Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinunuk (1)

30 Oktober 2021   04:05 Diperbarui: 31 Oktober 2021   23:50 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kulihat Wajah Daud yang sedang rebah kelelahan tampak biasa saja mengamati gerak-gerikku.

Daud pasti mengira aku ingin kencing. Tapi dia tidak tahu, sebenarnya yang aku inginkan adalah meminum air kencingku sendiri.
   
    Dan benar. Sesaat aku meneguk habis air kencing yang aku tampung di telapak tangan, seketika raut wajahnya yang biasa saja, berubah kaget.

Dia menatapku dengan tampang menghuek, jijik kali, dia mual tapi tidak sampai muntah.
   
    "Gila, Lu!", Umpatnya dengan gerakan tangan menekan perutnya yang mengempis.

"Kau jauh lebih gila tadi!", Aku menyahutinya dengan agak menahan tawa.
   
    Sepertinya Daud tidak menyadari, ideku meminum kencing ini muncul sedikit lebihnya, karena terinspirasi dari kelakuannya yang sudah memakan pacet-pacet gemuk penyedot darah kakinya sore tadi.
   
    Meski dengan cara dibakar lebih dulu, pacet tetap pacet. Makan pacet berarti makan darahnya sendiri yang bau amis. Tapi ia tetap nekat mengunyah makhluk berlendir menjijikan itu.
   
    Katanya, dia kesal pada pacet-pacet karena sudah semena-mena menghisap darahnya. Semacam ada perasaan tidak rela darahnya yang berharga terbuang sia-sia, maka dimakanlah supaya bisa kembali menjadi energi.
   
    Tapi setelah semua pacet itu tertelan, Daud menyesal. Bukan energi, malah mual muntah yang ia dapat. Aku pun dibuat mual melihat kegilaannya itu.
   
    Lapar dan dahaga yang kami rasakan sepanjang hari sangat menekan tubuh dan pikiran. Sementara logistik pendakian yang kami bawa sudah habis tak tersisa sejak hari kemarin.

Maka sebagaimana Daud, dalam benakku pun muncul semacam rasa tidak rela bila air kencingku terbuang percuma. Itulah sebab aku tega meminumnya.
   
    Dan hey, menurutku rasa air kencing tidak terlalu buruk. Setidaknya, lebih baik ketimbang memakan pacet. Meski agak tercium pesing dan ada rasa asin-asinnya gitu, tapi cukup untuk sejenak menyegarkan kembali mulut dan tenggorokanku yang kering kerontang.
   
    "Gimana rasanya?" Tanya Daud penasaran.

"Mantap!" Jawabku singkat dengan memasang raut wajah bersemangat.
   
    Rupanya raut wajahku berhasil membuat Daud menjadi tergoda. Dia tergoda ingin juga mencoba merasakan kesegaran air kencingnya.
   
    Lalu ia kencing. Airnya mengucur dengan loyo, mendarat di telapak tangan yang ia bentuk menyerupai mangkuk.

Ketika air itu dekat di mulut dan ia hampir meneguk, mendadak ia mual-mual seperti sore tadi. Nampaknya dia masih trauma terbayang saat makan pacet. Akhirnya air kencing itu pun ia tumpahkan.
   
    "Hueek.. Sialan, Lu!", Daud mengumpatku lagi.
     "Heehe, goblok!", tawaku tak bisa tertahan kali ini.

Mendengar aku tertawa, dia yang tadinya kesal, ikutan tertawa. Lalu kamipun tak panjang pikir untuk berlama-lama melepaskan semua tawa.

Tujuannya tak sederhana, supaya rasa nyeri, pegal, perih, dan segala siksa yang bertubi-tubi mendera tubuh bisa sejenak kami lupakan.

Tapi percayalah, tawa yang kata orang bisa menghangatkan tak ubahnya seperti pelukan perempuan, ternyata hanya mitos belaka. Meski sudah banyak tertawa tubuh kami berdua masih saja kedinginan.

Kulihat samar-samar dalam keremangan malam, bibir Daud pecah-pecah terkelupas dan membiru dengan gigi yang sesekali refleks gemeretak tanda ia kedinginan. Dan mungkin bentuk bibirku pun begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun