi, dapat membuat orang-orang menjadi lebih peduli terhadap kesehatan. Tetapi, masyarakat harus memperhatikan dan mempertimbangkan terkait apa yang masyarakat unggah, “Apakah konten yang akan saya unggah ini, tidak menimbulkan dampak negatif? Jika ada, apakah ada cara untuk mengurangi atau menghilangkan dampaknya?”. Jika pertanyaan itu muncul di benak masyarakat, jawabannya ya, ada. Dengan cara memberikan peringatan, seperti “dilarang melakukan tindakan Self-Diagnose sebelum menonton konten ini”, atau memberikan segala bentuk peringatan yang mengarah ke larangan terhadap tindakan Self-Diagnose.

Menurut (’Elfiky, 2009) Sebuah pusat kajian psikologi dan fisiologi di New Zealand memaparkan bahwa lebih dari 60% kondisi menyedihkan disebabkan oleh media massa yang menyebabkan hal-hal negatif. Pengaruh bahaya ini ikut memperkaya proses pembentukan pikiran setiap orang sehingga menjadi semakin kuat dan mendalam dibanding sebelumnya. Apalagi, di zaman sekarang, orang-orang sangat bergantung pada media massa, inilah pentingnya menumbuhkan rasa waspada dan memproses baik-baik informasi yang ada di media massa sebelum masyarakat menerimanya.

2. Mindset

Self-Diagnose sangat berhubungan terhadap pola pikir manusia, maka dari itu pada bagian ini akan dibahas terkait hal tersebut. Menurut Victor Hugo di dalam buku ‘Terapi Berpikir Positif’, Pikiiran adalah kekuatan yang sangat efektif. Tanpanya, setiap kekuatan hanya besar saja (Elfiky, 2009). Dari sini dapat masyarakat lihat bahwa pengaruh dari pikiran sangat berdampak besar bagi manusia. Diperkuat juga oleh Pascal, bahwa kemuliaan manusia terletak pada pikirannya (Elfiky, Terapi Berpikir Positif, 2009).

Apakah masyarakat sadar bahwa pikiran dapat melahirkan mindset? Jika masyarakat masih sering menggunakan kalimat negatif seperti, “Ketika bangun pagi, aku merasa sangat lelah. Agar bisa segar, aku harus minum secangkir kopi.”, atau “Di bulan Juli hidung dan tenggorokanku selalu sensitif dan berlangsung sepanjang musim panas.”, maka masyarakat telah membentuk mindset atau pola pikir negatif. Setelah terbentuk, mindset ini tersimpan dalam akal bawah sadar serta menumbuhkan perasaan dan persepsi negative.

Yang dimaksud dengan mindset di sini adalah sering memikirkan sesuatu dan menggambarkan bahwa pengalaman tertentu memiliki efek tertentu. Orang merasa pusing ketika bangun di pagi hari, itu karena masyarakat selalu berpikir dan membuat gambaran internal tentang kepusingannya itu. Akibatnya, pikiran dan gambaran internal itu benar-benar membuat masyarakat merasa pusing setiap kali bangun pagi.

Perasaan dan perbuatan pasti dimulai dari pikiran. Pikiranlah yang menjadi pendorong setiap perbuatan dan dampaknya. Pikiranlah yang menentukan kondisi jiwa, tubuh, kepribadian, dan rasa percaya diri. Bukan hanya itu lingkup kekuatan dari pikiran, tetapi ada banyak, seperti pikiran memengaruhi intelektualitas, pikiran mempengaruhi fisik, pikiran mempengaruhi perasaan, pikiran mempengaruhi jiwa, pikiran mempengaruhi kondisi kesehatan, dan masih banyak lagi.

 Bagi masyarakat Psikologi, pastinya sudah tidak asing lagi dengan mekanisme alam bawah sadar, karena ada teori yang membahas mengenai mekanisme alam bawah sadar manusia, yaitu ID, Ego, dan Super Ego, khususnya pada teori Psikoanalisis. Menurut (’Schultz & Schultz, 2013) di dalam teori ini, mengemukakan bahwa pikiran alam bawah sadar manusia, sangat besar pengaruhnya dibanding kesadarannya. Teori ini digambarkan layaknya gunung es, diatasnya terlihat besar, tetapi dibawah gunung es tersebut ada bagian yang tidak terlihat, namun lebih besar dibandingkan yang terlihat. Pada teori ini juga menekankan bahwa apa yang masyarakat ucapkan dan pikirkan, akan masuk ke alam bawah sadar masyarakat, baik secara serius atau tidak. Lalu, alam bawah sadar masyarakat yang akan mendorong setiap perbuatan yang masyarakat pikirkan dan menjadi sebuah tindakan, bisa negatif atau positif, tergantung dari apa yang masyarakat pikirkan.

Sejatinya, dalam setiap aspek kehidupan dan perilaku masyarakat ada mindset. Di setiap ruang dan waktu masyarakat tidak bisa lepas dari mindset. Mindset adalah sekumpulan pikiran yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu serta diperkuat dengan keyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang dapat dipastikan di setiap tempat dan waktu yang sama. Pemikiran masyarakat terhadap diri sendiri itu sangat berpengaruh ke berbagai aspek, salah satunya kesehatan, baik fisik maupun mental. Pola pikir harus terus dijaga dan jangan sampai menjadi pola pikir yang pesimis. Menurut (’Sari et al., 2019) Pola pikir pesimis adalah pribadi yang mempercayai jika dirinya telah dikutuk. Pikiran pesimis bisa membuat perasaan depresi masyarakat. Masyaralat akan cenderung menyalahkan diri, orang lain, dan lingkungan.

Informasi dari orang lain yang diberikan ke masyarakat, masih dapat mempengaruhi diri masyarakat, karena sejatinya informasi dari luar dan yang masuk ke dalam akal, sepenuhnya berada di kendali masyarakat. Apakah informasi tersebut boleh masuk ke dalam file-file yang ada di otak atau tidak. Apalagi, masyarakat sendiri yang langsung memikirkan atau mensugesti diri masyarakat mengidap suatu penyakit ataupun gangguan, maka akal akan menerima informasi tersebut dan diperkuat oleh file-file yang sudah ada. Jadi, berhati-hati dalam berpikir, karena berpikir itu sederhana dan hanya butuh waktu sekejap. Namun, dapat berpengaruh ke masa depan masyarakat. “Hari ini Anda tergantung pada pikiran yang datang saat ini. Besok Anda ditentukan oleh ke mana pikiran membawa anda.”-Filsafat India Kuno (’Elfiky, 2009).

 

 

Pembahasan

 

1. Bentuk-Bentuk Kepedulian Terhadap Mental Health

Setiap manusia memiliki begitu banyak hal yang unik di dalam dirinya, karena manusia merupakan makhluk yang kompleks. Dari keberagaman karakteristik tiap individu, maka beragam juga teknik peningkatan Mental Health, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Ada individu yang baik dalam meregulasi emosinya, tetapi lemah dalam rasa bersyukur, dan masih banyak contoh lainnya. Berikut beberapa bentuk-bentuk kepedulian yang masyarakat dapat lakukan untuk meningkat Mental Health:

A. Emotion

Dengan mempunyai kemampuan meregulasi emosi yang baik, maka akan berdampak banyak ke Individu tersebut, baik secara fisik, maupun mental. Emosi dapat dilatih dengan terbiasa menghadapi masalah dengan respon yang sewajarnya, walau terbilang rumit, tetapi jika masyarakat sudah terbiasa, maka masyarakat tersebut tidak mudah mengalami stress dan masih banyak dampak positif lainnya. Karena di bagian otak manusia terdapat Amygdala, yang mengatur emosi dan harus dilatih agar baik dalam mengontrol emosi.

Emosi manusia terbagi menjadi dua jenis, ada emosi negatif dan positif, menurut buku Psikologi belajar (’Wahab, 2015), emosi negatif adalah sebuah perasaan yang dapat masyarakat rasakan saat mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, contohnya sedih, kecewa, takut, gelisah, bersalah, dan masih banyak lagi. Sedangkan emosi positif masyarakat rasakan saat mendapatkan peristiwa yang menyenangkan, contohnya bahagia, cinta, harapan, romansa, dan masih banyak lagi. Kedua perasaan ini akan selalu menemani manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut (’Ely, 2017) Manusia  bukanlah  manusia bila tanpa emosi, karena emosi merupakan unsur yang tak terpisahkan di kehidupan.

Menurut (’Nadhiroh, 2015) Emosi umumnya timbul kala masyarakat memperoleh pergantian suasana yang ekstrem ataupun sess, Terjadi pada diri masyarakat atau sekitar masyarakat baik itu positif maupun negatif.emosi juga bisa timbul kala terjalin suatu pergantian pada tiap peristiwa yang jadi atensi di diri masyarakat.

Emosi bukan hanya berhubungan pada kondisi mental masyarakat, tetapi juga berpengaruh pada kondisi fisiologis seseorang. Menurut (’Hidayat & ’Gamayanti, 2020) Orang yang mengalami psikosomatik seringkali mengeluhkan gangguan fisik yang berulang, misalnya sakit maag, sakit kepala, migraine, darah tinggi atau gatalgatal karena keluhan berulang ini disebabkan oleh stres emosional. Oleh sebab itu penting untuk memperhatikan aspek emosional dalam menyembuhkan masyarakat yang menghadapi kendala psikosomatik.

masyarakat perlu untuk mengenal dan memahami emosi yang ada di dalam diri masyarakat, agar masyarakat bisa mengetahui tindakan apa yang akan masyarakat lakukan dalam menghadapi setiap situasi dan bagaimana reaksi masyarakat terhadapnya. Hal itu akan berdampak ke banyak hal, berawal dari bagaimana masyarakat menilai, memperlakukan, dan merespon sebuah masalah. Daripada masyarakat melakukan tindakan Self-Diagnose, lebih baik masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang dapat menjaga kestabilan kondisi mental.

B. Premeditatio Malorum

Dari buku Filosofi Teras Premeditatio Malorum merupakan salah satu ajaran stoic yang menarik untuk dipraktikkan (’Manampiring, 2018), setiap hari masyarakat akan menjumpai begitu banyak kejadian yang tidak menyenangkan dan sudah menjadi hal yang akan terus berulang di kehidupan masyarakat. Premeditatio Malorum mengajak masyarakat untuk membayangkan peristiwa-peristiwa buruk, seperti membayangkan sebuah musibah yang akan terjadi kepada masyarakat

Premeditatio Malorum ini pastinya berbeda dengan kekhawatiran tidak beralasan, fungsi Premeditatio Malorum saat masyarakat benar-benar telah menghadapi kejadian buruk tersebut, masyarakat sudah siap dan tidak kaget lagi dalam menyikapinya. Premeditatio Malorum senantiasa mengingatkan, bahwa masa depan tidak ada yang pasti. Entah musibah apalagi yang berskala nasional atau global yang akan menimpa masyarakat.

Jika masyarakat terbiasa melakukan ini, sama halnya masyarakat mempersiapkan mental masyarakat dengan sangat siap di keadaan apapun dan membuat mental masyarakat tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Layaknya sebuah pedang yang diasah terus menerus dan menghasilkkan hasil yang memuaskan sehingga mampu dipakai di semua medan tempur.

Sebelum memulai hari, cobalah untuk melakukan Premeditatio Malorum, masyarakat dapat membayangkan bahwa saat di jalan menuju ke kampus, masyarakat akan bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan, seperti melihat orang yang tidak taat dengan lalu lintas, orang emosian, dan segala kemungkinan-kemungkinan yang masyarakat duga. Lalu, rasakan perbedaannya saat masyarakat sudah menduga dibandingkan tidak menduganya.

Bahkan Premeditatio Malorum ini dapat dilatih, yaitu dengan cara melakukan langsung tindakannya dan bukan hanya sekedar memikirkannya. Memakai pakaian terburuk, memakan makanan yang berada dibawah standar masyarakat, dan segala hal yang berada di bawah selera masyarakat, masyarakat bisa melakukan hal ini secara rutin. “Jika kamu ingin seseorang tidak goyah saat krisis menghantam, latihlah ia sebelum krisis itu datang”- Seneca.

C. In Accordance With Nature

Mengingat bahwa semua manusia memiliki tanggung jawab hidup di dunia. masyarakat lahir di dunia bukan hanya sekedar menjalani kehidupan dengan begitu saja, namun, masyarakat hidup di dunia mempunyai tanggung jawab dengan porsinya masing-masing. Ada begitu banyak tanggung jawab yang perlu dijalankan sebagai manusia, tanggung jawab sebagai anak, orang tua, pekerjaan, dan masih banyak lagi. Di dalam buku Filosofi Teras (Manampiring, 2018), semua itu termasuk dalam tanggung jawab untuk hidup selaras dengan alam.

In accordance with nature merupakan prinsip utama stoisisme, menuntut manusia menyadari adanya interconnectedness di kehidupan dan manusia harus menggunakan nalar, karena hal itu yang membedakan manusia dengan binatang, yang artinya, jika masyarakat melawan ataupun mengingkari apa yang telah terjadi kepada masyarakat, masyarakat sudah tidak lagi selaras dengan alam.

Biasanya yang membuat masyarakat menjadi stress berlebih karena masyarakat tidak bersedia untuk selaras dengan alam. Dengan menerapkan prinsip utama dari stoisisme ini, masyarakat lebih mampu memahami siklus hidup tanpa terbebani secara mental dan jika sudah terbiasa maka bisa berdampak baik bagi peningkatan kualitas mental.  

Jika masyarakat membayangkan bahwa kematian sangat menakutkan dan masyarakat tidak mau dengan adanya kematian, maka masyarakat tidak lagi selaras dengan alam. Kematian adalah bagian dari sistem alam dan sudah ketentuan bahwa setiap yang bernyawa akan mati. Layaknya sebuah buku yang dibaca dan pastinya akan berakhir.

D. Dichotomy of Control

"some things are up to us, some things are not up to us"- Epictetus, dari kalimat yang dikatakan oleh Epictetus ini memiliki arti, sebuah tindakan atau sesuatu tidak semuanya ada di bawah kendali masyarakat, prinsip tersebut dinamakan Dichotomy of Control. Dichotomy of Control ini masuk di beberapa cara atau tindakan yang perlu masyarakat lakukan dalam menghadapi situasi, karena kebanyakan dari masyarakat belum mengetahui apa saja sesuatu yang ada di bawah kendali masyarakat dan yang bukan berada di bawah kendali masyarakat. Ketika masyarakat sudah mengetahui apa yang berada di bawah kendalinya dan yang bukan, masyarakat tersebut jadi mengetahui batasannya, serta tidak terbebani secara berlebih pada aspek psikologisnya yang dapat berpengaruh ke Mental Health. (’Manampiring, 2018).

Hal yang bukan berada di bawah kendali masyarakat adalah tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kesehatan, kekayaan, kondisi saat masyarakat lahir, dan peristiwa alam. Sedangkan, yang ada di bawah kendali masyarakat itu persepsi atau opini masyarakat, keinginan, tujuan, dan segala sesuatu yang bersifat masyarakat pikirkan dan tindakan apa yang akan masyarakat ambil. Jika masyarakat sedang mengetahui apa saja yang berada di bawah kendali masyarakat, masyarakat tidak akan menyalahkan diri saat menerima hasil terhadap sesuatu.

Seperti halnya disaat masyarakat mengikuti perlombaan, usaha yang masyarakat lakukan dalam mengikuti lomba itu adalah hal yang berada di bawah kendali masyarakat sedangkan hasilnya bukan. Sama halnya dengan kejadian pandemi Corona Virus, perihal kapan berakhir itu bukan berada di bawah kendali masyarakat, tetapi tindakan dan bagaimana masyarakat menyikapi hal ini agar pulih dari keadaan, sepenuhnya ada di bawah kendali masyarakat, seperti menaati protocol kesehatan, tidak menyebarkan berita palsu, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, bukan berarti masyarakat diajar untuk egois. Jika masyarakat berpikir bahwa Dichotomy of Control hanya mengajar masyarakat untuk fokus ke diri sendiri, salah satu contohnya adalah, apabila ada pemasalahan dunia masyarakat tidak mau angkat suara atau lepas tanggung jawab, itu salah. Karena masyarakat hidup di dunia ini dengan tempat yang sama, yaitu bumi. Sekalipun masyarakat berbeda negara, pulau, dan apapun itu, masyarakat masih tetap dalam lingkup yang sama.

E. Grateful

            Menurut (’Manampiring, 2018) komponen yang satu ini juga tidak kalah pentingnya dengan yang lain. Saat seseorang mempunyai rasa besyukur, maka hidupnya akan selalu dalam kedamaian dan kedamaian erat kaitannya dengan Mental Health. Adakah hal yang bisa membuatmu bersyukur saat ini? Saya sangat percaya setiap orang bisa menemukan satu alasan untuk bersyukur, bahkan di tengah masa sulit seperti sekarang. Kalian sedang membaca artikel ini dalam keadaan yang sehat? Tidakkah ini adalah sesuatu yang layak dirayakan dan disyukuri?

            Kalian sedang membaca artikel ini dalam keadaan sakit? Tidakkah ini juga sesuatu yang bisa disyukuri, bahwa kalian masih memiliki kekuatan dan kesadaran untuk bisa membaca artikel ini, walaupun dalam keadaan sakit.

Menurut (’Ely, 2017) Di dalam emotional focus coping salah satunya terdapat Positive reappraisal dimana individu  mengubah  pemikiran  dirinya  secara  positif  dan  mengandung  nilai  religius. Contohnya  dengan  bersyukur,  seseorang  akan  disentuh  dalam  aspek  kognisi  (cara  berpikir),  emosi  (berempati)  serta  spiritual  (keyakinan).

Bersyukur dan berpikir positif merupakan satu kesatuan, jika kita sering mengisi perasaan dengan rasa bersyukur, secara automatis pikiran positif akan terbentuk di kepala. (Hamilton, 2022) membahas terkait, berpikir positif dapat membantu kesehatan mental, di dalamnya terdapat penjelasan yang mengungkapkan bahwa, perasaan kita akan berdampak pada situasi yang akan terjadi, oleh karena itu sangat penting untuk berpikir positif dan bukan negatif. Menurut (Jaggs-Fowler & Robert M, 2011), dengan berpikir positif dapat memberi kekuatan dalam aspek kesehatan, kebahagiaan, serta kesuksesan. Lanjut ia menjelaskan bahwa kesehatan yang buruk dan kematian yang akan menghampiri, dapat diperjuangkan dengan keberanian dan pikiran positif.

            Contoh lain dari bersyukur yang terkadang masyarakat masih lupakan, masih memiliki atap di atas kepala, atau makanan untuk mengisi perut masyarakat, atau air mengalir lancar untuk mandi dan sikat gigi. Terkadang ada banyak kenikmatan sederhana di sekitar masyarakat yang tertutupi karena masyarakat terlalu sibuk meratapi dan mengutuki hidup. Cara masyarakat melihat dan mengukur segala sesuatu termasuk di bawah kendali masyarakat. Dan, di situ tersimpan banyak alasan untuk tetap bersyukur. Semoga kalian yang membaca artikel ini, selalu menemukan banyak alasan untuk bersyukur.

            

2. Cara Menghindari Tindakan Self Diagnose

Perlu waktu yang sangat lama untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya Mental Health. Sangat membahagiakan kabar kepedulian Mental Health makin bertambah, namun jika tingkat kepedulian Mental Health ini diiringi pula dengan tindakan Self-Diagnose, maka tentu hal ini sangat disayangkan. Tetapi, tentu saja ada cara yang dapat dilakukan untuk menghindari tindakan tersebut. Berikut beberapa cara untuk menghindari tindakan Self-Diagnose dari artikel Allianz (“Allianz,” 2022).

1. Jauhi Tindakan Mencari Tahu Cuma Bermodalkan Internet

Cuma dengan buka hp, kemudian scroll media social, masyarakat dapat memperoleh bermacam tipe data serta konten berguna, tetapi sayangnya tidak satupun yang dapat menjamin keakuratan data tersebut. Selaku pengguna, masyarakat butuh memilah data yang disantap. Dalam hal ini, terdapat baiknya masyarakat memilah konten Mental Health yang memanglah terbuat oleh ahlinya, semacam psikolog, psikiater, ataupun lembaga formal yang menanggulangi keadaan kejiwaan ataupun Mental Health seorang.

 

2. Jangan Peruntukan Selebritas/Tokoh Fiktif Pengidap Kendala Mental Tertentu Selaku Rujukan

Menurut (’Shofa, 2017) Kedudukan selebriti dalam kehidupan anak muda merupakan selaku role model. Tetapi banyak periset menyebut“ pahlawan”, buat mendeskripsikan figur mereka ataupun“ idola panutan”.

Terkadang kala memandang pengalaman orang lain di media sosial, masyarakat bisa menciptakan terdapatnya kesamaan indikasi ataupun keadaan yang dialami. Kesamaan ini bisa jadi bisa mendesak masyarakat buat mengambil kesimpulan kalau masyarakat hadapi keadaan kejiwaan yang sama pula. Meskipun terdapat kemiripan, penting untuk diingat bahwa kondisi mental setiap orang tentunya kompleks dan tidak dapat disamakan.

3. Lebih Baik Buat Tidak Menjajaki Tes-Tes Online Terpaut Mental Health

Semata-mata mau ketahui buat menjajaki tes-tes daring, boleh saja. Namun, bila hasil uji yang belum pasti kredibel tersebut dijadikan bawah penaksiran atas Mental Health, itu yang tidak boleh. Selain kerap tidak jelas asal-usulnya, hasil dari tes-tes online seperti itu tentu saja hanya berdasarkan gejala umum, bukan gejala yang lebih spesifik.

4. Jangan Anggap Sungguh-Sungguh Perkataan Sahabat ataupun Orang Lain yang Berkata Kalau Kalian Menderita Kendala Mental Tertentu

Bersumber pada perilaku ataupun sikap masyarakat yang dikira aneh ataupun tidak biasa, terlebih bila dicoba kesekian kali, tak jarang sahabat ataupun orang-orang di dekat masyarakat menebak ataupun mengaitkan sikap masyarakat itu dengan kendala mental tertentu yang mereka anggap seragam. Sementara itu, belum pasti apa yang mereka ketahui itu betul-betul akurat.

5. Apabila Merasa Memiliki Kendala Mental Tertentu, Segera Memeriksakan Diri

Satu langkah pas apabila masyarakat merasakan terdapatnya indikasi yang berakibat pada Mental Health, dengan mencari pertolongan dari ahli ataupun pakar, semacam dokter, psikolog, serta psikiater. Jangan takut dianggap gila, sebab Mental Health jauh lebih berarti dari seluruh berbagai omongan-omongan orang lain.

Simpulan

Dengan upaya kita sesama manusia untuk saling mengingatkan betapa pentingnya kesadaran mengenai kondisi mental yang baik, pastinya akan membantu untuk merubah persepsi orang-orang terhadap hal yang berhubungan dengan kondisi mental. Kondisi Mental Health saling berhubungan erat dengan kondisi kesehatan fisik, keduanya harus saling seimbang. Ada beberapa upaya yang bisa masyarakat lakukan saat menghadapi kondisi sulit, yaitu premeditation malorum, in accordance with nature, Dichotomy of Control dan Grateful. Namun, dari upaya-upaya yang perlu masyarakat jaga untuk menjaga Mental Health, pastinya ada batasan yang perlu lakukan. Jika sudah merasa penyakit yang masyarakat alami sudah menganggu atau tidak lagi produktif dalam menjalani hari, masyarakat pastinya harus berkonsultasi ke ahlinya, yaitu seorang psikolog atau psikiater, dan jangan sampai berani melakukan tindakan Self-Diagnose.

 

 

 

Penutup

Terima kasih kepada Allah SWT. atas segalanya, terima kasih kepada seluruh orang-orang dan instansi yang sudah terlibat dalam artikel ini, dan tentunya kepada Ibu Hidayah Budi Qur'ani, S.S.,M.Pd, saya mengucapkan terima kasih karena telah memberikan tugas yang bermanfaat dan dapat memberikan bekal ilmu yang luar biasa. Karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, penulis mengucapkan mohon maaf apabila ada kesalahan di dalam artikel ini, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Di dalam artikel ini ada tiga topik yang masih bisa diteliti lebih dalam lagi karena seiring bertambahnya usia seseorang ataupun perubahan dunia yang semakin banyak, maka tiga topik ini juga akan semakin berkembang, yang pertama ada emotion, yang kedua In Accordance With Nature, dan yang terakhir Dichotomy of Control. Saya Nabila Ramadani Susanto, selaku penulis berharap bahwa artikel ini bisa menjadi landasan atau bahan edukasi agar masyarakat semua bisa lebih baik dalam menjalani hidup.

 

Daftar Pustaka

“Allianz.” (2022). Bahaya bagi Kesehatan Mental, 5 Tips Hindari Self Diagnosis. In Kesehatan. https://www.allianz.co.id/explore/bahaya-bagi-kesehatan-mental-5-tips-hindari-self-diagnosis.html

Avramova, N. (2022). PAIN-RELATED PSYCHOSOMATIC DISORDERS IN DENTISTRY. A LITERATURE REVIEW. Scholarly Journal, 26(3), 524–529. https://www.proquest.com/docview/2723579208/6DB609E0290E458DPQ/1

’Buntoro, Y. (2019). Perancangan kampanye sosial stop self-diagnose Ditujukan untuk Remaja. Self Diagnose. https://doi.org/10.24912/rupaka.v2i1.14853

Buntoro, Y. I., Setiawan, K., & Harnoko, I. (2019). Perancangan Kampanye Sosial Stop Self-Diagnose Ditujukan untuk Remaja. Rupaka Jurnal Ilmuah Desain Komunikasi Visual, 2(1), 1–6. https://doi.org/10.24912/rupaka.v2i1.14853

’Cahyono, E. W. (2014). PELATIHAN GRATITUDE (BERSYUKUR) UNTUK PENURUNAN STRES KERJA KARYAWAN DI PT.X. Psikologi, 3, 1–15. https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1659

’Cardone, J. T., ’Cella, R., ’Croffy, B., ’Dorn, M., ’Duggan, D., ’Gellis, S., ’Goldsmith, L., ’Krall, R., ’Levina, R., ’Rome, H., ’Smaglia, R., ’Sriwatanakul, K., ’Telzak, E., ’Weintraub, M., ’Weiland, D., & ’Zarafonetis, C. (2008). Kapita Selekta Kedokteran Klinik (L. Lasagna & J. Mazzullo, Eds.; Terbaru, Vol. 500gr). Binarupa Aksara.

’Elfiky, I. (2009). Terapi Berpikir Positif (K. Fath, M. T. Damas, N. Rahman, N. Aly, & A. Rivan, Eds.; Vol. 15x23mm). Serambi.

’Ely, M. (2017). MENGELOLA KECERDASAN EMOSI. Pendidikan Agama Islam, 2(Vol 2 No 2 (2016): Tadrib: Jurnal Pendidikan Agama Islam), 1–16. http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1168

Hamilton, C. (2022). Positive thinking can help. Western Morning News, 1–3. https://www.proquest.com/newspapers/positive-thinking-can-

’Handoyo, F. F. (2022). Membangun Mental Health Awareness untuk Mencapai Generasi Emas Indonesia 2045. Artikel Kesehatan Mental. https://www.bing.com/ck/a?!&&p=2f33203cd4690c85JmltdHM9MTY3MDAyNTYwMCZpZ3VpZD0wNGUzODc3YS1jNmQ5LTZhZWMtMTIyOS05NTdhYzc4ZjZiY2ImaW5zaWQ9NTE1MQ&ptn=3&hsh=3&fclid=04e3877a-c6d9-6aec-1229-957ac78f6bcb&psq=Mental+health+awareness+mencapai+generasi+emas+Indonesia.&u=a1aHR0cHM6Ly91bmthcnR1ci5hYy5pZC9ibG9nLzIwMjIvMDEvMDQvbWVtYmFuZ3VuLW1lbnRhbC1oZWFsdGgtYXdhcmVuZXNzLXVudHVrLW1lbmNhcGFpLWdlbmVyYXNpLWVtYXMtaW5kb25lc2lhLTIwNDUv&ntb=1

’Hidayat, I. N., & ’Gamayanti, W. (2020). Dengki, Bersyukur dan Kualitas Hidup Orang yang Mengalami Psikosomatik. Psikologi, 7, 1–14. https://doi.org/10.15575/psy.v7i1.6027

Jaggs-Fowler, & Robert M. (2011). Positiv thinking-the power to drive you to health and success. Grimsby Telegraph / Scunthorpe Evening Telegraph; Grimsby, 1–4. https://www.proquest.com/docview/928099816/50B814A2A7D4152PQ/14?accountid=170128

’Manampiring, H. (2018). Filosofi Teras: Vol. 14cm x 21 cm (P. Wulandari & A. R. Nugroho, Eds.). Kompas.

’Nadhiroh, Y. F. (2015). PENGENDALIAN EMOSI (Kajian Religio-Psikologis tentang Psikologi Manusia). JURNAL SAINTIFIKA ISLAMIC, 2, 1–11. http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/saintifikaislamica/article/view/284

Prihatsanti, U., Suryanto, S., & Hendriani, W. (2018). Menggunakan Studi Kasus sebagai Metode Ilmiah dalam Psikologi. Buletin Psikologi, 26(2), 126–136. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895

’Sari, D. L., ’Widiani, E., & ’Trishinta, S. M. (2019). HUBUNGAN POLA PIKIR PESIMISME DENGAN RESIKO DEPRESI PADA REMAJA. Jurnal Ilmiah Keperawatan, 4, 12. https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/view/1481

’Schultz, D., & Schultz, S. E. (2013). Sejarah Psikologi Modern: Vol. 160 x 240 mm (L. Hardian & M. Rizal, Eds.). Nusa Media.

’Shofa, M. ’. (2017). GAMBARAN PSIKOLOGIS CELEBRITY WORSHIP PADA DEWASA AWAL (Studi Kasus Mahasiswa Penggemar Korean Pop) [Thesis (Undergraduate), UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG]. http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/9315

’Wahab, R. (2015). Psikologi Belajar (Octiviena, Ed.; 1st ed.). Rajawali Pers.

Yusfarani, D. (2021). Hubungan Kecemasan dengan Kecendrungan Psikosomatis Remaja Pada Pandemi Covid 19 Di Kota Palembang. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 21(1), 295. https://doi.org/10.33087/jiubj.v21i1.1328

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun